2013. Aku resmi menjadi seorang mahasiswa baru di salah satu universitas swasta. Sebagai mahasiswa baru, aku dan seluruh mahasiswa baru lainnya wajib mengikuti ospek sebelum memulai tahun ajaran. Aku, apatis seperti biasa, tidak terlalu antusias dengan ospeknya. Menurutku kegiatan itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Kadang-kadang acara dan aktivitas yang dijalankan juga tidak terlalu berfaedah. Tapi, apa dayaku? Kewajiban adalah kewajiban.
Ospek kami dibagi menjadi empat hari. Tiga hari adalah acara ospek yang dimulai dari jam enam pagi hingga sekitar jam enam sore dan hari keempat adalah malam puncak ketika acara akan dilangsungkan dari pagi hingga hampir tengah malam. Satu kelompok terdiri dari tujuh puluh hingga seratus mahasiswa baru. Terlalu banyak manusia dalam satu kelompok sehingga aku tak bisa menghapal nama mereka seluruhnya. Hanya beberapa orang yang dekat denganku dan, tentu saja, beberapa orang yang sok tenar yang kuingat namanya. Jangan tanya apakah aku ingin tenar dan dikenal. I do, I do want it, but I just can’t. I don’t have that confidence. Seperti biasa, pada akhirnya aku hanya memilih untuk berdiri di pojok ruangan, sibuk mengamati dan menyaksikan teman-temanku yang berebut perhatian dan ketenaran.
Tidak. Ternyata aku tidak seperti yang aku katakan di paragraf sebelumnya. Aku memang awalnya memilih berdiri di pojok ruangan dan bersikap apatis. Namun, seseorang mengubahnya secara drastis detik aku melihatnya naik ke atas panggung dan memberikan opening speech di acara ospek. Hampir seluruh mahasiswi baru memandangnya dengan mata berbinar-binar dan mendengarkan pidatonya dengan saksama. Pidatonya tidak penting. Yang penting adalah dirinya.
Namanya Koko. Dia adalah ketua umum panitia ospek kami. Perawakannya jangkung, badannya cukup berisi dengan kulit yang putih bersih dan mata sipit. Kasak-kusuk mengenai Koko mulai terdengar seperti dengungan sekumpulan lebah yang sedang berburu madu bersama-sama. Seketika semua anak gadis di sekitarku memperbincangkannya, bahkan ketika dia sudah turun dari atas panggung dan menghilang di balik backstage. Dan, diam-diam dalam hati aku sudah membulatkan tekad untuk mencari tahu tentangnya. Dia akan jatuh ke dalam genggaman tanganku. Aku tahu itu.
Seusai ospek aku mulai melakukan pencarian tentang Koko ini di sosial media, yaitu Twitter dan Facebook. Aku tidak berhasil menemukan akunnya di Facebook, tapi aku berhasil menemukannya di Twitter. Tanpa pikir panjang aku langsung mengikuti akunnya. Betapa senangnya diriku waktu mengetahui akunnya tidak diatur dalam mode pribadi sehingga aku bisa mengetahui kalau dia cukup aktif di Twitter. Twit terakhirnya dilakukan tadi malam dan pengikutnya sudah hampir lima ribu. Dia kelihatannya cowok tampan yang hits dan terkenal. Aku mengambil inisiatif melihat siapa saja pengikut dan yang diikutinya. Benar saja. Kebanyakan pengikutnya adalah mahasiswi kampus kami. Tidak mau berhenti sampai di situ, aku melihat siapa yang selama ini sering berbalas-balasan twit dengannya. Lagi-lagi sesama mahasiswi kampus. Aku mendengus kesal sambil memandangi layar ponselku. Nyaliku jadi ciut melihat begitu banyak pesaing yang berebut perhatiannya. Kuletakkan ponselku di atas meja dan kuubah menjadi mode senyap. Saatnya bermimpi mendapatkan Koko seutuhnya dan berharap esok hari ada keajaiban dari ibu peri.
Tidak ada keajaiban saat aku bangun pagi. Semua masih sama seperti sebelum aku melihat dan terpincut sosok seorag Koko. Aku mengecek akun Twitter dan kecewa karena Koko belum mengikutiku. Kuubah ponselku menjadi mode getar kembali dan kuselipkan ke dalam saku celana jeansku. Sesaat kemudian getaran di ponselku membuatku berhenti melangkah keluar dari kamar. Awalnya kukira ada BBM yang masuk, tapi ternyata dugaanku salah. Itu adalah notifikasi dari Twitter. Koko telah mengikutiku balik dan mengirimkanku DM.
@kokooo_
Halo, Angel. Salam kenal ya.
Maba yah?
Mataku terbelalak membaca DM yang dikirimkannya. Antara percaya dan tidak percaya. Mataku berkedip berkali-kali seolah dengan melakukannya aku bisa tersadar dari mimpi indah yang penuh kebohongan. Namun, semua ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Ibu peri telah datang dan membawakan keajaiban untukku. Dahiku mengernyit, masih tidak percaya. Aku membuka profil Koko, takut kalau aku telah salah mengikuti akun Twitter orang lain. Masih tidak percaya, aku malah berspekulasi kalau akunnya diretas, atau, atau, atau… Banyak sekali spekulasiku. Tapi, memang itulah profil Twitter Koko. Lima menit yang lalu dia masih membalas twit temannya yang bernama Martha.
@aaangellll
Halo… Salam kenal juga, Kak.
Iya, aku maba.
Hehehe
Tidak kuduga dia membalas pesanku dengan cepat. Wow.
@kokooo_
Kemarin ikut malam puncak, dong?
@aaangellll