Ketika anakmu melakukan hal-hal di luar kendali, menyakiti temannya, atau dengan sengaja melakukan tindakan yang tidak diterima secara normal dan sosial, maka ada yang salah dengan caramu mendidik anak atau ada PR yang belum kau selesaikan sehingga anakmu berbuat seenak jidatnya. Aku penasaran apa yang orangtua mereka lakukan, bagaimana cara mereka mendidik anak-anaknya, nilai-nilai apa yang ditanamkan sejak kecil? Kalau boleh kutebak, orangtua kalian tidak pernah mengajari kalian cara menghargai dan menghormati lawan jenis.
2011. Waktu itu aku sudah duduk di kelas sebelas alias kelas dua SMA. Satu tahun lagi aku akan jadi senior dan lulus dari sekolah menyebalkan ini. Orang bilang masa-masa SMA adalah masa-masa paling menyenangkan. Bullshit! Masa-masa di SMA adalah waktu yang paling menyiksa dan menyakitkan bagiku. Aku tidak terlalu punya banyak teman. Entahlah, aku tidak tahu alasan teman-teman sekelasku terlihat menjaga jarak denganku. Mungkin karena aku bukan anak orang kaya, karena aku terlalu pendiam, dan aku selalu ranking satu atau karena aku saja yang tidak pantas menjadi teman mereka. Pastinya aku tidak tahu. Semua itu hanya asumsiku. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur karena ada seorang teman yang bersedia bersahabat denganku. Namanya Amel. Amel bertubuh kecil mungil dengan kulit sawo matang dan berhijab. God knows I admire her so much. Dia sangat baik dan polos, dan pintar juga meskipun tidak bisa melengserkan posisi takhta rankingku. Peringkat lima besar kelas selalui diraihnya. Sayang sekali kami tidak bisa masuk organisasi yang sama. Dia masuk English Debate karena bahasa Inggrisnya jauh lebih mahir daripada aku. Aku banyak belajar darinya. Sementara aku yang tidak tertarik masuk organisasi apapun akhirnya memutuskan masuk ke organisasi Pramuka. Dulu aku begitu menyukai Pramuka dan di sanalah semuanya berawal.
Aku menjadi pengurus yang cukup aktif di organisasi Pramuka. Kedekatanku dengan kakak-kakak kelas membuatku lebih dikenal dibandingkan beberapa teman lainnya. Kalau boleh sombong, aku termasuk orang yang diperhitungkan dan dikenal baik oleh para kakak pengurus. Dengan bangga aku bisa mendeklarasikan popularitasku dalam organisasi Pramuka pada diriku sendiri di depan cermin setiap akan berangkat sekolah. Keeksistensianku menonjol di organisasi ini dan aku begitu bangga karenanya. Aku bisa menjadi diriku yang seutuhnya di sana. Menjadi diri sendiri, aku diterima apa adanya oleh teman-teman dan para kakak pengurus organisasi yang sedikit banyak kukagumi. Setiap kali ada pertemuan mingguan, rapat, dan pelaksanaan ekstrakurikuler rutin, aku selalu bersemangat dan merasa hidup.
Perekrutan untuk proses regenerasi pengurus organisasi pun tiba. Beberapa kandidat yang berpotensi dikumpulkan jadi satu dan kami melakukan pemilihan internal. Alvin, calon ketua Pramuka, menunjuk Redy, anak IPA II, sebagai wakilnya. Kak Ita menunjukku untuk membantunya sebagai sekretaris dua. Tidak ada sanggahan dari sana-sini, aku pun resmi menduduki jabatan tersebut. Bunga ditunjuk sebagai bendahara dua, Tony sebagai wakil pemangku adat untuk laki-laki, Putri sebagai wakil pemangku adat untuk perempuan, dan beberapa nama lainnya yang sudah mulai terasa samar-samar kabur dalam ingatanku. Sebagai pelantikan jabatan baru kami, kami harus menginap dari hari Sabtu sampai Minggu untuk acara pelantikan dan inisiasi. Yang akan hadir di acara pelantikan itu hanya para pengurus yang akan lengser dan yang akan dilantik.
Acara pelantikan diadakan di sekolah. Kami hanya didampingi dua orang guru pendamping, tapi semuanya berjalan lancar sampai kejadian itu terjadi. Waktu itu adalah waktu senggang kami, sekitar jam dua siang setelah makan siang sampai jam tiga sore. Kebetulan siang itu matahari sedang asyik bersembunyi di balik awan. Aku dan beberapa teman perempuan lainnya berhambur ke lapangan dan bermain basket untuk membunuh waktu. Sementara itu para penggalang laki-laki hanya asyik duduk-duduk di koridor sambil menonton kami yang bermain basket meskipun beberapa di antara mereka sibuk mempersiapkan acara sore. Saat itu aku tidak punya firasat apalagi pikiran buruk apapun. Bagiku komunitas ini adalah tempat teraman bagiku, yaitu rumahku. Semua orang menunjukkan bahwa mereka peduli dan menghargaiku. Ternyata tidak. Penilaianku salah. Atau, aku saja yang terlalu naif.
Bola basket di tanganku kupertahankan erat-erat. Aku men-dribble bola tersebut sampai mendekati ring. Sebentar lagi aku akan mencetak angka. Satu, dua, tiga, gedebuk! Sayang sekali rencanaku tinggal rencana. Putri menyerangku dan bola itu terlepas dari jangkauan tanganku. Aku terjatuh dan semua orang tidak peduli denganku. Mereka sibuk mengejar Putri dan bola di tangannya. Aku mengumpat dalam hati sambil dengan susah payah berdiri dan menghempaskan debu dari pakaianku. Perasaan kesal karena gagal mencetak gol membuatku geram. Namun, yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaanku. Tidak hanya membuatku geram, tapi itu adalah hal yang tidak termaafkan. Bukan karena Putri, bukan karena teman-teman perempuanku yang sedang sibuk berebut bola di ujung sana, melainkan karena teriakan lantang Alvin dari koridor.