“Malam semuanya!” Kebanggaan dan kebahagiaan terdengar jelas dalam suara mereka berdua, bahkan sampai ke backstage. Kebanggaan akan pencapaian mereka selama ini, kekayaan dari orangtua mereka, ketenaran yang dimiliki sejak SMA, dan kekejian karena telah berhasil menghancurkan harga diri seorang perempuan yang tidak bersalah. Aku tersenyum sinis mendengar suara mereka dari backstage. Mereka boleh menghancurkanku saat itu, tapi tidak sekarang, tidak selamanya. Your karma is waiting on your door.
Hiruk pikuk yang terdengar dari para tamu reuni membuatku tidak sabar ingin menyaksikan kebodohan dan ketotolan mereka di atas panggung. Dengan segera aku beranjak meninggalkan ruangan backstage dan kembali ke hall. Tidak hanya itu, aku juga penasaran dengan kabar Alvin. Apakah obat yang kumasukan ke dalam minumannya bekerja dengan manjur? Aku bahkan tak bisa membayangkan ekspresi wajahnya.
Aku masuk ke dalam hall, dan kedua kursi di sebelah kananku kosong.
“Alvin dan Regina ke toilet.” Seolah bisa membaca raut wajahku yang penuh pertanyaan melihat kedua kursi itu kosong, Cindy memberitahuku dengan wajah yang khawatir. “Kamu sudah baikan?”
“Oh, aku baik-baik saja. Mereka kenapa?” Masih dengan akting berpura-pura polos tak tahu apapun.
“Alvin tiba-tiba sakit perut. Nggak tahu kenapa. Sepertinya makanan di sini nggak beres. Kamu sakit, Alvin sakit.” Cindy menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. “Kamuy akin sudah baikan? Mukamu pucat.”
“Sudah, kok. Aku baik-baik saja, Cin,” aku menjawabnya dengan senyuman semanis mungkin, berusaha meyakinkannya kalau aku baik-baik saja karena memang sebenarnya aku baik-baik saja.
Aku duduk di kursiku dan meneguk soda dengan perasaan puas dan penuh kemenangan. Suara gelak tawa dan heboh dari para tamu reuni karena kekonyolan Tony dan Redy di panggung memenuhi ruangan hall. Sesekali aku ikut tertawa, bukan karena kelucuan yang mereka buat-buat, melainkan menertawakan kebodohan mereka. Waktunya untuk bermain sekarang. Sekitar lima belas menit kemudian, Regina kembali ke ruangan dengan wajah panik.
“Ada apa?” tanyaku sok peduli.
“Alvin sakit perut,” jawabnya singkat sambil mengambil tissue dan minyak kayu putih di tasnya. Rambutnya yang rapi kini sudah berantakan karena repot mengurus pacarnya.
“Ada yang mau kubantu?” Aku masih dengan sandiwara sok peduliku.
Dia menggeleng dan berterima kasih padaku, kemudian menghilang dengan cepat ke toilet.
“Baik, sekarang kita mulai main, ya?” suara lantang Redy yang terdengar pede dari atas panggung membuatku kembali mengalihkan fokusku pada sepasang pria bodoh di atas panggung yang siap mempermalukan dirinya sendiri. Kulipat kedua tanganku di dada, tersenyum dari tempatku duduk sambil terus mengawasi mereka, menunggu momen-momen memalukan itu yang takkan dapat dilupakan seumur hidup.
Beberapa tamu menyahut dengan riuh, disusul gelak tawa bahagia penuh sukacita. Aku masih mengawasi dengan tenang.
“Ok. Saya akan bacakan pertanyaannya. Nanti sistemnya siapa cepat, maka?” Tony melemparkan pertanyaan dengan senyuman lebar.