Kulirik lagi layar di tablet yang menuntutku tuk meresponnya.
◇◇◇
◇◇
Pencet :
Iyak || Kagak
◇◇
◇◇◇
Aku kembali mendengungkan pertanyaan yang menggunakan bahasa adat daerah Betawi pada tablet itu, Pegimane? Ente mau keluar ape kagak?
Dan akhirnya kupilih untuk keluar. Kutekan “Iyak” pada layarnya. Seketika seluruh kota di dalam dunia game ini, memudar. Suara-suara klakson kendaraan kian terdengar riuh di telingaku. Kukatakan dalam hati... Hei, kota Jakarta! Aku kembali!
Kuangkat kepalaku. Wajahku menadah tamparan lembut dari air mata langit sore. Tubuhku pun langsung disambut guyuran tangisannya yang deras. Lagi. Kurasakan seragamku basah, tas ranselku basah. Semua merengek, meminta diganti dengan pelasah. Sedangkan tablet ajaib itu kumasukkan dalam tas ranselku. Tablet itu basah pun sebenarnya tak akan jadi masalah. Paha pun kubelasah. Sakit. Ini nyata, benar-benar tak salah. Meski mimik wajahku mendesahkan kelesah. Kuteringat, Mama di rumah telah menungguku dengan resah. Menuntaskan janji membuatkan aku gengsah. Oh, apakah sudah cukup lama waktu telah menggusah hingga aku merasa susah?
Aku... memilih berlari memeluk hujan. Kupercepat lariku. Aku yang tidak pernah merindukan Mama, kini teramat merindukannya. Sekelebat memori berayun-ayun di udara sesenandung dengan irama lariku ini.
“Sudahlah, Ma! Aku mau main game dulu!” Bantahku pada Mama sambil menaiki anak tangga rumahku sepulang sekolah.
“Tapi Sheiraz, Mama sudah memasakkan gengsah yang pedas untukmu. Turun dulu sayang...”
Ah... Gengsah. Aku berhenti tatkala Mama mengucapkan kata itu. Meski kami orang Banten yang menetap di Jakarta namun makanan khas Madura itulah yang paling aku sukai. Paduan cumi-cumi berkuah bumbu yang kental nan gurih tanpa santan dengan rasa yang sedikit asam. Itulah gengsah, namanya asing di kebanyakan telinga orang Indonesia namun bumbu-bumbunya amat dikenal saking sangat sederhananya. Lengkuas, jahe, kunyit, asam jawa, ketumbar, jintan, merica, kemiri, terasi, gula, garam, bawang merah, bawang putih dan sebagainya. Cara membuatnya pun mudah sekali. Mungkin hanya butuh kesabaran saja saat menyiangi cumi-cuminya. Dan hanya gengsah buatan Mama saja yang enak. Cumi-cuminya tidak alot. Mama pandai sekali memasak. Tetapi, sayangnya game lebih aku sukai daripada gengsahnya Mama.
“Mama saja yang makan, ah! Aku nanti sajalah, Ma!” Teriakku akhirnya, usai sampai di pertengahan tangga. Namun Mama tetap memintaku turun. Di telingaku, Mama seperti mengusikku. Aku membalasnya dengan sesuatù yang menyelipkan sesal di antara rongga-rongga hatiku yang rapuh, “Ya, sudah itu Mama saja yang habiskan lah kalau begitu! Bawel!!” Aku pun langsung berlari ke kamar. Tak peduli pada apa yang Mama rasakan saat itu. Dunia Zegerndia yang indah tengah menunggu diriku, Pahlawannya.
Langit sendu, anehnya begitu merdu. Tanahnya lanau, sinau seminau. Hanya karena renjisan memori, mataku menghangat, sangat. Ya... Saat berlari di tengah-tengah udara yang mendingin. Air mataku tumpah kendati tak ingin. Pipiku seakan tersengat, oleh air mata yang lingat tatkala ia lewat. Katanya, jadi anak laki-laki tidak boleh cengeng. Tapi kepada ibunya, boleh kan?
