The Woman with Purpose

judea
Chapter #18

Pak Kristo

Perjalanan masih panjang. Tiga kolom kosong di atas kertas HVS itu masih terus menghantuiku. Setiap aku membuka lembaran kertas itu, ada perasaan dihantui yang begitu kuat. Aku bisa saja memutuskan untuk tidak membukanya. Aku hanya tidak mau.

Teman-teman di kantor lama menyayangkan keputusanku untuk resign. Tak ayal lagi semua orang mengira aku memutuskan keluar dari kantor karena Jojo. Mereka benar, tapi aku tidak mungkin mengiyakan opini mereka. Aku hanya menggunakan alasan klise ada kesempatan yang lebih baik sebagai tameng perlindungan diri. Memang benar kesempatan di kantor lain yang menungguku jauh lebih baik, apalagi dengan kisah menarik yang akan terjadi di sana.

Aku ditempatkan di bagian penagihan di kantor baru. Memang pekerjaanku kali ini berbeda dengan pengalamanku di kantor akuntan publik sebelumnya, tapi aku tidak punya pilihan lagi karena sudah terdesak keinginan untuk cepat-cepat kabur. Satu divisi terdiri dari beberapa tim dan satu tim terdiri dari sekitar delapan atau sembilan orang dengan satu manajer. Manajerku bernama Pak Kristo dan dia adalah sosok pemimpin yang cukup idaman menurutku. Pembawaannya tenang, berkharisma, dan kelihatan sangat profesional dengan postur tubuh ideal yang tinggi dan tegap. Rambutnya yang tertata rapi dan cenderung klimis semakin menambah aura dan kharismanya. Awalnya aku sempat minder dan psimis kalau dia akan mau menerimaku sebagai bagian dari timya, tapi dugaanku salah.

Sebagai anak baru, aku menghormati dan menghargainya sebatas hubungan atasan dan bawahan, tidak lebih. Aku tidak pernah peduli apalagi ingin tahu dengan kehidupan pribadinya, hingga suatu hari ajakannya padaku cukup mengejutkanku. Dia mengajakku makan malam berdua di malam Minggu. Yang benar saja! Tanpa pikir panjang aku menolaknya karena asumsiku dia sudah berkeluarga. Aku hanya tidak mau terlibat masalah keluarga dan perselingkuhan yang sama sekali tidak berfaedah dan memalukan. Sebenarnya aku bisa saja mencari tahu soal kehidupan pribadinya atau menanyakan ke sesama rekan kerjaku, tapi tidak kulakukan. Kuanggap itu sebagai angin lalu saja. Selama dia tidak menggangguku lagi, maka aku akan menutup mulutku rapat-rapat. Namun, sayang sekali dugaanku salah besar. Kejadian janggal tersebut boleh saja berlalu, aku boleh saja menolaknya, tapi dia tidak kapok mengajakku pergi berdua lagi. Minggu berikutnya dia mengajakku pergi lagi. Dia tidak pernah berhenti dan menyerah. Sama seperti dirinya, aku tak henti-hentinya menolaknya. Sejak perpisahan dari Jojo, aku merasa kalau aku harus rehat sebentar dengan permainan perasaan dan menunda misi balas dendamku dulu. Aku hanya merasa perlu menstabilkan perasaanku lagi.

Kantor baruku menerapkan sistem penilaian kinerja karyawan per enam bulan sekali. Tidak terasa kami sudah masuk ke minggu-minggu penilaian kinerja karyawan. Sebagai anak baru aku tidak luput dari waktu-waktu menegangkan itu. Dari kasak-kusuk dan informasi yang kudapat dari teman-teman kantor, penilaian ini akan dilakukan sepenuhnya oleh atasan kami untuk menentukan kenaikan gaji, siapa saja yang berkesempatan naik jabatan, dan bahkan siapa yang terancam SP sampai dipecat. Mereka mengatakan selama aku baik-baik saja dan tidak melakukan kesalahan yang begitu besar dan merugikan, maka aku tidak perlu khawatir karena Pak Kristo selalu memberikan penilaian yang baik untuk timnya. Meskipun tidak pernah melakukan kesalahan besar, sebagai anak baru aku tetap menghitung secara diam-diam kesalahan apa saja yang sudah aku buat. Flashback ke masa-masa pertama masuk sampai saat ini, aku memang melakukan beberapa kesalahan, tapi tidak ada yang membuat heboh dan bukan kesalahan besar. Jadi, aku mengambil kesimpulan sendiri bahwa posisiku aman-aman saja.

Sekali lagi, dugaanku salah besar. Penilaian kinerjaku sebagai karyawan dan anak baru tercatat sangat buruk dan aku melakukan banyak kesalahan. Aku tidak disiplin, manner dan attitude terhadap teman-teman satu tim tidak baik, tidak dapat diandalkan, enggan untuk membantu teman yang kewalahan dengan load pekerjaannya, kinerja yang buruk karena ceroboh, dan sering tertangkap basah sedang melamun dan bermain HP. Jelas sekali dan tidak diragukan aku terkena SP 1. Sebagai anak yang baru bekerja enam bulan di sini aku merasa seperti sampah dan dipermalukan. Padahal, aku sangat yakin kalau tidak ada satu pun dari tuduhan-tuduhan yang tercatat di atas kertas laporan itu benar. Aku mengumpat dan mengutuki atasanku dalam hati saat membaca laporan penilaian kinerjaku yang diberikan oleh staff HRD. Ini benar-benar di luar dugaanku. Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa. Kenapa dia begitu tega menjatuhkanku sementara aku tidak pernah melakukan kesalahan yang dituliskannya?

