Cahaya ruangan yang serba putih dan aroma antiseptik yang kuat membangunkanku dari tidur panjangku. Aku mengerjapkan kedua mataku yang masih terasa berat. Selama beberapa saat aku hanya menatap langit-langit ruangan dan melihat ke sekitar ruangan. Tidak ada siapa-siapa di ruangan ini selain diriku. Tangan kiriku sudah dihiasi dengan jarum suntik infus yang menancap ke pembuluh darah di bawah kulit. Di sampingku ada satu meja penuh dengan buah-buahan, semangkok bubur, air mineral, dan obat-obatan. Tasku ada di kursi dekat meja. Aku berusaha duduk di atas tempat tidur berbalut sprei putih ini sambil mengumpulkan pecahan ingatanku yang jatuh berserakan. Apa yang terjadi? Aku memegang hidungku dan leherku. Seketika rasa linu, sakit dan perih menyerangku. Ada perban yang menutupi hidungku. Ah… Perban ini berhasil mengembalikan ingatanku. Semalam Alvin memukul hidungku dan mencekikku dan… Setelah itu apa yang terjadi? Alvin baku hantam dengannya, lalu beberapa orang datang untuk melerai dan semuanya gelap. Aku pasti sudah pingsan ketika dibawa ke rumah sakit. Tapi, di mana dia? Bagaimana keadaannya?
Dengan berhati-hati aku turun dari atas tempat tidur, memposisikan selang infusku agar tetap dalam posisi yang aman dan tidak terbalik. Aku membongkar isi tasku dan menemukan ponselku di dalamnya dalam keadaan mati. Kunyalakan ponselku beberapa detik kemudian dan langsung dipenuhi dengan puluhan missed call dan ratusan pesan singkat di Whatsapp. Beberapa rekan kantorku menanyakan keadaanku. Mereka sudah mendengar kabar tentang penganiayaan yang menimpaku entah dari mana. Aku tidak membalas pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebaliknya, aku langsung meneleponnya. Rasa khawatir benar-benar membuat otakku tidak bisa berkonsentrasi lagi. Pokoknya aku harus mendengar suaranya dan mengerti keadaannya dari mulutnya sendiri. Pesan terakhirnya padaku mengatakan bahwa dia berada di kantor polisi. Itu bukan kabar yang baik. Seluruh hidup dan kariernya bisa dipertaruhkan hanya karena aku. Aku mencoba menghubunginya lagi, tapi sayang sekali ponselnya tidak aktif. Setiap aku menghubunginya teleponnya langsung mengalihkan ke voice mail. Aku mendengus kesal karena aku tak bisa mengetahui apa yang terjadi padanya.
“Selamat siang, Bu Angel.” Terdengar suara pintu kamar dibuka dan diikuti dengan suara seorang wanita yang ternyata adalah perawat rumah sakit ini. Dia mengenakan seragam putih dan mendorong troli makanan untukku. Makan siang, kurasa.
“Suster, siapa yang membawaku ke sini?” Tanpa basa-basi aku langsung menanyakan pertanyaan yang terus berputar-putar memenuhi kepalaku dari tadi.
Suster tersebut terlihat sedikit terkejut karena pertanyaanku. Mungkin hanya aku pasien yang menyambutnya dengan pertanyaan yang tak terduga. “Satu orang security apartemen Anda dan petugas resepsionis wanita. Namanya Karlina.”
Jawabannya ternyata lebih mengejutkan. Aku mengernyitkan dahi sambil terus menatapnya, seolah memintanya menjelaskan lagi, tapi aku tahu tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Everything is crystal clear. Bukan dia yang mengantarkanku ke rumah sakit. Lalu, di mana dia sekarang ini?
“Bu Angel, jangan lupa minum obatnya, ya. Besok siang kalau keadaan Ibu sudah lebih baik, Ibu boleh pulang. Nanti sore sekitar jam empat akan ada visit dokter. Kebetulan penyidik menunjuk rumah sakit ini untuk melakukan visum atas kejadian yang menimpa Ibu.” Dia tersenyum sambil memeriksa infusku yang hampir habis. “Infusnya hampir habis. Saya ambilkan yang baru dulu, ya?”
“Visum?” tanyaku dengan bingung sambil mengulangi kata-katanya.
“Iya. Menurut laporan, teman Ibu sudah di kantor polisi sejak semalam. Seharunya petugas dari polisi yang akan membantu mengawal proses visum akan datang sebelum jam empat sore.” Kemudian dia berlalu meninggalkanku di ruangan ini sendirian lagi dalam keadaan yang lebih bingung.
Visum? Polisi? Perasaanku jadi semakin tidak tenang. Aku tidak ingin visum. Aku tidak ingin kasus ini jadi besar dan melebar kemana-mana. Ini harus dihentikan dengan segera. Aku mencoba menghubunginya lagi, tapi sia-sia. Tetap saja tidak berhasil. Aku menggerutu pada diriku sendiri, menyalahkan kebodohanku yang telah melibatkannya terlalu dalam. Sekarang dia harus menanggung apa yang sebenarnya bukan kesalahannya. Dan, kini semuanya jadi semakin rumit. Kasus ini akan dibawa ke ranah hukum. Aku tidak ingin berurusan dengan polisi, terlebih kasus ini adalah masalah pribadi.
Sekali lagi pintu ruangan kamar ini dibuka dan langkah-langkah sepatu suster yang beradu dengan lantai keramik rumah sakit membuyarkan bayangan pikiranku soal masalah ini. Suster datang kembali membawa kantong cairan infus yang berisi penuh.
“Apa yang terjadi pada saya, suster?” tanyaku ketika dia mulai mendekati ranjangku.
