Sebenarnya apa maksud orang itu, sih?
Wajahnya tertutupi helm full face warna hitam. Ditambah lagi dia juga memakai kacamata hitam jadi aku tidak mampu mengenalinya. Jaket kulitnya pun juga hitam. Sepatunya pun berwarna hitam berkilap. Dia juga mengenakan kaos kaki hitam yang panjangnya tepat di pertengahan betisnya. Kalau dipikir-pikir dia ini serba hitam ya. Lucunya mengapa celana pendeknya yang lepek terkena air hujan itu bercorak polkadot berwarna merah? Panjangnya pun di bawah lutut dan di atas betis. Tubuhnya termasuk gemuk tetapi juga tidak terlalu gemuk.
Sebenarnya siapa dia? Tiba-tiba pergi begitu saja setelah dia—yang dengan jarak tiga meteran—melempar sebuah tas serut bercorak batik dengan begitu mudahnya kepadaku. Seiring kepergiannya, aku melihat dua mobil polisi mengejar tepat di belakangnya. Sirine mobil polisi itu berhasil menghebohkan seisi jalanan ini. Termasuk aku. Karena ketika kubuka tali serutan tas itu, sebuah tablet berbaring di sana.
Horor...! Jangan-jangan ini tablet curian???
Mataku terbelalak. Seketika aku jadi merasa jalanan ini sudah tidak sepi lagi. Bukankah berbahaya jika ada saksi mata yang melihatku menangkap tablet ini? Bisa-bisa, aku juga diduga sebagai komplotannya si pencuri tadi. Spontan, jantungku pun berlari secepat kilat mencambuk bumi sekian detik yang lalu.
Celingak-celinguk. Itulah respon pertama yang wajib aku lakukan. Ketika dirasa aman, kutekan tombol on/off yang ada di samping tablet tersebut. Aku ingin membuat keadaan ini senatural mungkin di mata orang lain. Mereka harus menganggap tablet ini adalah milikku.
—TRIRING—
Tablet itu pun menyapaku. Sungguh tablet yang ajaib. Di bawah hujan yang deras ini dia masih bisa menyala. Kutaksir, tablet putih ini pasti mahal sekali harganya. Ukurannya cukup nyaman di tanganku. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak bisa dibilang kecil. Yang lebih ajaibnya lagi, entah mengapa lingkungan di sekitarku perlahan-lahan tampak memudar. Bak gambar-gambar yang bergoyang. Kupikir ada yang salah dengan kedua indra penglihatanku ini. Kalakian aku pun memuyu-muyu mataku. Mencoba menenangkan diriku kalau ini semua hanyalah rekaan mata yang tengah lelah semata. Namun sepertinya apa yang dilihat mataku ini bukanlah fiksi ataupun halusinasi. Ini sama saja seperti aku sedang berdiri di atas sebuah panggung drama yang layar latar belakangnya berganti.
Apa... Apa dunia mau kiamat?!
Sekujur tubuhku pun mendadak gemetar dengan gigiku yang bahkan menggelugut. Deru napasku memburu. Kurasakan jantungku mendobrak-dobrak dada dengan begitu dahsyatnya. Membuat dadaku terlihat kembang kempis berulang kali. Kurasakan kakiku melemas. Isi kepalaku berputar-putar. Aku mundur tiga langkah. Kujumpai setiap benda-benda di sekelilingku tampak bergeser. Menampilkan benda-benda dalam bentuknya yang lain. Bagaikan sebuah slide layar proyeksi Pak Stefan saat menerangkan materi Biologi dengan efek-efeknya yang mengagumkan. Menarik mata. Juga sekaligus menegangkan.
Hujan yang deras bertukar dengan gerimis. Tak perlu butuh waktu lama tuk ia menjelma lesap. Langit pun berjubah sewarna asap. Dengan sesuatu yang berkelip melayang-layang di udara bak debu yang menguap. Ya, semua berubah dalam sekejap. Aku terkesiap.
Ada apa ini? Kenapa semuanya jadi begini??
