Tidak ada yang pernah menyangka perjalanan panjangku yang penuh dengan lika-liku akan berakhir di sini. Di sosok seorang pria di mana separuh jiwaku begitu kuat ingin berlabuh di hatinya dan separuh jiwaku yang lain begitu egois menolaknya. Aku menatap wajahnya dari samping. Dia diam saja. Wajahnya tenang teduh. Hanya kedamaian yang terpancar darinya. Tidak ada yang lain lagi. Aku berusaha mencari sesuatu yang lain dari tatapan wajahnya, tapi tak berhasil menemukan apapun. Tidak ada kebencian, kekecewaan, kepahitan, bahkan dendam padaku. Beberapa waktu berlalu tanpa kami berkomunikasi sama sekali, dan kini aku berada bersamanya menghabiskan hari libur yang panjang ini bersama.
“Kupikir hubungan kita sudah berakhir sejak kejadian itu,” kata-kataku memecah keheningan syahdu di antara kami, yang disusul dengan bunyi debur ombak di kejauhan yang pecah menghantam garis pantai.
“Tidak. Kadang kita butuh waktu untuk menyendiri. Kita butuh waktu untuk berpikir dan memikirkan tentang diri kita. Itu tidak salah. Itu yang kita lakukan.” Tatapannya masih terpaku pada hamparan laut biru yang membentang di sana.
Bagaikan terombang-ambingkan ombak di laut, sebenarnya aku masih belum memikirkan apa yang akan aku lakukan padanya, pada seorang Malvin. Dia adalah sosok yang sudah begitu banyak membantuku. Boleh dikatakan aku berutang budi padanya. Sebagai seorang terapis, aku yakin dia punya begitu besar kemampuan untuk membantuku sembuh dan keluar dari dendam masa laluku yang begitu kelam. Sebagai seorang pria, aku juga yakin dia berhati lembut dan tulus. Dia adalah sosok penuh kasih sayang yang selama ini aku damba-dambakan. Meskipun dia harus melanggar semua kode etik keprofesiannya, aku tidak melihat hal tersebut sebagai sebuah cela. Itu adalah bukti dia peduli padaku melebihi apapun yang dimilikinya. Dia memang tidak mengutarakan perasaannya padaku secara gamblang. Mungkin belum, tapi aku sangat yakin dengan perasaannya. Kehadirannya dalam hidupku seolah ingin mematahkan anggapan dan gambaran negatifku terhadap laki-laki. Namun, kenapa dia harus datang sekarang? Kenapa tidak dari awal saja? Aku bertanya-tanya sendiri meskipun aku tahu jawabannya. Mungkin kehadirannya di saat yang terkesan sudah terlambat ini untuk menyadarkanku tentang apa yang telah kulakukan selama ini dan masih ada waktu untuk mengubahnya. Tidak ada kata terlambat, kan?
“Malvin,” panggilku dengan sedikit ragu. Kali ini dia menoleh ke arahku. Rambutnya acak-acakan terhempas angin pantai. “Bisakah kita memulai sesi lagi supaya kita bisa menjalani hidup seperti orang normal? Maksudku, kita berdua.”
Dia mengernyit sesaat mendengar pertanyaanku. “Kita?”
Pertanyaannya membuatku ragu. Mungkinkah aku terlalu percaya diri dengan semua kebaikannya selama ini? “Maaf. Maksudku, supaya aku bisa menjalani kehidupan seperti orang normal lainnya dan kita berdua bisa berteman layaknya teman sungguhan setelah aku sembuh.”
“Kalau kau mau sembuh, memulai hidup baru, kau bisa melakukannya. Aku yakin. Bahkan… tanpa bantuanku sekalipun.”
Aku tak mengerti apa maksudnya untuk sesaat. “Aku ingin sembuh. Tentu saja. Hanya saja…” Aku menggigit bibir bawahku sebelum melanjutkan kalimatku. “Lupakan.”
“Angel, ketahuilah bahwa aku akan selalu ada di sampingmu.” Senyumnya tidak pernah setulus ini atau ini hanya perasaanku saja, sih? Tidak, ini bukan cuma perasaan semuku. Dia menggenggam tanganku dan mencium keningku. “Kita harus memulai sesi lagi. Ok?”
“Seperti dulu?” tanyaku naif.
Anggukannya yang serius sudah cukup menjawab pertanyaanku. Dia menggandengku pergi dari sana dan mengantarkanku pulang ke apartemen.
