2019. Notifikasi undangan reuni sekolah itu kudapatkan dari Facebook. Reuni diadakan di bulan Desember setelah libur Natal dan hanya untuk angkatan yang lulus di tahun 2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014. Aku tidak tahu alasan panitia reuni membatasi sampai lima angkatan saja dan aku tidak peduli juga. Awalnya aku tidak tertarik sama sekali dengan reuni tersebut meskipun kebetulan aku akan berada di kampung halaman setelah libur Natal. Basa-basi dan buang-buang waktu saja menurutku. Reuni hanya jadi ajang untuk memamerkan harta dan kesuksesan yang sudah kau raih. Namun, pikiranku berubah seratus delapan puluh derajat ketika aku melihat ketiga nama pria yang familiar akan menghadiri reuni tersebut. Redy, Tony, dan Alvin. Ketiga nama itu membuatku untuk menyelidiki mereka. Delapan tahun sudah berlalu sejak kejadian di SMA dan setelah aku masuk kuliah aku tidak pernah mendengar kabar mereka atau berkontak dengan mereka. Seperti apa kehidupan mereka saat ini? Aku tebak mereka pasti sudah lulus kuliah sepertiku. Karena kepo, aku memutuskan untuk mengklik profil mereka satu per satu. Kami berteman di Facebook, tentu saja.
Redy. Dia sudah menyelesaikan studinya di jurusan teknik mesin di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo. Aku melihat foto-foto wisudanya. Tidak kusangka si otak mesum ini mendapatkan gelar cumlaude dan termasuk lulusan terbaik di angkatannya. Aku tersenyum nyinyir melihat foto-fotonya. Betapa para dosen dan rektornya tidak tahu catatan hitamnya sewaktu SMA. Your card’s in my hand. So far, tidak ada unggahan fotonya yang mesra bersama seorang perempuan. Aku menyimpulkan dia masih jomblo. Kurasa aku harus melakukan penyelidikan lebih lanjut melalui Instagram, huh?
Tony. Anak gaul Jakarta yang sudah menyelesaikan studinya selama tiga setengah tahun di perguruan tinggi swasta terkenal di Ibukota. Sama seperti Redy, dia juga bergelar cumlaude. Dari postingan fotonya, ternyata dia akan melanjutkan pendidikannya ke tingkat S2. Menarik juga kehidupannya, pikirku. Dia sering berseliweran di kafe-kafe mahal dan dikerumuni wanita-wanita cantik. Teman-temannya juga kelihatan berduit. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah dia jomblo atau tidak karena terlalu banyak fotonya dengan perempuan yang berbeda-beda. Dia juga sering trip ke luar negeri bersama teman-temannya. Aku mengangguk-angguk melihat fotonya satu per satu dan penasaran apakah di malam-malam panjang yang dia habiskan dalam hiruk pikuk keglamoran bersama teman-temannya ada sedikit penyesalan terhadap perlakuannya padaku? Jawaban itu tidak ada yang tahu. Mungkin dia tidak menyesal sedikit pun karena memang tak punya hati. Tenang saja, aku akan memberikan rasa penyesalan yang luar biasa mencabik-cabik dirinya. Secepatnya. Hmmm, kurasa aku mulai mendapatkan ide untuk itu. Ah, jadi tidak sabar melihatnya reuni dengan perasaan itu.
Alvin. Terbusuk dari yang terbusuk. Son of a bitch. Tidak kusangka dia sudah punya pacar. Hmmm, ini menarik. Aku melihat profil pacarnya. Tidak terlalu cantik. Jauh dari ekspektasiku tentang wanita idamannya. Entah mengapa aku jadi geli sendiri. Bagaimana dia memperlakukan pacarnya? Apakah dia juga merendahkan Regina Natania, pacarnya, seperti dia merendahkanku? Pernahkah seorang Regina Natania menyangka bahwa pacarnya telah melecehkan temannya? Omong-omong, Alvin akan melihat reaksi seorang Regina Natania ketika mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Aku seribu persen yakin Regina akan memutuskan hubungannya dengan Alvin saat dia tahu kalau Alvin adalah jelmaan dari seorang predator mengerikan yang tega menghancurkan harga diri seorang teman perempuannya yang tidak bersalah.
Satu kali klik dan aku sudah mengkonfirmasi kedatanganku ke reuni tersebut. It’s gonna be a PARTY for all of us!
Satu minggu mendekati hari H, seorang panitia membagikan rundown acara dan dia memasukan kami dalam satu grup besar di Whatsapp. Rundown acara kupelajari dengan saksama. Aku harus berterima kasih pada orang yang menyusun acara reuni dan menuliskannya dengan begitu detail. Seperti yang aku bilang, it’s gonna be a PARTY! A very big party. Apalagi Tony dan Redy sudah dijadwalkan untuk menjadi MC di permainan tebak-menebak. Lalu, Alvin mengatakan sendiri dengan sombongnya di grup kalau dia akan membawa pacar barunya dan mengenalkannya kepada kami. Dasar manusia tak berakhlak yang sok tenar! Tenang saja, waktunya akan tiba. Mereka tidak akan pernah berpikiran bahwa ada kejutan yang sedang menunggu mereka di depan sana. Ini semakin membuatku tidak sabar untuk datang ke reuni SMA.
