The Woman with Purpose

judea
Chapter #6

2003

Reta namanya. Dia adalah kakak perempuanku. Satu-satunya saudara kandung yang kupunya. Rambutnya selalu pendek seperti anak laki-laki. Dia memang anak perempuan yang tomboi. Dia lebih senang bermain dengan anak laki-laki dan sifatnya bandel luar biasa. Kebiasaannya adalah main basket dan kelayapan sampai sore, bahkan malam. Kami berbeda. Sangat berbeda. Aku jauh lebih feminine dan tidak suka kelayapan hingga malam. Waktuku lebih banyak dihabiskan di rumah untuk mengerjakan PR dan baca buku. Ibu tidak pernah mempermasalahkan pilihan kami. Bagi Ibu, apapun pilihan kami, selama itu membuat kami lebih nyaman, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, sepertinya prinsip itu tidak dimiliki Ayah. Ayah tidak terlihat senang dengan penampilan dan kelakuan Reta yang tomboi dan bandel. Dia tidak mau belajar. Sebaliknya, dia lebih fokus pada turnamen basketnya.

Hari itu, 17 September 2003, kakakku sudah genap berusia dua belas tahun. Seharian dia belum pulang, bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pagi hari sewaktu istirahat sekolah dia menemuiku di kantin dan mengatakan kalau dia akan pergi bersama teman-temannya dan paling larut akan pulang pukul delapan malam. Kenyataannya sudah pukul delapan malam dan dia tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Ibu mulai khawatir dan Ayah sudah marah-marah sendiri. Dia memarahi Ibu dan juga aku. Aku masih tidak mengerti sampai detik ini mengapa dia harus memarahi dan menyalahkanku. Meskipun Reta sangat menyayangiku, dia tidak akan pernah mau medengarkan nasihatku. Setiap aku berusaha menasihatinya, dia akan membentak dan memarahiku, mengatakan agar aku tidak mencampuri urusannya apalagi melarangnya. Tepat di saat Ayah sedang memuntahkan amarahnya padaku dan Ibu, terdengar suara pintu gerbang dibuka dengan sedikit kesulitan. Reta kembali di saat yang tidak tepat. Dalam hati aku berharap agar dia tidak kembali ke rumah malam ini karena bisa dipastikan suasana akan menjadi semakin tak terkendali.

Reta melangkah masuk ke rumah dan bersamaan dengan kedatangannya, Ayah menghentikan omelannya pada kami. Itu bukan pertanda yang baik. Saat itu, aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Ibu berusaha menahan Ayah yang hendak melangkah turun ke ruang tamu. Ayah mengempaskan tangan Ibu dan dengan tergesa-gesa turun ke ruang tamu, mendapati Reta dengan celana pendek dan kaos hitamnya baru sampai di rumah setelah seharian berpesta.

“Ke mana saja kamu?!” Tanpa basa-basi Ayah langsung membentak Reta.

“Aku pergi bersama teman-teman. Kenapa?” Tipikal Reta memang seperti itu. Tatapannya penuh dengan ketidakterimaan. She is always being defensive. Dia selalu tampil dengan penuh keangkuhan dan menantang seolah dirinya imun terhadap ancaman dan bahaya, tapi aku tahu jauh di dalam lubuk hatinya, dia rapuh dan ringkih. Dia hanya menutupinya dengan topeng sok kuat. Aku tahu karena aku adalah adiknya.

Lihat selengkapnya