Kutengok ke bawah, jalanan beraspal yang kuinjak ini berganti perak. Kutelusuri dari kejauhan gedung-gedung pencakar langit kota ini berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang bertumpuk ke atas. Gedung-gedung yang lain ada yang berbentuk tumpukan trapesium, jajaran genjang, persegi, bahkan segitiga! Ya. Segitiga!!! Bayangkan segitiga ditumpuk ke atas setinggi-tingginya! Bahkan kulihat itu adalah bentuk bangunan yang paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Anehnya semua gedung-gedung itu mengambang, tidak menempel ke tanah sebagaimana bangunan yang wajar. Dengan hanya memakai seutas tali sajalah mereka dapat terhubung dengan permukaan bumi ini.
Aku jadi teringat bahwa aku tadi berdiri amat dekat dengan sebuah warteg. Aku pun menoleh ke belakangku, tempat yang kuyakini di mana warteg itu berada. Dan memang dari awal sudah seharusnya ia ada di belakangku bukan? Namun ternyata ia juga berubah. Mulutku tak bisa kubungkam lagi. Selama tak ada binatang terbang menyasar ke dalamnya, aku tak peduli jika harus membayangkan sejelek apa wajahku tatkala itu.
Akankah dalam sekejap Tuhan kasihan dengan otakku yang terus berpikiran tentang hal-hal yang negatif selama ini? Lantas memindahkan aku ke dunia lain seperti ini? Aku tak tahu. Aku tak mengerti. Aku mencoba bangkit dari keadaan hati yang begitu rumit, seolah ia terlilit oleh benang-benang ketakutan. Aku pun memaksa kaki lemasku tuk maju melangkah. Ya. Kudekati bangunan yang awalnya adalah warteg itu. Ia bangunan berbentuk kotak yang dipenuhi ratusan jendela yang berhimpit-himpitan seolah tanpa celah. Hanya saja ia tidak mengambang. Ia masih menyahap tanah.
Ketika aku sampai di salah satu jendela berkacanya, aku menatap sesuatu. Ada sosok tak kukenal yang berpakaian aneh di situ. Rambut pendekku yang keriting kuperhatikan masih tetap keriting. Padahal aku teramat sangat jauh berharap bila rambutku pun juga bisa ikut berubah menyerupai rambutnya Shah Rukh Khan. Ternyata tidak. Sedih pun sedikit melongok ke dalam pinggan hatiku. Hiks.
Dan di atas kepalaku, sebuah pengikat kepala hitam bermotif penuh warna mengelilinginya. Lalu, aku lanjut memperhatikan pakaianku. Seragam sekolah basah kuyup yang tadinya kukenakan awut-awutan ini berganti menjadi pakaian adat tradisional Indonesia yang sepertinya terkena sedikit sentuhan modernisasi. Kalau tidak salah, ini menyerupai baju adat suku Dayak Kenyah yang banyak mendiami sebagian wilayah Kalimantan Timur dan Utara. Warnanya hitam. Aku tahu ini karena aku pernah memakainya saat duduk di bangku Sekolah Dasar dalam rangka memperingati Hari Kartini.
Pantas saja motif pengikat kepalaku mengingatkanku pada sesuatu. Jika di aslinya adalah sebuah topi yang terdapat bulu-bulu penghiasnya, di pengikat kepalaku ini tidaklah ada. Baju yang melekat di tubuhku pun berbentuk rompi tanpa lengan dengan motif King Baba khas Dayak berwarna emas, perak, biru dan merah. Baju adat Dayak Kenyah ini disebut Besunung yang berarti baju perang. Pada baju aslinya, biasanya menggunakan bahan yang terbuat dari kulit binatang. Sedang yang kurasakan rompi yang membuatku terlihat lebih gagah ini terasa begitu lembut. Tingkat kelenturannya sekaku jas bapak-bapak. Rompiku ini uniknya tidak memiliki ritsleting yang lurus. Melainkan berbentuk liukan ular kuning di tengahnya. Kalau di aslinya memiliki bordir emas di seluruh pinggiran bajunya, di rompiku hal itu tidak ada.