“Bu Angel semalam mengalami penganiayaan di bagian wajah dan leher, lalu setelah kami lakukan pemeriksaan, Ibu juga mengalami anemia yang cukup akut. Tekanan darah sangat rendah.”
“Ohhh… Bisakah saya pulang sekarang, suster? Saya takut saya tidak bisa berlama-lama di sini. Saya pikir tidak perlu visum, sus. Sepertinya ada kesalahpahaman.”
“Maaf, Bu, tidak bisa. Visum juga sudah dijadwalkan oleh yang berwajib.” Dia menyampaikan jawabannya dengan lembut dan sabar sambil tetap tersenyum. Tangannya yang terampil mengambil botol infusku yang sudah hampir kosong dan menggantinya dengan yang baru.
Aku memejamkan mataku sesaat untuk menenangkan pikiranku. Tidak, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Visum, polisi, pengadilan, Alvin, dirinya, aku, bayangan kami semua berputar-putar dalam benakku seperti komedi putar yang semakin lama semakin cepat. Komedi putar yang membuat mual, memacu emosi dan adrenalin di saat yang bersamaan. Komedi putar ini berubah dengan cepat menjadi roller coaster yang siap membawaku berpetualang mengalami pengalaman penuh adrenalin naik turun dengan kecepatan ekstrim tanpa ampun. Kubuka kedua mataku dan suster belum selesai memasangkan infus yang baru ke selang infusku. Ini kesempatan pertama dan terakhir yang kupunya. Bertindaklah dengan cepat, maka semua akan selesai. Dengan nekat dan satu sentakan kuat, aku mendorong suster itu hingga jatuh terpelanting ke lantai. Botol infus tersegel yang dipegangnya terlempar ke pojok ruangan. Matanya membelalak terkejut melihat aksi nekatku yang begitu cepat dan tak terduga.
“Bu Angel!” teriaknya dengan panik.
Dia bangkit dan menahanku untuk kembali ke tempat tidur. Aku sudah membawa tasku dan bersiap pergi. Selang infus masih terpasang di pergelangan tanganku. Aku tidak peduli. Satu-satunya hal yang harus kulakukan sekarang adalah keluar dari tempat mengerikan ini secepatnya! Satu sentakan dan dorongan lagi berhasil melumpuhkan suster yang menahan tubuhku. Tubuh suster yang tidak kupedulikan namanya limbung dan jatuh terpelanting lagi di lantai kamar rumah sakit ini, diiringi dengan jatuhnya botol-botol obat dan pecahnya piring berisi makan siangku.
“Maafkan aku, suster!” teriakku sambil segera berlari meninggalkan suster yang meringis kesakitan di atas lantai.
Secepat kilat kakiku melangkah dengan gusar dan terburu-buru keluar dari ruangan penuh pesakitan itu. Kesadaranku rasanya masih belum sepenuhnya kembali ke dalam kepalaku, tapi aku berusaha sekuat tenaga mempertahankan diriku agar tidak limbung. Di luar, para suster dan beberapa dokter yang sedang mengobrol terkejut melihatku yang lari terbirit-birit dengan tangan yang masih tertusuk jarum suntik dan terhubung ke selang infus. Suster yang kuperlakukan seenaknya itu berteriak dan berlari mengejarku, disusul dengan para suster yang lain dan seorang security. Aku tak menoleh ke belakang sedikit pun. Yang aku tahu aku harus berlari keluar dari bangunan ini. Aku menuruni tangga darurat dan terus berlari mengikuti arah tulisan EXIT yang tertempel di dinding. Tulisan EXIT tersebut berhasil membawaku ke lobi rumah sakit. Semua orang melihat ke arahku dengan keheranan. Napasku ngos-ngosan dan tenagaku serasa mau habis. Sekuat tenaga aku mengumpulkan kekuatanku dan berlari keluar gedung ini, terus melanjutkan pelarian ini hingga ke tepi jalan mencari taksi atau apapun yang dapat membawaku pulang ke apartemen. Misiku selanjutnya adalah mencari Karlina. Dialah satu-satunya manusia di Bumi yang dapat kuinterogasi.
“Taksi!” Aku berteriak saat melihat mobil taksi berwarna biru yang baru saja menepi ke pinggir jalan. Di belakangku masih terdengar suara beberapa suster dan security berteriak memanggil namaku. Secepat kilat aku masuk ke dalam mobil taksi itu. “Pak, cepat jalan, Pak!” Mobil taksi yang kutumpangi langsung bergerak meninggalkan para pengejarku yang menghentikan langkah mereka dengan tatapan penuh kekecewaan dan kekalahan. Akhirnya aku dapat menghela napas penuh kelegaan setelah lepas dari jangkauan mereka. Kusandarkan punggung dan kepalaku di kursi mobil. Kedua tanganku mengusap keringat dingin yang masih keluar membasahi wajah dan leherku. Butiran keringatku mungkin sudah sebesar biji jagung.
“Kita ke mana, Bu?” tanya sopir taksi sambil melajukan mobil dengan lebih perlahan.
“Oh… Ke apartemen Puri Grande, Pak. Tower dua,” jawabku ngos-ngosan. Dadaku masih naik turun tidak keruan.
Baru saat napasku mulai teratur dan stabil, aku merasakan rasa sakit di pergelangan tangan kiriku. Rasa sakit itu datang dari jarum suntik yang masih terhubung ke botol infus kosong yang kubawa begitu saja karena kabur dengan panik. Selang infus itu kini penuh dengan aliran darahku yang terisap karena guncangan dan posisinya yang sudah jungkir balik tak keruan.