The Woman with Purpose

judea
Chapter #13

Dilema

Keadaan menjadi semakin sulit dan runyam setelah kejadian semalam dan mengetahui bahwa Alvin juga menemuinya. Dari sekian banyak klinik di Jakarta, kenapa harus dia? Ada perasaan tidak terima yang begitu mengganjal di dalam dadaku. Rasa kesal karena aku harus berbagi dengan seseorang yang sangat kubenci. Terlepas dari kata-katanya semalam bahwa aku adalah pemenang, tetap saja aku benci keadaan ini. Aku tidak bisa tinggal diam. Sore ini juga aku harus menemuinya lagi. Aku tidak akan meneleponnya. Aku harus menemuinya!

Tanpa basa-basi lagi aku langsung melaju ke tempatnya setelah jam kantor berakhir. Seorang wanita berambut cokelat sedang duduk menunggu di lobi sambil sibuk bermain gadget. Petugas resepsionis wanitanya yang bernama Ajeng kaget melihatku yang datang tiba-tiba dan langsung berjalan menuju ruangannya.

“Ibu Angel,” panggilnya dengan langkah yang tergesa-gesa. “Ibu, maaf, apakah sudah buat janji? Ibu harus menunggu dulu.”

“Aku tidak mau menunggu,” sergahku. Tanpa memedulikannya, aku terus melangkah dan sudah sampai di depan pintu ruangannya. Tangan Ajeng langsung mencegah tanganku yang sudah memegang gagang pintu. “Lepaskan!”

“Bu Angel!”

Terlambat sudah. Pintu sudah terbuka dan seketika mataku terbelalak melihat seseorang yang tidak kuharapkan malah ada di ruangannya. Alvin. Aku mengumpat dan menyumpahi diriku sendiri. Sial. Kesialan macam apa lagi ini? Kenapa harus dia lagi yang di sini? Dia dan Alvin tak kalah terkejutnya dengan kehadiranku yang tiba-tiba dan memaksa masuk. Sebuah kejutan tak terduga.

“Maafkan saya, Pak. Bu Angel? Mari tunggu di lobi dulu.” Ajeng kedengaran merasa bersalah sekali.

“Ajeng, nggak apa-apa. Kamu bisa kembali ke lobi,” perintahnya dengan suara lembut. Ajeng yang awalnya memprotes akhirnya mengangguk menurut. Kini tinggal kami bertiga.

Aku sengaja menghindari mata Alvin. Bukan karena aku merasa malu atau kalah, hanya saja aku merasa muak melihatnya. Aku muak jika harus bertatapan dengannya.

“Angel, ada hal urgent yang mau kamu bicarakan?” tanyanya. Suaranya lebih lembut dan sabar menghadapiku ketimbang menghadapi Ajeng. Alih-alih menjawabnya, aku diam saja. Hanya bisa menatapnya dengan seribu satu luapan perasaan yang tak terbendung.

“Angel? Aku sedang ada pasien. Mau kah kau menunggu sebentar?”

Anggukan kecil akhirnya kuberikan sebagai jawaban atas pertanyaannya. Aku menutup pintunya lagi. Kali ini dengan lembut. Kuputuskan untuk tidak menunggu di lobi. Aku memilih menunggunya di dalam mobilku. Mataku terus mengawasi lobi tanpa henti. Sekitar setengah jam kemudian sosok Alvin terlihat berjalan dari arah ruangannya menuju ke meja resepsionis. Dia berbincang dengan Ajeng selama beberapa menit. Mungkin mereka sedang mengatur jadwal pertemuan selanjutnya. Setelah selesai, Alvin mendorong pintu kaca dengan signage open yang menggantung sampai terbuka. Dia melangkahkan kakinya dengan santai ke arah mobilku. Bisa dipastikan dia melihatku menunggu di dalam mobil. Kebencian yang masih menginfeksiku kini membuatku dipenuhi perasaan ingin menantangnya lagi. Mata kami saling bertatap. Dua ketukan di kaca mobilku semakin membangkitkan perasaan yang sudah lama tak siuman dari dalam jiwaku. Kehadirannya sama saja dengan membangkitkan macan tidur. Kini, macan itu siap melompat dan menerkamnya!

Tanpa banyak pikir panjang lagi kaca jendela mobilku bergerak menurun perlahan, menghilangkan sekat tegas di antara kami berdua, memperjelas kebencianku padanya.

“Ya?” ujarku dengan pandangan terkunci ke depan, dagu diangkat, sama sekali tidak menoleh untuk melihat wajah seorang coward sepertinya. Terlalu menjijikan!

“Angel?” jawabnya dengan suara parau. “Kau puas?”

Lihat selengkapnya