The Woman with Purpose

judea
Chapter #14

Teror

“Aku tidak bisa melanjutkan sesi kita lagi,” kataku singkat, jelas dan padat. Meskipun kami tidak bertatap muka, aku bisa merasakannya terkejut dengan keputusanku yang serba mendadak.

“Angel, kau butuh menenangkan diri.” Dia tetap mencoba merespons ucapanku dengan tenang dan netral.

“Tidak. Aku tahu apa yang aku butuhkan. Aku tidak meneruskan semua ini,” balasku dengan bersikeras.

“Angel?”

Dengan sekuat tenaga aku berusaha menahan agar air mataku tidak jatuh. Aku berusaha agar tidak terdengar lemah dan kalut. Namun, semua usahaku ini sama seperti usaha menjaring angina. Sia-sia. Tiba-tiba saja aku terisak di telepon tanpa sempat menjelaskan lebih jauh lagi.

“Angel, aku akan ke sana,” ujarnya.

“Tidak, jangan.” Benteng pertahananku sudah hancur. Aku sudah tidak kuat lagi melanjutkan percakapan kami dan kuputuskan untuk mengakhiri panggilanku. Sedetik kemudian aku mematikan ponselku. Aku tidak mau diperhadapkan dengan pilihan untuk menjawab teleponnya. Aku tidak mau dia mengubah pikiranku lagi.

Hari ini seperti yang sudah kurencanakan sejak malam, aku hanya terkapar di dalam apartemenku, menghabiskan waktu dengan makan dan tidur. Efek insomnia semalam benar-benar menguras energiku. Aku merasa seperti beruang kutub yang harus berhibernasi seharian. Lagipula, aku pun tidak berkeinginan untuk keluar sama sekali. Hari ini sepertinya adalah pertama kalinya aku bangun sesiang ini, hampir pukul dua belas siang. Kini aku hanya duduk di sofa sambil sibuk mengganti-ganti channel TV demi mengalihkan perhatianku, tapi usahaku gagal total. Dia masih saja memenuhi isi kepalaku. Aku mendengus kesal sambil menatap layar gelap ponselku. Godaan untuk mengaktifkan ponselku mulai meracuniku. Ah, perasaanku ternyata jauh lebih menyiksa. Bendera putih pun berkibar. Tak perlu menunggu lama, ponselku sudah aktif kembali. Lima missed calls darinya dan puluhan pesan singkat di Whatsapp memenuhi notifikasiku. Isi pesannya kurang lebih sama seperti yang tadi dia katakan di telepon bahwa aku hanya butuh waktu untuk rehat. Tidak benar-benar berhenti dan menyerah jika aku mau sembuh. Apakah aku mau sembuh? Pertanyaan menohok itu kulayangkan pada diriku sendiri. Tragisnya aku bahkan tidak tahu apa yang aku inginkan lagi. Sejak pertemuan pertamaku dengannya… Semuanya berubah. Perlahan tapi pasti. Sihir apa yang dia punya? Permainan mental apa yang dia mainkan denganku? Dia bahkan hampir membuatku berubah pikiran. Sesi-sesi sebelumnya dengan orang lain tidak pernah membuatku merasa aku harus mengubah pola pikirku, menyembuhkan diriku, bahkan menghentikan kegilaan dan obsesiku ini. Tapi, dengannya kali ini berbeda. Dia punya kharisma yang menarik perhatianku. Dia… Dia berbeda. Sesuatu yang dimilikinya secara natural berhasil membuatku mempertimbangkan kesembuhanku dari obsesi ini. Lebih jauh lagi, ada sesuatu dari dalam dirinya yang meyakinkanku bahwa dia adalah orang yang dapat dipercaya dan diandalkan. Ketulusannya untuk menolongku bukanlah sandiwara dan bukan semata-mata karena kewajiban profesinya. Mata hatiku bisa menangkap ada hal lain, tapi aku tak bisa mendefinisikannya. Aku terlalu membangun benteng yang penuh dengan rasa takut dikhianati, dilukai, atau dikecewakan. Aku takut aku akan marah padanya. Oh, Tuhan… Apakah dia merasakan hal yang sama denganku? Caranya melangkah begitu jauh melewati batasan kode etiknya. Is there any chances for us to be together?

Memikirkannya, memikirkan kami, aku berujung pada memikirkan segalanya tidak akan pernah ada akhirnya. Aku setengah menyangkal pada diriku sendiri bahwa ada keinginan dalam diriku untuk memilikinya karena di sisi lain aku tidak bisa memilikinya. Aku tidak boleh. Jika aku memilikinya, misiku akan kacau dan berantakan. Kupejamkan kedua mataku sesaat. Ketika kubuka kedua mataku kembali, aku sudah membuat keputusan yang final.

“Maafkan aku. Tadi aku sangat emosional. Kau benar. Yang aku butuhkan sebenarnya adalah rehat. Aku akan menghubungimu lagi saat aku sudah siap melanjutkannya.” Entah kenapa aku bisa merasakannya tersenyum. Ah, senyuman yang kurindukan setiap minggu dan kini makin kurindukan setiap hari.