***
Tidak ada yang tahu masa depan akan seperti apa. Kita bisa merencanakan segala sesuatunya dengan begitu detail, tersusun rapi, dan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mewujudkannya. Lebih jauh lagi kita bahkan rela berkorban demi mewujudkan apa yang sudah direncanakan dan diimpikan. Tidak terkecuali aku. Aku rela mengorbankan segala sesuatunya demi menjadikan rencanaku terlaksana. Sepuluh pria. Hanya kurang tiga lagi, tapi kenapa begitu sulit menuju ke angka delapan ini? Angka delapan adalah angka yang begitu sempurna. Garisnya terhubung dengan erat dan pasti, tidak ada yang terputus. Apakah itu pertanda bahwa aku dan Malvin akan terhubung dengan erat dan tidak dapat terpisahkan?
“Aku tidak bisa. Ini tidak adil,” kataku pada diriku sendiri menyanggah pemikiran konyol itu. Sejak kapan aku berkompromi selama ini? Serumit ini? Sejak kapan aku membiarkan mencampuradukan perasaan dan misi? Perasaan hanya akan menghancurkan misi ini.
“Tapi, Malvin begitu baik. Dia sosok yang kuidam-idamkan setengah mati dalam hati. Dia…adalah jawaban dari semua kegelisahanku,” sanggahku lagi, masih berusaha bernegosiasi dengan diriku sendiri “Angel, kenapa kau begitu keras kepala?” Aku geram sendiri dengan pemikiranku.
Tiga pria lagi dan aku akan hidup dengan bebas dan tenang. Bebas. Tenang. Benarkah? Refleksi wajahku di cermin mengatakan sebaliknya. Misi ini telah menjadi pencemar dan pencemar ini sudah mencemari seluruh diri seorang Angel. Mungkin sekarang aku bisa berkata sepuluh pria cukup, tapi setelah aku mendapatkannya apakah hasrat itu akan padam begitu saja? Belum tentu. Bagaimana jika hasrat itu justru sudah tumbuh subur mengakar dalam diriku dan akan mengendalikanku? Sepuluh pria mungkin tidak akan pernah cukup.
Kutatap pantulan wajahku di cermin lagi lekat-lekat. Aku tidak melihat sosok seorang Angel lagi. Aku melihat sosok Reta yang menatapku balik dengan tatapan penuh dendam dan amarah yang alasannya tidak dapat diragukan lagi.
***
Sesiku dengan Malvin akan dimulai malam ini. Kalender duduk yang duduk dengan angkuh di atas meja kerja menatapku sedari tadi. Ia memberi sinyal untukku melihatnya. Aku tidak bisa melepaskan pikiranku dari bayangannya. Malam ini akan menjadi malam ketika aku akan bertemu dengannya secara formal, profesional, bukan sebagai dua orang yang mempunyai perasaan yang sama melainkan sebagai seorang terapis dan pasien. Tidak kupercaya aku akan duduk di kursi itu, berhadapan dengannya lagi, di ruangannya yang serba bersih dan rapi. Aroma pengharum ruangan yang mengepul dalam bentuk uap-uap air yang bergerak horizontal ke atas dari lubang mesin diffuser dapat kurasakan sekarang. Aroma bunga Lavender. Ahh… Malvin, apa yang kau inginkan dari seorang Angel sebenarnya?
Mobilku melaju dengan kecepatan sedang menuju ke tempat praktiknya yang terletak di daerah Pondok Indah. Jalanan pulang kerja seperti biasa sangat macet. Di tengah kemacetan ini, entah berapa kali mobilku sudah berhenti-berjalan-berhenti-berjalan setiap lima menit sekali. Seorang pengendara motor dengan nekat dan gesit menyelip mobilku dan memakan jalan di depanku. Aku menekan tombol klakson dengan keras karena kesal dia telah memblokir jalanku dan membuatku semakin lama di tengah jalan sempit ini. Sayangnya, motor matic yang kini berada persis di depan mobilku juga tak bisa bergerak ke kanan atau ke kiri. Semua celah sudah tertutup rapat oleh motor-motor lain. Baiklah, aku mendengus sambil menenangkan emosiku. Kusandarkan punggungku ke sandaran kursi mobil. Di tengah-tengah kemacetan ini, bayangan Reta kembali menghantuiku. Bayangan Reta semalam tidak kunjung mau meninggalkanku begitu saja sehingga memunculkan satu pertanyaan yang selama ini tidak pernah kutanyakan pada diriku sendiri ataupun Malvin. Kurasa ini adalah pertanyaan yang bagus. Tidak… Mungkinkah pertanyaan ini adalah jawaban atas apa yang kulakukan selama ini? Atas segala obsesi psikopat gila tak berdasar yang selama ini kupupuk dan kupelihara untuk tumbuh subur menguasai diriku?