Aku bisa membaca ada sedikit keterkejutan yang dialaminya setelah mendengar ceritaku tentang Koko. Dia menghela napas panjang seolah telah melalui sebuah perjalanan panjang dan dilanda kelelahan.
“Bagaimana dengan Joe? Aku rasa dia punya cerita yang berbeda.” Ternyata dia tidak menyerah setelah mendengar cerita Koko yang berakhir dengan menyedihkan.
Satu anggukan menjawab pertanyaannya, tapi belum menjelaskan detailnya. “Tentu saja berbeda. Dia lebih busuk dari Koko. Kau akan membencinya sama seperti aku membencinya.”
***
2015. Kelas poem dua diadakan di ruang 295 IV lantai tiga yang terletak di gedung fakultas pendidikan guru sekolah dasar. Siapa yang tidak mengeluh jika harus mengikuti mata kuliah dengan ruang kelas yang terletak nan jauh di sana. Bukan hanya jauh dari gedung fakultas sastra, ruang kelas yang terletak di lantai tiga membuat kami harus berolahraga dahulu sebelum sampai di sana. Yang lebih menyebalkannya lagi adalah kelas poem dua ini sudah terjadwal setiap hari Selasa pukul sembilan pagi, tepat setelah kelas pagi structure lima di ruang K3 lantai satu di gedung fakultas sastra. Meskipun harus dengan penuh perjuangan melawan kemalasan, setiap hari Selasa aku sampai juga di ruang 295 IV yang sangat menyebalkan itu. Setiap sampai di depan pintu kelas, aku selalu mengumpat dalam hati kenapa harus ada ruangan yang sejauh ini?!
Hari ini adalah hari pertama kelas poem dua di semester lima. Tidak ada yang istimewa dan mengagumkan di kelas ini. Semuanya biasa-biasa saja. Dosen pria yang tidak jelas dan membosankan, ditambah dengan bahasan yang sama saja membosankannya. Aku kesulitan mencerna setiap kata-kata dan penjelasan si bapak dosen. Bahkan lebih parahnya aku tidak mengingat nama dosen pengampu mata kuliah poem dua ini di hari pertama kelas sampai sekarang. Entah kenapa ingatan tentang namanya seperti on and off. Kadang muncul, tapi lebih lama menghilangnya. Selama di kelas kerjaanku hanya menguap dan menguap, berusaha memfokuskan pikiranku ke modul yang masih sangat bersih tanpa coretan di atas meja.
Kelas poem dua ini adalah kelas kecil, yaitu hanya ada sekitar dua puluh sampai dua puluh lima mahasiswa dalam satu kelas. Bapak dosen yang tidak kuingat namanya tiba-tiba membagi kami ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari lima orang. Mataku melek seketika saat beliau memanggil namaku. Aku sekelompok dengan Dessy, Farah, Mamo, dan Joe. Dessy dan Farah adalah teman sekelasku, sedangkan Mamo dan Joe adalah kakak tingkat yang harus mengambil mata kuliah ini lagi alias mengulang. Mamo adalah mahasiswa angkatan 2012, sementara Joe adalah mahasiswa angkatan 2011. Penampilan Mamo sangat berkebalikan dengan Joe. Mamo adalah tipikal anak seni dengan rambut gondrong dan selalu berkaos hitam. Joe adalah tipikal anak yang kelihatan rapi dan rajin merawat diri. Kalau boleh dibilang, Joe termasuk good looking. Terlepas dari semua itu, aku tidak terlalu antusias dengan kelompok ini apalagi setelah bapak dosen yang entah siapa namanya itu mengatakan kalau we have to stick with our group until the end of the semester.
Setelah pembagian kelompok di hari pertama, semua berjalan dengan normal. Kehidupanku biasa-biasa saja dan tidak ada yang berubah sampai suatu hari Joe menghubungiku secara pribadi. Awalnya dia menanyakan perihal tugas kelompok yang harus kami kerjakan. Lama-kelamaan dia menanyakan alamat kosku dan mulai menstalk akun Instagramku. Sebenarnya aku tidak nyaman dengan usahanya mendekatiku, tapi aku diam saja. Aku tidak menceritakannya pada Pipit atau Dessy dan Farah yang satu kelompok denganku. Aku mencoba bersikap netral dan berlaku seperti biasa, seperti tidak ada apapun yang terjadi diantara kami. Dia mendekatiku di saat yang salah karena aku tidak sedang dalam mood untuk mencari pacar dan juga tidak sedang dalam mood untuk mendekati siapapun. Tugas-tugas kuliah dan mata kuliah yang semakin sulit membuatku ingin fokus dengan nilai dan kuliahku. Namun, Joe seolah tak peduli dengan sikap dinginku dan malah terus berusaha mendekatiku, bahkan entah dari mana dia tahu alamat kosku. Beberapa kali dia datang ke kosku dan bahkan pergi mengajak makan. Melihatnya yang begitu serius dan pantang menyerah mendekatiku, aku yang awalnya menghindar lama-lama luluh juga. Semesta dan hatiku berkonspirasi untuk berkata lain. Perlahan tapi pasti aku mulai membuka diri.