“Bu Angel, dengan berat hati kami harus memberikan Surat Peringatan pertama kepada Ibu.”

Aku mengangkat wajahku, menatap Bu Erlin kepala HRD yang duduk di hadapanku dengan pandangan yang penuh kekecewaan dan kesedihan menghadapiku. Aku masih syok dengan apa yang aku hadapi. Dorongan impulsifku bereaksi, membuatku ingin membela diri di hadapan Bu Erlin saat ini juga dan membongkar semua yang sudah dilakukan Pak Kristo terhadapku. Aku tidak takut karena aku punya bukti ajakan-ajakannya melalui Whatsapp.

“Bu Angel, ada masalah apa, Bu? Ibu bisa ceritakan kepada saya. Kita bisa mencari jalan keluarnya bersama-sama. Kalau misalnya Ibu merasa kurang cocok di bagian penagihan, kami bisa mempertimbangkan mutasi demi kinerja yang lebih baik.” Senyum manis Bu Erlin yang dibuat-buat tidak terlihat tulus sama sekali. Sebaliknya, senyumannya memuakkanku. Aku hanya ingin cepat-cepat keluar dari ruangannya.

“Saya rasa tidak ada yang perlu saya ceritakan ke Ibu dan saya masih menyanggupi bekerja di bagian penagihan. Maafkan saya jika saya sudah mengecewakan Ibu dan perusahaan ini. Saya janji akan memperbaiki kinerja saya sehingga di penilaian semester depan kita tidak perlu bertemu seperti ini, Bu. Mungkin kemarin saya banyak luput dan banyak melakukan kesalahan. Terima kasih untuk waktunya, Bu.” Tanpa banyak basa-basi lagi dan tanpa dipersilakan keluar dari ruangan, aku segera beranjak dari kursi pesakitan itu dan menghilang secepatnya ke dalam toilet. Di dalam toilet aku membaca ulang sekali lagi isi surat menyebalkan itu, lalu kurobek-robek menjadi sobekan kecil dan kubuang ke dalam closet. Dengan satu pencetan, sobekan kertas-kertas itu larut tergulung aliran air yang membawanya masuk ke dalam lubang pembuangan closet. Kedua mataku memperhatikan gerakan berputar air di dalam closet hingga berhenti sepenuhnya dan aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku akan membalas ulah atasanku. Lihat saja. Dia tidak tahu siapa yang ditantangnya dan bahaya apa yang menghadangnya.

Aku kembali ke ruanganku. Semua teman-teman di sana sedang asyik tertawa dan membahas berapa kenaikan gaji yang akan mereka terima, sementara aku hanya bisa tersenyum dan berpura-pura semua baik-baik saja. Aku memilih untuk berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku dan memasang headset agar tidak mendengar gelak tawa dan kasak-kusuk di sekitarku. Suka tidak suka, aku harus menelan pil pahit ini dan bersikap biasa saja di hadapan atasanku. Mengkonfrontasinya secara membabi buta hanya akan membuatnya menjatuhkanku lebih dalam. Permainan ini harus dimainkan dengan rapi dan cantik. Untuk mengambil hatinya, aku harus bersikap submissive dan menuruti ajakannya untuk pergi berkencan. Jika itu yang dia mau, maka tidak masalah. Itu adalah cara yang tepat untuk menjebaknya.

Sore itu sebelum jam kantor berakhir aku keluar ruangan dan berjalan menuju ke toilet. Tidak kusangka aku berpapasan dengan Pak Kristo di depan pantry yang bersebelahan dengan toilet. Perasaan geram dan sengit langsung menguasai diriku detik aku melihatnya, tapi aku ingat kalau aku tidak boleh bersikap menyerangnya. Kami berpapasan dan aku memberikan senyum manisku padanya.

“Angel,” panggilnya dengan agak lirih. Sudah pasti dia tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya memanggilku.

Langkahku terhenti. Jantungku berdetak kencang karena aku tahu aku harus meredam emosi negatif dan keinginanku untuk berteriak memaki-makinya. Sebaliknya, aku harus mengubah perasaan sengitku menjadi perilaku manis dan tunduk di hadapannya. Aku menghela napas panjang dan membalikkan badan. “Iya, Pak?”

Dia berjalan mendekatiku dan berbicara dengan begitu lirih. “Sudah tahu apa yang akan terjadi padamu kalau kamu terus menolakku? Pikirkan baik-baik.” Seringai licik serigala terukir di wajahnya yang ingin kutampar sekeras-kerasnya.

