Oh, Ellena... kenapa kau ada di sini? Di saat wanita tak kukenal ini mengutarakan perasaannya padaku. Jangan-jangan kau telah mendengar semuanya, Ellena?
Kedua mataku dan Ellena bersehadap. Aku terlonjak. Ellena berhasil membuat jantungku berajojing ria di tempatnya.
“Ah,” Ellena langsung mengalihkan pandangannya. “Ah, anu... Sheiraz...,” ucapannya terbata-bata. Bak anak kecil yang ketahuan mencuri dengar obrolan orang tua. Sedangkan wanita yang tak kuketahui siapa namanya itu, mulai membuka matanya tuk melihat siapa yang tengah berbicara. “Aku hanya mau mengingatkan saja,” ujar Ellena melanjutkan, “Jangan lupa salat zuhur, ya. Sudah menjadi kewajibanku sebagai sesama muslim tuk mengingatkan teman-temanku. Maaf, ya kalau... kalau aku mengganggu. Dah... Aku duluan.”
Aku pun tertegun. Ellena pergi memeluk seperangkat telekung ungunya yang meninggalkan jejak wangi lavendel. Ini adalah sesuatu yang sama sekali di luar harapanku. Aku yakin. Yakin sekali! Ellena pasti mendengar apa yang diucapkan oleh cewek gaje (ga jelas) di depanku ini.
Seperti biasa. Setiap masuk jam istirahat kedua, Ellena selalu mengingatkanku untuk salat. Ah, tidak. Tidak hanya aku saja. Tapi semua teman-teman sekelasnya juga ia ingatkan. Dia memang ketua ROHIS akhwat yang keren. Semua orang yang dia ingatkan, selalu membalasnya dengan lembut tentang apa yang dia sampaikan. Tidak ada yang berani menjahili Ellena. Bahkan Bendy anak ternakal pun enggan. Seolah-olah Ellena mendapatkan penjagaan dari para malaikat yang tak terlihat. Aku dapat membayangkan bagaimana sayap-sayap malaikat itu selalu memagari dirinya.
“Shei...?”
Aku tersentak. Panggilan itu membuyarkan percakapanku dengan diriku sendiri.
“Ellena memang beda ya, aku ingin sesekali menjadi anggun seperti dia,” ujarnya. Pandangan matanya tertuju sejauh Ellena melangkah.
“Kau memang tidak ada anggun-anggunnya sama sekali.”
“Oh, aku suka caramu yang blak-blakan seperti ini, Shei...” Aku terdiam. Kutunjukkan rona wajahku yang memerah darah. Maknanya bukan merah tersipu malu. Melainkan merah memendam marah. “Ambil wudu sana,” ujarnya kemudian.
“Kenapa?”
“Ya, salat.”
“Kau memberiku perintah?”
“Kau tidak salat?”
Aku mendengus, anak itu kutanya malah bertanya balik. “Iya. Malas,” jawabku, singkat.
“Wa-ha-ha-ha!! Sama dong denganku, Shei... Kita berjodoh!”
“Buang kepercayaan anehmu itu!”
“Ha-ha...” Huh, dia benar-benar tertawa sesukanya, ya? “Ngomong-ngomong kau tidak mau bertanya siapa namaku, Shei?” tanyanya. Kedua tangannya pun mengampu pipinya.
Sekilas aku berpikir, mengetahui namanya akan menguntungkan buatku di suatu hari. Ya, akan ada orang yang bernama seperti namanya mencariku lagi nantinya. Saat itu aku akan meminta tolong kepada siapa saja tuk mengatakan kalau aku tidak ada. Sheiraz, kau cerdas! “Baiklah. Memang siapa namamu?”
“Fida...” sebutnya, lirih, “Fida Adenanthera.”
Entah mengapa nama itu begitu dalam saat ia ucapkan. Sementara angin mengayun-ayunkan rambut lurus sepundaknya, memberikannya efek keceriaan yang bertambah. Aku pun bangun dari dudukku dan berkata, “Akan aku ingat.” Lalu pergi meninggalkannya yang tersenyum.
****
“Ellena!” Panggilku kepada Ellena yang baru saja bertolak dari masjid sekolah.
“Kau sengaja menungguku?” Ellena tampak heran. Mungkin karena melihatku masih berada di depan pintu kelas. Seakan aku telah mempersiapkan diri tuk menemuinya. Padahal aku sempat masuk ke kelas, memantau cewek bernama Fida itu pergi dahulu.
“Ah, tidak juga,” jawabku sekenanya.
“Maaf, ya lama. Tadi aku harus merapikan mukena-mukena yang berantakan dulu di masjid.”