17 September 2005, kakakku sudah genap berusia empat belas tahun. Lagi-lagi kejadian tidak mengenakkan yang terjadi di hari ulang tahun kakakku. Ayah memarahinya karena mencuri uang untuk mentraktir teman-temannya.
“Kecil-kecil sudah berani mencuri. Mau jadi apa kalau kamu sudah besar?!” Suara tinggi Ayah terdengar sampai kamarku di lantai dua. Aku yang awalnya tidak berani keluar kamar akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu sedikit untuk menguping pembicaraan mereka.
“Aku mencuri karena Ayah tidak pernah kasih aku uang!” protes Reta yang penuh dengan kemarahan. Rebel seperti biasa.
“Masih berani jawab yah! Siapa yang ngajarin kamu mencuri?”
“Aku mencuri karena tidak diberi uang. Aku ingin mentraktir teman-temanku! Kenapa Ayah begitu pelit padaku? Kenapa Ayah selalu memarahiku!”
“RETA, AYAH! Sudah hentikan!” Kali ini suara Ibu yang meninggi ke tujuh oktaf.
Aku mundur selangkah dari balik pintu, berharap dengan melakukannya semua kegaduhan di rumah akan sirna. Ternyata tidak semudah itu. Kegaduhan di ruang keluarga semakin menjadi-jadi. Suara Ayah dan Ibu yang terlibat adu mulut terdengar begitu menyiksa dan tidak mengenakkan. Apalagi ditambah dengan Reta yang menangis histeris sambil terus memprotes perlakuan Ayah. Dan seperti yang sudah kutakutkan, Ayah akhirnya lepas kendali karena situasi yang begitu bising penuh teriakan dan isak tangis. Dengan kejinya, Ayah memukuli Ibu dan Reta karena sudah tak tahan lagi dengan mereka. Jeritan dan tangis mereka semakin menjadi-jadi, disusul dengan teriakan makian Ayah. Di balik pintu aku hanya meringkuk ketakutan seorang diri. Sebagai anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, apakah aku harus turun untuk menyelamatkan Ibu dan kakakku? Aku tidak tahu dan aku tidak punya keberanian untuk melangkahkan kaki keluar kamar. Diliputi kengerian yang mencekam, aku pun diam saja di dalam kamar, terduduk di balik pintu sambil memeluk kedua kakiku yang ditekuk merapat ke dada. Kusembunyikan wajahku di balik kedua lututku. Di saat yang sama aku mempertanyakan di mana Tuhan. Kenapa Tuhan tidak datang dan menghentikan semua pertikaian mengerikan ini? Kenapa aku tidak bisa hidup tenang dan damai seperti teman-temanku yang lain? Tanpa kusadari aku menangis sendiri di balik pintu. Menangisi keadaan yang sedang terjadi sampai air mataku kering dan habis. Menangis sampai aku tak mempunyai tenaga lagi untuk menangis. Menangis sampai aku lelah dan tertidur dalam lautan air mata kesedihan yang dalam.
Dinginnya lantai kamar membuatku terbangun dengan terpaksa. Kukerjap-kerjapkan kedua mataku. Di mana aku? Sesaat aku linglung seperti orang yang baru siuman dari pingsan yang lama. Langit-langit kamar yang menggantung di atasku menyadarkanku atas apa yang telah terjadi. Aku berada di kamarku sendiri dan aku tertidur di atas lantai kamar yang dingin tanpa selimut atau bantal sama sekali. Perlahan aku bangun dan duduk bersandar pada dinding kamar. Kedua tanganku mengusap-usap wajah, lalu aku duduk memeluk kedua kakiku yang ditekuk merapat ke dada. Telingaku waspada untuk menangkap setiap suara yang mungkin terdengar, tapi tidak ada suara apapun. Suasana sepi dan sunyi. Tidak ada lagi suara berisik, teriakan histeris, maupun lolongan tangisan yang memilukan. Namun, sepi yang kurasakan tidak memberikan kedamaian bagiku. Rasanya masih ada kengerian yang mengintai di balik jendela dan pintu rumah kami.