Selama hampir tiga bulan dia melakukan PDKT denganku dan aku merasa baik-baik saja. Tidak pernah sedikit pun aku mencurigainya. Karena Joe, perlahan-lahan aku mulai bisa mempercayai laki-laki lagi setelah trauma dengan kejadian-kejadian menyakitkan di masa laluku yang selalu melibatkan laki-laki. Aku mulai mengubah mindset dan asumsi buruk yang selama ini bercokol di kepalaku. Aku mulai percaya bahwa masih ada laki-laki yang baik dan tulus, terlebih bisa dipercaya. Pikiran dan asumsi buruk terhadap lelaki mulai berangsur menghilang meskipun terkadang aku masih merasa ingin membalaskan dendam pada Joe. Memang sangat aneh kenapa aku ingin membalas dendam pada Joe yang pada saat itu tidak tahu apa-apa dan tidak melakukan kesalahan apapun. Hipotesisku pada saat itu adalah karena trauma dan luka batinku setelah disakiti Koko masih sering membayang-bayangi hubunganku dengan Joe.
Tepat di saat aku sudah yakin Joe adalah bukti bahwa masih ada laki-laki yang bisa dipercaya, di saat itulah juga justru aku masuk ke dalam perangkapnya. Perangkap yang menjeratku dengan begitu menyakitkan. Perangkapnya menyisahkan luka dan trauma yang justru semakin dalam. Seperti luka yang belum sepenuhnya mengering, lalu terkoyak-koyak hingga robek dan bercucuran darah lebih banyak. Begitulah pengakuan yang dibuatnya membuatku ternganga dan tercabik-cabik.
“Ada sesuatu yang ingin aku katakan.” Wajahnya kalut dengan kebingungan yang tak berujung. Saat itu aku benar-benar tidak tahu apa maksudnya sampai kalimat berikutnya menamparku dengan begitu pedih.
“Ada perempuan lain.” Wajahnya menunduk, malu, tak tega untuk bertatap mata denganku. Mungkin dia tidak mau melihatku hancur dan histeris di hadapannya. Aku memang sudah hancur detik dia mengaku ada perempuan lain, tapi aku tidak akan histeris. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri dan mengumpulkan kepingan-kepingan hatiku yang sudah hancur berkeping-keping dan jatuh berserakan di atas tanah. Sebuah pengalaman perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Begitu menusuk dan jahat!
“Apa maksudmu, Joe?” Aku masih berusaha meminta klarifikasi lebih jauh. Separuh diriku berharap dia hanya mengigau atau ini hanyalah mimpi buruk yang terasa terlalu nyata. Ada keinginan untuk menolak kenyataan yang ada di depan mata dan berharap apa yang dikatakannya adalah sebuah kebohongan. Namun, separuh diriku yang lain mengatakan bahwa apa yang dia katakan merupakan sebuah kebenaran. Kebenaran yang akan kubenci, tapi akan kusukai ketika berubah menjadi sebuah kebohongan.
Dia mengusap rambutnya, lalu mengacak-acak rambutnya. Berkali-kali dia melakukannya. Dia kelihatan sekali gelisah. Berjalan mondar-mandir sambil berkacak pinggang. Mulutnya dikunci rapat-rapat, sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Diamnya justru semakin menyiksaku, membuatku bertanya-tanya, membuat asumsi dan pikiran buruk yang sudah kubuang jauh-jauh harus kembali kupunguti satu per satu. Sebuah situasi mengerikan yang juga menyakitkan. Aku ingin keluar dari situasi ini, tapi aku ingin tetap tinggal juga karena dia berutang penjelasan padaku meskipun aku tahu penjelasannya hanya akan menghancurkan perasaanku lebih parah lagi.
“Aku sudah menjalin hubungan dengan perempuan itu selama setahun. Tapi… tapi orangtuaku tidak setuju dengan hubungan kami karena kami beda keyakinan. Sebulan sebelum aku bertemu denganmu di kelas poem, kami memutuskan untuk break sebentar. Aku meminta waktu untukku berpikir dan menyendiri. Lalu… lalu aku bertemu denganmu. Ya, kau muncul di saat yang tepat sekaligus tidak tepat. Pertama kali aku melihatmu aku tahu ada perasaan yang berbeda. Sebenarnya aku tidak perlu mengulang kelas poem yang menyebalkan itu. Aku baru tahu setelah pertemuan kedua kalau aku sudah mendapatkan nilai B. Aku punya kesempatan untuk take down kelasnya, tapi tidak kulakukan karena aku menemukanmu. Ini aneh, tapi aku benar-benar langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.” Dia mengusap-usap rambutnya lagi. Angin malam yang berembus terasa semakin dingin menusuk tulangku, apalagi aku hanya mengenakan kaos tipis tanpa jaket. Kami berada di tengah-tengah alun-alun kota yang sudah sepi. Hanya kelihatan beberapa orang yang masih nongkrong dan pacaran yang berjauhan dari tempat kami berdiri. Tak kusangka dia membawaku ke sini tengah malam hanya untuk mendengarkan pengakuan mengerikannya yang jelas-jelas menghancurkan dan meremukan seluruh perasaanku. “Aku menceritakan pada Cella semuanya. Semuanya tentang dirimu. Aku bahkan meminta izin padanya untuk mendekatimu, dan anehnya dia mengizinkannya! Dia bilang dia akan membiarkanku mendekatimu, tapi pada akhirnya aku harus tetap memilih. Memilih diantara kalian berdua! Dan… dan… dan sekarang aku merasa terjebak. Aku tak bisa memilih…”
“Jadi… maksudmu aku hanya cadangan?” Kedua tangan kulipat di dada. Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Kupejamkan kedua mataku dan berharap lagi semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.