The Woman with Purpose

judea
Chapter #2

First Testimony

Ruangan ini hari ini terasa lebih rapi dan lebih nyaman. Rak buku di belakangnya rapi, tidak seperti biasanya yang sedikit berantakan. Lukisan mawar merah yang menggantung dengan anggun di dinding pun terasa lebih segar. Kau dapat membandingkan warna merahnya minggu lalu dan hari ini. Hari ini ia terlihat lebih merah merona. Merah merona yang mengingatkanku pada warna lipstik yang mewarnai bibirku. Omong-omong soal lipstik, aku jadi insecure jika lipstikku tidak semerah yang seharusnya. Kukeluarkan ponselku dan membuka kamera depan yang langsung menunjukkan pantulan wajahku di kamera. Warna merah yang pas. Aku mengembalikan ponselku ke dalam tas dan melemparkan pandangan ke sekitar ruangan lagi. Gorden ruangan ini ternyata diganti seminggu sekali. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Warna gorden yang menggantung di kedua sisi jendela berbeda dari minggu lalu dan aku lebih suka warnanya sekarang, asal kau tahu. Merah muda yang cantik. Terlihat serasi dengan lukisan mawar merah yang menggantung di dinding. Tak hanya indera penglihatan, indera penciumanku juga dimanjakan di sini seolah aku ingin berada di sini selamanya. Aroma pengharum ruangan yang keluar mengepul dalam wujud asap dari pucuk mesin diffuser yang berbentuk seperti bawang Bombay membuatku semakin nyaman di sini. Aroma khas minyak esensial Lavender. Aromanya yang seksi benar-benar menggugah, ditambah dengan sosoknya yang duduk di hadapanku sekarang. Dia menungguku menceritakan semuanya. Well, berat rasanya ketika kau harus jujur kepada stranger. Hmmm… Tidak, dia tidak sepenuhnya orang asing. Sudah sekian purnama kami bertemu. Dia… dia hanya bukan teman atau sahabatku. Dia berbeda. Namun, terkadang itulah satu-satunya hal yang harus kau lakukan ketika tidak ada lagi orang di sekitarmu yang mungkin bisa membantumu. Atau, ketika itulah satu-satunya jalan terbaik.

Dia berdeham. Matanya menatapku dengan tatapan mengawasi. Aku mengembalikan fokusku padanya setelah fokusku mengembara ke seluruh ruangan ini. Baiklah, ujarku dalam hati.

“Ada satu masalah.” Bukan kalimat yang bagus untuk mengawali sebuah pembicaraan, tentu saja. Dia tidak berkomentar. Itu artinya dia menungguku untuk melanjutkan kesaksianku.

Lihat selengkapnya