Merantau di Jakarta sendirian itu tidak mudah. Apalagi jika kau benar-benar seorang diri. Sebatang kara, seperti kata-kata yang sering diucapkan di dongeng sebelum tidur. Tidak ada keluarga atau sanak saudara yang akan membantumu. Tidak ada pacar yang siap sedia dua puluh empat jam. Teman-temanku tidak banyak yang merantau di Jakata pula. Tapi, tidak masalah buatku. Bukankah aku memang sudah terbiasa dengan kesendirian?
Masih teringat jelas di benakku saat aku diterima sebagai karyawan baru di salah satu kantor akuntan publik. Ternyata kehadiranku di kantor menjadi buah bibir di antara karyawan pria. Sejak hari pertamaku di sana, banyak yang berusaha mencari tahu tentangku dan menghubungiku untuk berkenalan. Karena aku cuek dan sedang malas berurusan dengan masalah perasaan, aku tidak banyak menggubris mereka. Meskipun begitu, ada satu orang yang menarik perhatianku, yaitu Jojo. Aku tahu dari temanku kalau dia sering menanyakan apakah aku sudah punya pacar, siapa saja yang mendekatiku, dan pertayaan-pertanyaan semacam itu. Seperti yang kutegaskan di awal, aku sama sekali sedang tidak tertarik dengan urusan percintaan waktu itu. Namun, di luar dugaan sosok Jojo membuatku berubah pikiran, bukan untuk mencintainya, tapi untuk memanfaatkan kekayaannya. Aku tahu kalau dia anak orang kaya dari perbincangan teman-teman. Tidak sedikit juga yang menyukai Jojo dan berusaha mendekatinya, sementara Jojo malah mendekatiku. Menurutku ini adalah sebuah kesempatan emas untukku memanfaatkannya. Dia kunobatkan sebagai pria keenam yang akan menjadi korban selanjutnya.
Bagaikan bersambut restu, suatu hari aku tidak sengaja bertemu dengannya di lobi kantor setelah jam pulang. Dia sedang duduk di dekat pintu lobi. Kami saling bertatapan dari kejauhan. Aku berjalan menuju pintu dan berpura-pura tidak melihatnya. Ketika aku mendekati pintu, tak kusangka dia menyapaku. Kukira dia takkan punya keberanian sebesar itu.
“Angel, ya?” Aku masih ingat betul caranya menyapaku pertama kali. Dia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya dari hadapanku.
Langkahku berhenti tepat bersamaan dengan sapaannya yang ramah sekaligus nervous. “Hai,” sapaku balik. Sangat singkat karena aku harus memancingnya beraksi lebih jauh.
“Oh, hai, kenalin aku Jojo. Kamu anak baru, ya?” Dia memberikan tangan kanannya, memintaku untuk menjabatnya. Sebuah pertanda yang tidak diragukan lagi.
Aku mengambil sinyal yang diberikannya dengan begitu kuat tanpa ragu. “Hai… Iya, aku anak baru di sini. Kamu… divisi mana?”
Singkat cerita kami berkenalan dengan awkward di lobi kantor. Ternyata dia sudah cukup lama bekerja di kantor ini sebagai salah satu staf auditor. Dia bercerita cukup banyak tentang kantor kami, tapi kami tidak sempat bertukar nomor hp. Tentu saja tidak. Tidak secepat itu. Keesokan harinya, tanpa kuduga sama sekali, satu divisiku heboh dengan perkenalanku dengan Jojo. Ternyata ada beberapa orang yang melihat kami mengobrol di lobi dan keesokannya sudah heboh sendiri. Sejujurnya aku sangat tidak nyaman saat semua orang memperbincangkanku dan mengajukan beragam pertanyaan padaku tentang Jojo dan aku. Menurutku mereka terlalu lebai. Kami hanya berkenalan dan mengobrol santai. Apa yang harus dihebohkan sih? Meskipun aku tidak suka terekspos dan mengekspos diri seperti ini, aku sadar kalau yang harus kulakukan adalah mengikuti arusnya saja. Hari-hari berikutnya aku jadi lebih sering bertemu dengan Jojo di kantor. Ketika Jojo dan teman satu divisinya datang ke ruangan kami, semua mata langsung tertuju padaku padahal aku secara jabatan belum berhubungan dengan Jojo. Jojo yang sepertinya menyadari dengan cepat perubahan atmosfer dan situasi di sekitarnya hanya senyum-senyum seperti anak kucing yang malu-malu mau.
Aksi kucing-kucingan Jojo denganku tidak bertahan lama. Kalau tidak salah ingat, sekitar dua minggu setelah perkenalan canggung kami di lobi dia meminta nomor ponselku. Saat itu kami bertemu di pagi hari. Aku tidak menolak, tentu saja, karena aku tahu dia akan dengan mudah masuk ke dalam perangkapku. Semua berjalan dengan lancar dan sesuai dengan rencanaku. Jojo terlalu polos dan naif. Begitu mudah mengambil hatinya. Minggu berganti menjadi bulan dan kami semakin dekat. Dia dengan sukarela menjemput dan mengantarkanku berangkat-pergi kantor. Setiap weekend kami pasti pergi berdua dan kadang beramai-ramai dengan teman-temannya. Semua temannya menerimaku dengan baik menjadi bagian dari mereka. Itu tandanya aku berhasil mengambil hati dan simpati mereka satu per satu sehingga aku tidak perlu menunggu lama untuknya mengutarakan perasaan padaku. Hampir tiga bulan berlalu dengan cepat dan kami resmi berpacaran.
Tidak ada yang tahu aku hanya sekadar memanfaatkan kekayaan Jojo. Aku menutup semuanya rapat-rapat. Hanya aku, diriku, dan Tuhanlah yang tahu. Mungkin kau bertanya-tanya bagaimana aku bisa lihai berpura-pura dan bersandiwara dalam waktu yang lama hanya untuk sebuah aksi balas dendam yang sangat abstrak terhadap seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan padamu dan tidak ada hubungannya dengan semua yang terjadi di masa lalumu. Sayang sekali aku pun tidak tahu jawabannya. Satu hal yang kutahu pasti adalah dorongan balas dendam yang begitu besar di dalam hatiku telah memberikanku kekuatan untuk menelan kemunafikanku sendiri dan bertahan di atasnya sekuat tenaga.