The Woman in Cabin 10

Noura Publishing
Chapter #3

Bagian 1 - Tiga

Jalanan saat tengah malam tidak kosong melompong, tapi tak sama dengan yang kususuri tiap hari sewaktu menuju tempat kerja.

Jalan-jalan tampak kelabu dan berselubung bayang-bayang, hanya diselingi sesekali oleh lingkaran-lingkaran cahaya lampu kuning sulfur. Angin dingin mengembuskan kertas bekas ke kakiku, mengaduk-aduk sampah dan daun-daun di dalam selokan. Aku semestinya takut—perempuan 32 tahun, jelas-jelas hanya berpiama, keluyuran di jalanan pada malam buta. Namun, aku justru merasa lebih aman di sini daripada di dalam flatku sendiri. Di luar sini, seseorang niscaya mendengar kita menangis.

Aku tak punya rencana, tak punya rute pasti selain keluyuran di jalanan hingga terlalu letih untuk berdiri. Di antara Highbury dan Islington aku tersadar hujan telah turun, mulainya pasti sudah sedari tadi karena aku telah basah kuyup. Aku berdiri dengan sepatu benyek, sementara otakku yang linglung dan kelelahan berusaha merumuskan rencana, lalu kakiku secara otomatis berjalan sendiri—bukan ke arah rumah, melainkan ke selatan, menuju Angel.

Aku baru menyadari tujuanku setiba di sana. Setiba di bawah beranda bangunan, aku mengerutkan kening dengan bengong sambil memandangi panel bel berlabelkan namanya yang diterakan dengan huruf-huruf kecil rapi tulisan tangannya: lewis.

Dia tidak di sini. Dia sedang di Ukraina, baru pulang besok. Namun, aku menyimpan kunci cadangannya di saku mantelku dan aku tidak sanggup berjalan kaki ke flatku sendiri. Kau bisa saja naik taksi, sergah suara hati kecilku yang judes. Bukan jalan kaki masalahnya. Pengecut.

Aku menggeleng-geleng, alhasil memercikkan air hujan ke panel bel dari baja tahan karat, dan memilah-milah sejumlah kunci sampai menemukan anak kunci untuk pintu luar. Aku lantas menyelinap ke dalam, ke kehangatan pengap koridor umum.

Di lantai tiga, aku masuk dengan hati-hati ke flatnya.

Suasana gelap gulita. Semua pintu tertutup, sedangkan ruang depan tak berjendela.

“Judah?” panggilku. Aku yakin dia sedang tidak di rumah, tapi dia bisa saja memperbolehkan temannya menginap dan aku tidak mau menyebabkan siapa pun terkena serangan jantung di tengah malam. Apalagi aku tahu persis seperti apa rasanya. “Jude, ini aku, Lo.”

Namun, tidak ada jawaban. Flat tersebut sunyi senyap. Aku membuka pintu kiri yang menuju dapur sekaligus ruang makan, lalu berjingkat-jingkat ke dalam. Aku tidak menyalakan lampu. Aku semata-mata menanggalkan pakaianku yang basah, lantas menumpuk mantel, piama, dan semuanya, di wastafel.

Dalam keadaan telanjang, aku berjalan ke kamar tidur, tempat ranjang dobel Judah terbentang kosong di bawah pancaran sinar rembulan, seprainya kelabu kusut seolah-olah Jude baru saja bangun dari sana beberapa saat lalu. Aku merangkak ke tengah kasur sambil merasakan kelembutan seprai bekas ditiduri dan mencium wangi tubuhnya, keringatnya, aftershave-nya, dan—pokoknya dia.

Aku memejamkan mata.

Satu. Dua ....

Lelap melandaku, menenggelamkanku bagai gelombang pasang.

Aku terbangun gara-gara suara jeritan perempuan dan perasaan bahwa aku sedang ditindih, dipiting oleh seseorang yang memegangi kedua tanganku bahkan saat aku terus melawan.

Sebuah tangan mencengkeram sebelah pergelanganku, genggamannya lebih kuat daripada aku. Buta di tengah kegelapan, panik gila-gilaan, aku mengulurkan tanganku yang bebas untuk mencari sesuatu, apa saja, yang dapat dipergunakan sebagai senjata, dan jemariku menyentuh lampu baca.

Tangan pria itu kini menutupi mulutku, membekapku, sedangkan bobot tubuhnya menyesakkanku. Dengan seluruh tenaga, kuangkat lampu berat dan kuhantamkan kuat-kuat.

Teriakan kesakitan sontak berkumandang dan, dari balik kabut kengerian, aku mendengar sebuah suara, rangkaian kata yang patah-patah dan kagok.

“Lo, ini aku! Ini aku, demi Tuhan, hentikan!”

Apa?

Ya Tuhan.

Tanganku gemetar hebat sampai-sampai ketika aku berusaha menggapai lampu, aku justru menyenggol sesuatu hingga jatuh.

Di sampingku aku bisa mendengar sengal napas Judah, disertai bunyi berdeguk yang menakutkanku. Di mana lampu itu? Kemudian, aku tersadar—aku telah memukulkannya ke wajah Judah.

Aku terhuyung-huyung turun dari tempat tidur, kakiku gemetaran, dan menemukan sakelar di dekat pintu. Kamar serta-merta dibanjiri sinar menyilaukan dari selusin petak lampu halogen, masing-masing menerangi adegan horor di hadapanku.

Judah sedang berjongkok di atas kasur sambil memegangi wajahnya, darah membasahi janggut serta dadanya.

Lihat selengkapnya