Uniknya, ada empat buah tombol di sebelah kiri rompiku. Tombol-tombol itu berbaris menyamping. Bertuliskan angka 1, 2, 3 dan 4. Kucoba tekan angka 1. Rompi ini tiba-tiba terlepas dari tubuhku dan melayang-layang di udara. Untung saja aku seorang lelaki, apatah jadinya jika wanita yang menekan tombol 1 pada bajunya di dunia ini? Semoga fitur tombol 1 tidak ada di baju para wanita. Amin.
Aku harus memakai rompi ini lagi. Kutekan tombol nomor 2. Syukurlah, tebakanku tepat sekali. Rompiku terpasang rapi di tubuhku lagi. Aku tak berani mencoba kedua tombol lainnya. Pastinya akan ada banyak hal-hal tak terduga yang tidak aku ketahui. Bahaya atau tidak, intinya aku enggan mengambil risiko.
Adapun celana hitam yang kukenakan panjangnya hanya sampai di bawah lutut. Dengan diberi kain tambahan serupa Cawat di tengahnya, sepanjang pahaku. Sepertinya hanya sebagai penghias dan keunikan tersendiri saja. Sebab Cawat pada aslinya berupa kain yang dibuat khusus sebagai pelindung alat vital agar aman saat suku Dayak Kenyah berperang. Celanaku mungkin memiliki beberapa tombol juga, akan tetapi aku tidak punya banyak waktu tuk memastikannya ada atau tidak di saat-saat seperti ini.
Kulirik lagi sosokku di jendela kaca itu, ada sebuah aksesoris di salah satu tanganku. Lantas, kuangkat lengan kiriku. Seharusnya aku mengenakan gelang tangan Leko Lengen. Nyatanya sebuah jam digital berbentuk bintang bersegi delapan nan elegan melingkari pergelangan tanganku. Ah, aku tampak borjuis mengenakannya. Jam hitam ini hanya memiliki satu tombol di tengahnya. Kucoba menekannya satu kali, tiba-tiba tombol itu berubah merah terang lalu jam dinding empat dimensi muncul di udara. Kucoba menekannya dua kali, tombol itu pun berubah warna menjadi biru. Lalu muncul kalender empat dimensi di udara. Kucoba menyentuh kalender tersebut, kalender itu membalikkan kertasnya sendiri. Wow...!
Aku langsung menghapus kekagumanku itu. Teringat bahwa aku harus tetap waspada dan sadar bahwa aku sedang tersesat di dunia ini. Aku bukan sedang study tour. Bukan pula sedang berwisata di Taman Surga. Aku pun memandangi jendela bak cermin yang menampilkan lukisan tentangku itu lagi. Tubuhku yang tingginya 175 cm, dengan pakaian serba hitam ini membuatku kian terpukau oleh diriku sendiri. Dengan rompi hitam ini, otot-otot di kedua lenganku sangat jelas terbentuk. Yah, olahraga rutin di rumah membuatku hampir setengah six pack. Six dikalikan setengah, berarti tiga dong, ya? Fix, aku berarti three pack!
Kutengok sesuatu yang memang sudah dari awal ia mengapung-apung di atas kepalaku itu. Yang sebenarnya sudah dari tadi pula sesuatu itu kulihat namun aku sengaja mendiamkan. Karena perubahan pada pakaianku ini lebih mengagumkan ketimbang hal itu. Ya, di atas kepalaku tertera sebuah tulisan kecil. Kudekatkan kepalaku ke jendela untuk dapat melihat apa isi bacaannya. Tulisannya tentu saja terbalik karena dipantulkan, namun aku masih bisa membacanya.
◇◇◇
Sheiraz Lv.1
NP = 0
WP = 365
◇◇◇
“NP? WP?” kedua alisku bertemu saat aku menyebutkannya, “NPWP? Nomor Pokok Wajib Pajak, gitu? Ha-ha...” Irama dentaman jantungku pun kian lama kian berkurang karena lelucon yang kutemukan di dunia asing ini.