Kali ini dia tidak ontime. Aku harus menunggunya beberapa menit di luar ruangan. Petugas resepsionisnya memintaku duduk manis di sofa hitam ruang tunggu yang sepi. Ruang tunggunya berukuran cukup besar. Entah berapa meter ukurannya, aku tidak tahu karena aku selalu payah dalam hal ukur-mengukur dan perhitungan. Ruangan yang hanya diisi olehku dan petugas resepsionis membuatnya terasa kosong dan sepi. Suara televisi yang menggantung di dinding merupakan satu-satunya sumber suara yang membantu mengisi kekosongan ruangan yang serba putih ini. Televisi yang menggantung di dinding menayangkan sinetron roman picisan yang sangat tidak realistis. Sejujurnya aku benci tipe sinetron seperti itu, yang mana anak orang kaya selalu disandingkan dengan orang yang tidak mampu. Kisah cinta dua orang dengan strata sosial yang jauh berbeda. Bukannya apa, tapi sangat tidak realistis. Meskipun pikiranku selalu memprotes setiap adegan dan alur ceritanya, kedua mataku tetap saja asyik menonton sinetron yang aku hujat-hujat sebagai sinetron tidak realistis.
“Baik, terima kasih.” Suara perempuan berkerudung hitam yang keluar dari ruangannya berhasil mengalihkan pandangan mataku. Dia keluar dari ruangan dan berjalan menuju meja resepsionis. Petugas resepsionis langsung memberikan instruksi padaku untuk masuk ke ruangannya. Aku beranjak dan tersenyum.
Saat aku masuk ke ruangannya, dia sedang sibuk membenahi mejanya yang sedikit berantakan. Tanpa dipersilakan duduk, aku langsung duduk di hadapannya. Aku membantunya merapikan meja. Vas bunga selalu berada di sebelah kirinya. Kotak pensil di sebelah kanan. Telepon tidak pernah dalam keadaan miring.
“Angel, kau tidak perlu repot-repot,” ujarnya sambil menatapku dengan sorot mata yang lebih terbaca sebagai ungkapan kekecewaan daripada ungkapan terima kasih.
Aku berhenti merapikan mejanya. Kuletakkan kembali kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya. Mata kami bertemu dalam suasana yang mencanggungkan ini selama beberapa saat, lalu aku lebih dulu membuang muka. Kurapikan helai-helai rambutku yang berantakan menutupi wajahku, lalu kujatuhkan pantatku di atas kursi di hadapannya. Kedua tanganku terlipat di dada, menunjukkan rasa kesalku atas ucapannya baru saja.
“Angel, maafkan aku. Bukan maksudku untuk–”
“Semua orang mengucapkan kata maaf dengan begitu mudahnya seolah ia hanya barang murahan yang dijual di pasar loak! Kata maaf akhir-akhir ini sudah tidak ada nilainya. Begitu mudah diucapkan, diumbar seperti janji manis yang palsu, dan kehilangan maknanya. Semua orang akan mengulangi perbuatannya lagi setelah kata maaf itu diterima oleh orang yang disakitinya. Begitu mudahnya membodohi orang yang tersakiti, bukan?”
“Angel, tenangkan dulu dirimu. Kau sedang emosi. Sungguh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menolak bantuanmu.”
Raut wajahnya menunjukkan penyesalan atas perlakuannya padaku, tapi itu tidak mengubah pikiran dan emosiku padanya.
“Kau mengecewakanku.” Sesaat setelah aku mengungkapkan kekecewaanku padanya, aku segera beranjak dari kursi dan bergegas meninggalkan ruangan menyebalkan ini beserta dirinya yang sudah keterlaluan.
“Angel!”