“Baiklah jika itu yang kau mau. Aku senang mendengarnya. Hubungi aku kapan saja kau membutuhkanku. Pintuku selalu terbuka untukmu, Angel.”

Thank you.”

***

Rencanaku untuk mendekam di dalam apartemen seharian ternyata gagal. Isi kulkasku kosong dan tidak ada lagi bahan makanan yang tersisa untuk sisa hari ini. Dengan malas aku harus turun dan berbelanja di ruko bawah. Tidak ada perasaan apapun saat aku turun ke lobi hingga keluar menyusuri sepanjang bangunan gedung apartemen. Namun, ketika aku mau masuk ke salah satu toko yang menjual kebutuhan sehari-hari, aku merasa ada langkah-langkah yang berjalan mengikutiku. Aku berjalan lurus, berbelok, dan menyeberang menuju kompleks apartemen yang terletak di seberang, langkah-langkah itu terasa melangkah bersama denganku. Aku berhenti tepat di depan pintu salon yang kebetulan sedang tutup. Langkah itu berhenti. Secepat kilat aku membalikkan badan dan mendapati sosok yang kukenal. Alvin.

“Apa yang kau lakukan?!” Aku langsung saja mengkonfrontasinya tanpa basa-basi.

“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang semalam kau lakukan bersamanya?” Senyum licik mengembang di wajahnya, memperlihatkan deretan giginya yang menguning akibat kebanyakan nikotin dan kafein.

“Kau benar-benar stalker! Apa maumu?” Perasaan tidak enak sekaligus ketakutan mulai menyergapku. Aku benci berada di situasi seperti ini, tapi aku tak boleh menunjukkan ketakutanku padanya karena menunjukkan ketakutan akan membuatnya merasa menang.

“Membalaskan dendamku padamu.” Dia menatapku dengan pandangan yang meremehkan seolah aku akan kalah dalam pertandingan berikutnya. Dapat kupastikan dia seratus persen salah.

“Coba saja jika kau bisa. Kau yang akan menyesal,” jawabku dengan sombong sambil mengangkat dagu meskipun dalam hatiku yang paling dalam aku tidak yakin dengan apa yang kukatakan. 

Dia tersenyum dengan seribu satu maksud jahat yang disembunyikan dengan pintar, kemudian berlalu begitu saja meninggalkanku di sini. Ini sama seperti disambar petir di siang bolong. Dia memang sudah meninggalkanku, tapi kata-kata dan bayangannya masih saja menghantuiku. Aku benci untuk mengakui kalau aku takut, tapi ini sungguhan. Aku mulai merasa diteror dan tidak aman. Apalagi ditambah dengan dia yang nekat mengikuti kami tadi malam. Bagaimana dia tahu tempat tinggalku? Sial. Situasi yang sulit ini menghimpit dan aku terjebak di dalamnya. Tidak ada yang tahu akan senekat apa dia nanti. Sekali lagi aku benci pada pikiran dan asumsiku sendiri, tapi ini adalah peringatan yang sangat keras bahwa aku harus ekstra berhati-hati.

Aku langsung cepat-cepat berbelanja kebutuhan dan keperluanku, lalu kembali ke apartemen dan mengunci pintu rapat-rapat. Biasanya aku akan bersantai-santai dan berlama-lama melihat-lihat ke toko lain atau sekadar membeli jajanan pasar yang dijual di salah satu resto apartemen. Tapi, saat ini rasa paranoid mulai menyerangku. Berlama-lama di luar malah membuatku semakin terteror dan terancam. Di saat-saat seperti ini aku bingung apa yang harus kulakukan, apakah sebaiknya aku menghubunginya agar dia tahu apa yang mungkin akan dilakukan Alvin?

***

Di tengah sunyinya apartemenku, dering ponselku yang begitu keras dan nyaring berdering berhasil membuatku loncat dari atas sofa.

“Sial!” umpatku setelah menyadari kebodohanku. Aku malu pada diriku sendiri meskipun tidak ada yang melihat. Sekelilingku gelap. Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku. Sudah malam rupanya. Ternyata aku tertidur di atas sofa dengan TV yang masih sayup-sayup menyala di hadapanku. Dari jendela apartemen aku dapat melihat lampu-lampu gedung apartemen di seberang sudah menyala seperti bintang yang menerangi gelapnya malam hari. Cepat-cepat kusambar ponselku. Tak kusangka dia masih tak menyerah meneleponku. Dahiku mengernyit sebelum memutuskan mengangkat teleponnya, teringat kata-kata dan sosok Alvin tadi siang.

“Halo?” Pada akhirnya aku tetap mengangkat teleponnya. Aku bersyukur mendengar suaranya lagi. Kukira aku sudah hampir kehilangannya. Kukira dia tidak akan peduli padaku.  

"Halo. Hai.” Ah, kenapa aku jadi kikuk begini? Bukannya aku senang dia menghubungiku?

Lihat selengkapnya