Entah sudah berapa kali aku berada di ruangan ini menemuinya, face to face, menghabiskan beberapa menit awal dengan membisukan mulutku. Sesuatu dari dalam dirinya justru membuatku tidak ingin bicara. Aku hanya ingin berdiam diri di hadapannya, menyerap seluruh aura berkharisma yang terpancar dari dirinya seolah dengan melakukannya aku akan bisa memancarkan kharisma yang sama sepertinya. Seolah aku berharap kharismanya dapat melepaskanku dari masa laluku yang kelam. Bodoh! Tentu saja itu mustahil. Kalau kau melihatnya, kau juga akan mengerti kalau kharismanya berbeda. Tunggu dulu. Mendadak aku menjadi ragu apakah orang lain juga bisa merasakannya. Baiklah, biar kujelaskan sedikit pandanganku tentangnya. Dia tidak seperti kebanyakan orang lain di luar sana. Aku masih berusaha memahami dan mengartikan kharisma yang dimilikinya. Tentu saja ini bukan karena hidung mancung dan matanya yang berwarna cokelat muda, yang berbeda dari kebanyakan orang Asia. Ada sesuatu yang melampaui semua keistimewaan fisiknya. Terus terang aku penasaran apakah aku terlalu berlebihan.
“Jadi, bisakah kita melanjutkan sesi ini?”
Pertanyaannya memecah keheningan di antara kami. Mataku berkedip-kedip, berusaha mengembalikan kesadaran penuhku. Aku tersenyum padanya setelah kesadaran penuhku kembali seluruhnya padaku.
“Ehm, ehm,” aku berdeham sebelum menjawabnya. “Tentu saja.” Kuangkat wajahku sehingga daguku naik, seolah menantangnya. Dia tersenyum, menunduk sebentar, kemudian mengangkat wajahnya lagi.
“Bagaimana aktivitasmu minggu ini?” Dia memajukan posisi duduknya sehingga wajahnya lebih mendekat ke wajahku.
“Seperti biasa.” Aku mengangguk-angguk. “Aku…”
Dia terlihat memasang perhatian penuh. Dia ingin tahu kata apa yang akan keluar dari mulutku.
“Aku memikirkan seseorang. Seseorang yang kukenal.”