“Mengerti, Pak. Saya tidak akan mengulanginya.” Aku mengangguk dan dia pun pergi meninggalkanku yang masih berdiri kaku memandangnya dengan penuh dendam kesumat. Aku jadi semakin tidak sabar untuk mengeksekusinya. Api yang berkobar di dalam diriku semakin memanas dan membara. Mari bersabar. Kita tunggu sampai waktunya tiba. Kemenangan akan berada dalam genggamanku.

***

Rencana balas dendamku harus tersusun rapi dan tidak mencurigakan. Aku mulai dengan menstalk akun sosial medianya. Sayang sekali rata-rata akunnya diprivasi. Tidak kehilangan akal, aku mencoba membuat akun-akun palsu menggunakan foto wanita cantik dengan harapan dia akan terpancing dan aku bisa dengan leluasa menyelidiki kehidupannya. Namun, keberuntungan tidak juga memihakku. Beberapa hari berlalu, jumlah postingan dan foto profilnya berganti, tapi dia tidak juga menerima permintaan pertemananku di sosial media. Skakmat! Aku benar-benar kehabisan akal. Tidak tahu lagi harus melakukan apa. Sementara dari kabar-kabar yang mulai kudengar dari teman-teman, dia sudah berkeluarga, tapi tidak mempunyai anak. Sempat terpikir olehku kemungkinan dia mencari semacam istri simpanan atau istri kedua untuk memberikannya seorang anak. Apapun itu alasannya, hal ini tetaplah tidak benar dan sudah sangat kelewat batas.

Beberapa waktu berlalu tanpa ada pencerahan yang menghampiriku. Sampai suatu hari aku tidak sengaja melihat sesuatu di layar monitornya. Kejadiannya sangat cepat dan tidak terduga. Hari itu aku bertugas untuk mengantarkan laporan mingguan penagihan tim kami ke ruangannya. Kebetulan dia tidak sedang berada di ruangannya, jadi aku hanya meletakkan tumpukan laporan di atas mejanya. Ini biasa kami lakukan jika dia tidak ada di ruangannya. Sayangnya, waktu itu mejanya sangat berantakan dan banyak sekali tumpukan kertas yang memenuhi mejanya. Aku sedikit kebingungan di mana harus meletakkan tumpukan laporan yang cukup makan tempat. Maka, aku berinisiatif meletakkan laporan kami yang merupakan laporan penting tepat di depan layar monitornya. Saat aku selesai meletakkan laporan, terdengar bunyi notifikasi dari komputernya. Ada satu notifikasi dari akun Facebooknya. Tiba-tiba saja aku tergoda untuk membuka akunnya dan menyelidiki istrinya. Pasti ada informasi yang bisa kudapatkan dari sana, pikirku. Tanganku berkeringat dingin saat aku mempertimbangkan keputusanku. Antara takut dan nekat bercampur jadi satu, but it’s now or never. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera membuka akun Facebooknya dan mencari tahu siapa istrinya dari info profilnya yang ternyata tidak memberikan informasi apapun. Dalam tekanan yang sangat tinggi di situasiku, aku tidak kehilangan akal. Aku bergerak cepat membuka album fotonya. Aku menemukan satu album berjudul Wedding. Dengan satu klik, aku membukanya dan menemukan nama istrinya. Katarina Berlian. That’s it! Di saat yang sama suara langkah beberapa orang yang diikuti dengan obrolan berisik mereka membuatku cepat-cepat mengakhiri penyelidikanku. Aku mengembalikan tampilan Facebook ke beranda seperti semula dan mengembalikan tampilan layar monitornya seperti sebelumnya. Katarina Berlian. Aku menggumamkan nama itu berulang kali dalam hati. Kartumu sudah di tanganku, Pak Kristo. Kita hanya tinggal menunggu tanggal mainnya. Aku sudah tidak sabar menanti hari itu.

Aku mulai mencari di sosial media akun milik Katarina Berlian itu. Tidak sulit menemukannya dan berbeda dari suaminya, akun istrinya tidak diprivasi sama sekali. Benar, dia adalah istri Pak Kristo. Dari foto-foto yang diunggahnya, aku mendapatkan informasi kalau mereka sudah menikah sejak 2010 dan memang tidak ada satu pun dari fotonya yang menunjukkan mereka sudah memiliki momongan. Kalau dilihat dari kemesraan yang mereka pamerkan melalui foto-foto di sosial media, mereka kelihatan seperti happy couple, or at least they try to look like happy couple, I don’t know which one is true. Baru saja aku melihat salah satu foto mereka di Jepang, ponselku bergetar dalam genggaman tanganku. Suami Katarina Berlian menghubungiku. Seperti yang sudah-sudah, dia mengajakku pergi bersama lagi. Aku menggigit bibir bawahku sebelum memutuskan jawabanku. C’mon, Angel, it’s now or never. But, how? You will find a way. Aku mengiyakan ajakannya, tapi tidak minggu ini. Aku meminta minggu depan dengan alasan klasik aku sudah ada janji dengan orang lain. Dia tidak mencurigaiku sama sekali. Kami akhirnya membuat janji. Hari Sabtu depan jam lima sore dia akan menjemputku di kos dan akan membawaku ke salah satu restoran ternama di Jakarta.

Lihat selengkapnya