Di depan kedua daun pintu rumah model kayu berukiran klasik, aku berdiri. Dengan hunjaman air hujan yang terasa merutukiku. Pintu yang memiliki poni berukiran pahatan bebungaan nan indah itu entah mengapa tampak lebih megah dari biasanya. Sekujur tubuhku gigil. Jantungku berdegup malu yang aneh.
“Asalamualaikum!” Kuucapkan salam sepenuh hatiku, salam yang tidak pernah tergaungkan dengan benar di mulutku seĺama ini. Lamlikum, Slamlikum, Mikum. Ya, biasanya aku asal saja menyebutnya. Biasalah, malas. Tiba-tiba suara pintu yang membuka itu menusuk relung hatiku. Balasan ucapan salam dari balik pintu itu pun, terdengar parau di telingaku. Dadaku bergemuruh. Sesuatu rasa yang tidak kumengerti meluap-luap di dalam tubuhku.
“Mama...!” Kupeluk ia yang tak pernah kupeluk, dengan tidak begitu erat. Tubuhku yang basah kuyuplah alasannya. Aku takut membuat Mama yang sudah bergarau tadi jadi tambah sakit.
Sesekali suara batuknya mengganggu kata-kata yang ia keluarkan, “Shei... uhuk-uhuk. Sheiraz?”
Kulepas pelukanku, cepat, “Ma-Mama... sakit flu?” Seketika aku merasa bersalah, apakah karena pelukanku? “Ma-maaf.”
“Hei-hei... Tak apa. Uhuk-uhuk... Mama senang dipeluk anak semata wayang Mama ini," ucap Mama, tersenyum, “Kok tumben, uhuk-uhuk... tumben kamu memeluk Mama? Uhuk... ada... apa?” tanya Mama, diselingi batuknya.
Rasa malu bergelayutan di ujung ulu hatiku. Seorang anak memeluk ibunya adalah hal yang wajar. Namun, bagi anak yang kaku, yang selalu menjaga jarak dengan orang tua mereka selama ini. Sungguh, itu adalah sesuatu hal yang membutuhkan perjuangan tuk bisa melakukannya.
“Tidak ada apa-apa, Ma,” jawabku. “Apa... apa aku pulang terlalu lama?”
“Hm?”
“Apa aku membuat Mama terlalu lama menunggu?”
“Ha-ha, tidak Sheiraz sayang.”
“Untunglah.” Segera, aku masuk menuju ruang makan. Aku merasa banyak sekali ikan-ikan piranha yang berloncatan di dalam kolam renang lambungku. Saking ganasnya mereka kelaparan. Membikin perih. Tampak di punca mataku sebuah piring kosong menelungkup di atas meja. Ditemani segelas air putih tertutup dengan semangkuk gengsah yang mengeluarkan uap panas di atasnya. Menarik-narik hidungku.
“Mama, baru masak gengsah?” tanyaku sambil menarik kursi makan yang empuk itu untuk kududuki.
“Iya, kan Mama sudah janji.” Kutengok wajah Mama, ia mengerutkan dahinya. Mungkinkah karena aku sembrono membasahi kursi makannya? Duh, aku sungguh terlupa. Bajuku ini kan basah! Ah, kebiasaan! Meski demikian, aku membiarkannya. Mama sudah biasa dengan tingkahku.
Kutuang dua sendok nasi hangat di piringku lalu beberapa sendok gengsah yang nikmat. Mama melihatku yang tengah makan dengan lahap. Tampaknya ia tak lagi memedulikan seragamku yang basah. Kulirik, sebutir-dua butir air matanya ia seka dengan jemarinya. Membuatku meletakkan sendokku.
“Ma...” lirihku, mataku tak henti menatapnya.
“Ayo, makan lagi. Yah, kalau bisa jangan makan dalam keadaan basah seperti itu. Nanti masuk angin, Shei.“
“Ma,” aku sengaja tak menggubris ucapan Mama tadi, “Mama kok menangis?”
Ditanya olehku seperti itu, tanpa kata, air mata Mama kian berebutan keluar dari sarangnya. Membuat Mama gelagapan dengan air matanya sendiri.