Dia berlari mengejarku dan menahanku keluar dari ruangannya. Aku berontak dan menghempaskan kedua tangannya yang menahanku membuka pintu. Dengan gusar aku membuka pintu dan membantingnya di belakangku. Rasa muak memenuhi seluruh jiwa dan perasaanku. Kakiku melangkah menuju ke ruang tunggu dengan cepat seperti orang dikejar setan. Namun, kehadiran seseorang di ruang tunggu berhasil membuat langkahku terhenti dengan penuh kejutan. Sesaat aku tidak mempercayai penglihatanku sendiri. Kupikir aku sedang berhalusinasi karena terlalu emosi. Sedetik kemudian aku berpikir kalau indera penglihatanku mulai berkonspirasi untuk menipuku. Semua pemikiranku tidak benar. Tidak, aku tidak ingin melihat wajahnya lagi sampai selama-lamanya, tapi di sanalah dia berada. Apa yang kulihat adalah kenyataan dan it’s real. Ini bukan mimpi atau halusinasiku belaka. Seseorang yang duduk di ruang tunggu itu, yang sedang melihat ke arahku berdiri dengan tatapan tak kalah terkejutnya denganku, juga penuh tanda tanya, adalah Alvin. Dia tidak sekeren terakhir kali kami bertemu. Ya, it was in that bloody hell big party! Tubuhnya kurus dan kuyu. Wajahnya kelihatan lesu tak bersemangat. Rambutnya acak-acakan dan tidak disisir dengan rapi. Dia mengenakan celana panjang warna cokelat muda dengan jumper hitam polos yang kusut. Hoodie besarnya menutupi kepalanya. Kedua matanya terbelalak melihatku di tempat ini, di sini. Kami tidak seharusnya bertemu di tempat seperti ini. Ini sangat salah. Apa yang akan dia pikirkan tentangku? Bahwa aku kalah dan aku sedang menuju ke kegilaan karena apa yang telah dia dan teman-temannya lakukan? Tidak, tentu dia tidak boleh melihatku seperti ini. Aku harus cepat-cepat kabur dari sini. Dengan semakin gusar aku keluar dari sana, berjalan setengah lari melewati Alvin sambil mengangkat dagu, dan cepat-cepat masuk ke dalam mobilku. Napasku tersengal-sengal. Sesak oleh emosi dan lelah karena setengah berlari ingin cepat-cepat menghilang dari tempat tersebut. Dari dalam mobil aku bisa melihat Alvin yang masih mengawasiku dari balik kaca ruang tunggu dengan tatapan yang tidak dapat kudefinisikan.
***
Ponselku sepertinya sudah berdering ratusan kali malam ini. Aku yang awalnya tidak berniat mengangkatnya makin lama makin tergoda untuk mengangkatnya. Ada keinginan untuk meladeninya. Mengobrol dengannya. Dan, semakin dia merongrong dengan teleponnya yang tiada henti, keinginan itu semakin menggangguku. Separuh jiwaku desperate ingin mendengarnya memohon-mohon dan meminta maaf padaku. Sedangkan separuh jiwaku yang lain tetap keras kepala dan mengangkat dagunya. Dering ponselku berhenti tepat di saat aku baru saja hendak menyambar benda berukuran segenggaman tangan tersebut. Beberapa dering notifikasi pesan singkat Whatsapp masuk secara berurutan. Kuputuskan untuk memantau saja. Mungkin dia sama seperti aku yang desperate ingin mendengar suara satu sama lain. Just to know that we are all okay. Ah, baiklah… Jika perasaan ini terus mengusikku, aku akan menyerah ketika dia benar-benar…
Dering ponsel yang nyaring di tengah ruangan gelap dan sunyi apartemen membuatku sampai loncat dari kursi. Dia meneleponku lagi. Untuk. Kesekian. Kalinya. Tanpa banyak pikir panjang lagi aku langsung mengangkat teleponnya. Kali ini aku menyerah. Aku sudah desperate ingin sekali mendengar suaranya.
“Angel?” Suaranya di seberang sana kedengaran lembut sekali. Dia selalu penuh dengan kesabaran menanganiku.
Aku tidak langsung meresponsnya. Beberapa saat aku hanya diam dan menenangkan emosi di dadaku. “Ya?” Begitulah respons singkatku setelah berhasil menenangkan naga yang siap menyemburkan api di dalam dadaku.
“Angel, aku ada di lobi bawah.”