Priskila Hall adalah tempat diselenggarakannya reuni semi-akbar SMA kami. Kakiku melangkah keluar dari taksi dengan mantap. Sesaat aku menatap bangunan tinggi bergaya semi Yunani yang berdiri megah di hadapanku. Orang-orang sudah berdatangan dan berjalan menuju ke pintu masuk hall. Belum ada orang yang kukenal sepanjang mata memandang. Tidak masalah, ujarku. Dress hitam panjang dengan model bahu sabrina yang dipercantik dengan lengan panjang berbahan brokat membuat penampilanku sempurna. Rambutku dicepol seadanya dengan gaya messy hair dan make up wajah yang sedikit gotik menebarkan kesan seram, elegan, misterius menjadi satu. Sebelum memasuki hall, kami mengantre untuk registerasi. Daftar nama-nama tamu yang akan datang sudah tercetak dengan rapi di atas meja registerasi. Mataku bergerak menuruni deretan nama tersebut, mencari namaku. Angelina Suradi. Aku mendengus membaca namaku. Nama belakang yang bersanding dengan nama Angelina membuatku getir. Sebelum aku menandatangani kertas registerasi itu, diam-diam dan dengan cepat aku memanfaatkan kesempatan untuk mencari ketiga nama manusia mesum itu. Wow. Pupil mataku membesar seketika melihat tanda tangan mereka bertiga yang sudah tercetak di kolom nama mereka. Sempurna! Aku hanya tinggal mencari keberadaan mereka.
Hall ini sangat besar dan berkapasitas dua ribu hingga tiga ribu orang. Panitia merancang reuni kami dengan model pesta bermeja, bukan standing party. Aku berjalan perlahan sambil memeriksa setiap lelaki yang duduk. Hampir semua lelaki yang duduk mengenakan jas hitam atau kemeja batik sehingga aku sedikit kesulitan menemukan tiga serangkai bejat itu.
“Angel!” Suara seorang perempuan dari arah meja samping yang memanggilku membuatku harus terpaksa menghentikan langkah. Aku menoleh ke arah datangnya suara itu.
“Amel!” pekikku dengan penuh luapan kebahagiaan. Aku setengah berlari menghampirinya. Kami berpelukan. Oh God, it’s been ages. Aku benar-benar merindukannya. Dia kelihatan anggun dengan dress batiknya yang panjang dan hijabnya yang serasi dengan warna merah dress batiknya.
“Kamu ke mana aja? Aku Whatsapp kamu, tapi nggak dibalas. Sombong kau!” Dia mencubiti kedua pipiku. Aku terkekeh karena perlakuannya yang menggemaskan. Begitulah dia ketika sedang marah. Dia akan melampiaskannya dengan cara yang menggemaskan.
“Maafkan aku.”
Dia masih gemas mencubiti pipiku. Orang-orang melihat dan memperhatikan kami sekilas. Aku bukan anak yang tenar sewaktu SMA sehingga mereka pasti berpikir keras tentang siapa diriku ini. Apalagi semenjak kejadian menyedihkan itu, aku lebih sering menyendiri dan bersembunyi di dalam kelas ketika istirahat. Dulu aku berharap Bumi terbuka dan langsung menelanku hidup-hidup supaya aku tidak perlu lagi bertemu dengan mereka. Namun, sekarang berbeda. Aku justru ingin sekali bertemu dengan mereka lagi. How’s life going on?
“Angel, ayo duduk di sana. Gabung sama kami. Kayaknya orang-orang pangling sama kamu, deh. Kamu kelamaan ngilang, sih!” Tangan Amel sudah menarik tanganku untuk ke mejanya. Di mejanya kulihat Putri, Salma, Ferdi, Dio, dan satu perempuan yang asing bagiku. Putri melambaikan tangannya kepadaku dengan senyum sumringah yang menghiasi wajahnya. Otakku langsung berpikir keras. Jika aku duduk bersama Amel, aku tidak bisa melancarkan aksiku. Aku harus menghentikannya, tapi bagaimana?
“Amel, maafkan aku. Aku ingin duduk bersamamu, tapi mejamu terlalu jauh dari panggung, Mel. Aku tidak bisa melihat dengan jelas ke panggung dari sana.”
“Oooh…” Kekecewaan terdengar dari suaranya.
“Maafkan aku. Aku akan main ke mejamu sebelum acara berakhir. Ok? Spare me the chair.”
Amel mengangguk dengan tatapan kecewa, tapi tetap berusaha memahamiku. Aku segera berlalu dan kembali pada pencarianku. Aku berjalan sampai ke tengah ruangan. Demi Tuhan, Priskila Hall ini terlalu besar. Kakiku mulai melangkah perlahan agar mataku bisa menyelidiki dengan lebih teliti. Aku takut kehabisan waktu mencari mereka, atau setidaknya salah satu dari mereka.