Seminggu berlalu dan aku tidak kembali ke kliniknya. Kejadian terakhir itu membuatku merasa sangat sedih dan bersalah sehingga aku terus-menerus menyalahkan diriku dan keadaan kami. Di sisi lain aku pun tak bisa mengelak jika aku merindukannya, tapi aku merasa semua ini salah dan tidak ingin melanjutkan pertemuan kami. Aku takut aku akan melukai dan mengecewakannya karena seperti itulah aku diciptakan.
Beberapa hari tidak masuk kerja membuat pekerjaanku super menggunung. Sebagai seorang akunting memang sudah dipastikan sangat berisiko jika meninggalkan pekerjaan selama beberapa hari. Tidak akan ada yang bisa membantumu menyelesaikan pekerjaanmu waktu kau tidak masuk. Semua orang sibuk dengan deadline masing-masing. Beruntunglah malam ini ada beberapa orang lainnya yang juga lembur bersamaku. Sekitar pukul sembilan malam seluruh pekerjaanku baru resmi selesai dan aku baru bisa menginjakkan kaki keluar kantor. Berhubung mobilku masih rusak parah, sempat digelandang ke kantor polisi sebagai barang bukti, kemudian damai, dan akhirnya mobilku harus opname di bengkel, aku terpaksa pulang pergi kantor dengan ojek online. Suasana di depan kantor sudah sepi. Biasanya beberapa satpam kantor masih berjaga di depan sampai pukul sepuluh malam. Entah kenapa hari ini hanya ada dua orang satpam dan mereka hanya ngumpet di dalam pos sambil sibuk mengobrol dan ngopi. Aku yang berdiri di dekat pos satpam menunggu driver ojek dapat mendengar obrolan mereka samar-samar sampai akhirnya ponselku bergetar mengalihkan perhatianku. Satu pesan singkat dari driver ojek masuk ke ponselku. Dia bilang dia terjebak macet dan menanyakan apakah aku mau menunggu. Sebenarnya badanku sudah sangat remuk dan ingin segera menyentuh empuknya tempat tidur, tapi aku juga tak enak hati jika harus membatalkannya. Menunggu sebentar tidak akan jadi masalah, pikirku.
Aku menunggu jemputan sambil melamun memandang jalanan depan kantor yang sepi. Aku penasaran apakah dia masih memikirkanku sampai sekarang. Kenyataannya seminggu berlalu tanpa aku mengunjungi kliniknya dan dia tak menghubungiku lagi. Oh, Tuhan… Kau tahu betapa aku merindukannya. Ada keinginan yang begitu kuat dalam diriku untuk menghubunginya, mengkonfrontasinya, dan memarahinya karena tak menghubungiku. Aku ingin sekali menunjukkan betapa kecewanya diriku karena dia diam saja seolah tak mempedulikanku lagi. Namun, rasa ini terlalu gegabah. Tidak pantas dan tidak semestinya dilakukan. Tindakan bodoh, Angel!
“Hai, Angel!”
Suara seorang pria di sampingku membuatku terkejut. Spontan aku menoleh ke sumber suara itu dan mendapati seorang Alvin di hadapanku. Lagi. Mau apa lagi psikopat gila satu ini mengikutiku?
“Mau apa kau?” Tanpa basa-basi aku langsung mengkonfrontasinya.
“Wow, wow, wow. Tenang dulu. Santai. Jangan tegang begitu, Ngel.” Dia cengengesan dengan gayanya yang sok santai. Kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana ripped jeans.
“Katakan apa yang kau inginkan? Kenapa kau masih mengikutiku?” Nada suaraku sudah mulai meninggi dan aku sudah siap berteriak kencang jika dia mulai memeras atau menunjukkan tanda-tanda tindakan yang tidak mengenakkan.
“Tidak kusangka rupanya kau sangat terburu-buru, ya? Baiklah, jika itu yang kau mau. Aku akan langsung mengatakannya. Singkat, jelas, padat.”
“Apa?!” Kali ini aku benar-benar berteriak. Sialnya di saat bersamaan terdengar suara klakson mobil yang hamper menyerempet pengendara sepeda motor. Teriakanku kalah keras.
Alvin tersenyum sinis dan licik di hadapanku. “Kau masih ingin menyelamatkan sang terapis tercintamu, kan?”
Aku mulai tidak suka dengan arah pembicaraannya karena aku tahu ke mana semua ini akan berujung.
“Ternyata aku keliru. Aku bilang kalau aku sudah menghapus semua foto-foto dan bukti yang kupunya soal kedekatan kalian. It turns out masih ada di databaseku. Ternyata aku sudah mem-back up secara otomatis ke Google Drive pribadiku. Ooopsss… Lalu, kebetulan aku juga butuh sedikit suntikan dana. Jadi, bagaimana jika kita melakukan barter saja?”
“Barter apa maksudmu?” Kedua tanganku mengepal menahan emosi. Rasanya aku sudah ingin menonjoknya sampai mati saja.
“Kali ini aku akan benar-benar menghapusnya. Semuanya. Jika kau memberikanku dua ratus juta.”
Dua ratus juta? Yang benar saja! Uang dari mana?
“Kenapa diam saja? Kau bisa punya mobil sebagus itu, kau bisa tinggal di apartemen mewah, dan melakukan sesi rutin dengan terapis kesayanganmu yang bayarannya terkenal cukup mahal. Masa uang dua ratus juta tidak punya?” Nada bicaranya mulai melecehkan dan merendahkanku. “Ingat, nasib orang tercintamu ada di tanganmu sekarang. Oh iya, aku yakin kau tidak akan melapor ke polisi, kan? Karena jika kau sampai berani melapor, semua bukti yang kupunya akan segera menyebar di media.” Kini dia melambaikan ponselnya ke arahku, memperlihatkan fotonya keluar dari mobil di parkiran apartemenku. Sial. Aku dijebak dua kali.
“Kau memang pecundang, Alvin! Manusia tidak tahu malu dan tidak tahu diri.”
“Sama sepertimu, kan? Aku hanya meniru tindakanmu. Balas dendam.”
Jijik dengannya, aku meludahkan air liur di depannya. “Enyahlah dari sini, Iblis!”
Dia terkekeh mendengar hinaanku. “Aku anggap itu sebagai persetujuanmu. Hari Minggu, Bundaran HI, jam tujuh malam. Kutunggu kau di sana. Tidak ada polisi, tidak ada siapapun. Satu lawan satu. Ingat, dua ratus juta. Cash.” Dengan santai dia melangkah pergi meninggalkanku dengan amarah yang membuncah.
“Pergi ke neraka saja kau!” teriakku dengan luapan emosi yang tadi tertahan dan kini meledak begitu bombastis. Mataku terkunci mengamatinya yang pergi menghilang ditelan gelapnya malam dengan begitu tenangnya. Bagaimana bisa dia menjebakku dua kali?