The World Is a Game

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #6

BAB 5

Aku dan NPC Fida—sengaja kusebut ia demikian—berada di sebuah trotoar kota Gelita yang sangat mengagumkan. Meski sudah pernah kulihat sebelumnya, gedung-gedung penggaruk langit yang mengambang itu tetap saja memukau diriku. Namun kota Gelita ini amatlah suram. Matahari sedikit pun tak berani bermain cilukba pada penduduknya. Ia senantiasa berselindung di balik sang langit yang tertudung mendung. Kegelapan sungguh tak lagi terbendung. Meski kota Gelita demikian, sebagian orang di kota ini tetap beraktivitas seperti biasa. Sedangkan beberapa yang lainnya, menderita kelaparan. Mereka banyak menghiasi jalan dengan air mata dan raungannya.

“Kau lihat?” NPC Fida yang berjalan di depanku mulai bersuara, “Mereka korban dari bencana kegelapan yang bersumber dari kota ini. Tidak hanya di kota ini saja, tapi juga di seluruh dunia. Sejenis polusi yang menular."

Setitik iba menepuk jiwaku. Hal yang membuatku sedikit lega adalah, kutemui beberapa warga membagi-bagikan sedikit makanannya pada mereka. Semua sama, berpakaian adat Dayak Kalimantan sepertiku. Untuk satu jenis warna dari pakaiannya saja memiliki beragam warna turunannya. Kuning misalnya, ada kuning tua, kuning gading, kuning kehijau-hijauan. Di atas kepala-kepala mereka pun hanya tertera sebuah nama saja. Tanpa status level sepertiku. Hanya satu hal yang terlihat jelas perbedaannya. Ya, kulit di dahi-dahi mereka bersisik menyerupai sisik kaki ayam yang keras. Namun tiap kepingnya lebih lebar seperti keping-keping pada sisik ikan. Sebenarnya aku cukup bergidik saat melihatnya.

Hal yang tak kalah sibuknya lagi di kota ini adalah mobil-mobil yang melintas di jalan raya. Sangat kencang sekali. Hampir-hampir tak terlihat. Bagaikan kilatan-kilatan cahaya. Hebatnya, tak ada yang saling menabrak satu sama lain. Padahal udara abu-abu ini cukup mengabutkan pandangan. Saat kali pertama aku ke sini, kota ini amat sepi. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Mungkin karena waktu itu aku belum resmi bermain

"Hei, kita mau ke mana?” tanyaku, berjalan cepat menyamai NPC Fida.

Ia berhenti. Tangannya menunjuk sesuatu di depannya sambil berkata ke arahku, “Halte.” Lalu ia berjalan cepat kembali. Aku pun mengikuti.

“Boleh aku bertanya?” tanyaku lagi, sambil berusaha mengimbangi kecepatan jalannya.

Ia tak menjawab.

“Mengapa kita harus berjalan secepat ini?” Aku serius menanyakan hal itu. Karena yang kulihat berjalan cepat bukanlah tradisi orang-orang di kota Gelita ini.

“Apa lagi kalau bukan supaya kita bisa segera sampai di tujuan?” Sambil berdiri di depan halte itu dia berkata kepadaku, seakan menunggu sesuatu. Yah, benar juga, sih. Tapi judes sekali caranya menjawab. Sungguh jauh berbeda dengan Fida yang kukenal ceria di dunia nyata. Sebuah sinar biru dari atas halte menyinari tubuhnya ke atas dan ke bawah. Begitu juga denganku. Diiringi suara dari halte transparan berbentuk kapsul memanjang itu, “Selamat datang di Halte Gelita Utara 1, Sheiraz dan Fida.” Kami pun masuk.

Dua orang calon penumpang yang baru datang pun mendapatkan perlakuan yang sama oleh halte itu. Tak sengaja, saat kumenoleh, aku berkaca pada diriku sendiri. Ya, dinding halte transparan ini memantulkan tubuhku dengan samar. Kubaca bilah status di atas kepalaku.

Sheiraz Lv.1

NP = 0

WP = 361

“Fida, kenapa WP-ku berkurang 4? Bukankah hari ini hari resmi aku memulai permainannya?” tanyaku, sedikit berbisik.

Fida tiruan itu terlihat tergemap untuk sesaat.

Aku melanjutkan lagi, “Aku baru masuk dua kali. Kalau mau dihitung berkurang, bukankah seharusnya dikurangi 2? Ini dikurangi 4 dari 365!”

Fida masih terdiam. Sebuah kilatan cahaya merah pun berhenti di depan halte. Pemandangan menakjubkan itu berhasil mengalihkan apa yang aku tanyakan barusan. Kilatan cahaya itu menampilkan bentuknya. Berupa mobil bulat sewarna dengan warna kilatannya tadi.

Cool...!” lirihku, terpesona. Dua orang calon penumpang tadi pun memasuki mobil merah yang bulat sempurna itu. Tak lama, mobil itu pun menghilang.

Langsung kuputar kepalaku 90 derajat ke arah NPC Fida. “Hei, kenapa mobil itu menghilang tanpa jejak? Kulihat yang lain malah melesat di jalanan,” tanyaku. Kali ini tanpa berbisik. Tak kutemui beberapa kata darinya. Lagi-lagi dia menggerendel mulutnya dariku.

Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya violet berhenti di depan kami.

“Ayo!” NPC Fida akhirnya mengeluarkan satu buah katanya. Dia mengajakku masuk ke mobil bulat violet yang membuka pintunya secara otomatis itu. Lebih tepatnya tanpa pintu yang sebenarnya. Ia hanya membentuk lubang yang terbuka dengan cara memudar.

“Buru-buru atau lihat-lihat?” tanya supir mobil itu ketika kami sudah duduk, seiring pintu mobil yang menutup otomatis. Aku melihatnya seperti kotak-kotak kecil dua dimensi yang meluas sangat cepat hingga menutup sempurna. “Kalau ‘Buru-buru’ kita akan menghilang dalam sekejap. Biaya lebih mahal namun akan lebih cepat sampai. Kalau ‘Lihat-lihat’ kita akan berjalan ke lokasi tujuan dengan menelusuri jalanan ibu kota ini. Lebih murah tentunya,” lanjut supir itu lagi.

“Dia ini adalah anak Pak Wali Kota. Kami ditugaskan Pak Wali Kota untuk menghadap beliau ke kantornya sesegera mungkin,” jawab NPC Fida.

“Oh, maafkan saya. Saya tidak tahu. Baik, cukup tempelkan kelima jari Anda di sini, Tuan,” pinta supir itu, ia menekan sesuatu.

Sebuah layar tiba-tiba muncul di depan wajahku. Kulekatkan kelima jari-jari kananku pada lima buah oval kecil di layar itu, tanpa menyentuhkan telapak tanganku. Oval-oval kecil itu pun bersinar. Kemudian sinarnya menjalar ke tangan, pundak, kepala, lutut, kaki dan seluruh tubuhku. Setelah itu ia lanjut merambat ke tubuh NPC Fida.

“Pembayaran secara otomatis telah diterima.” Terdengarlah suara indah dari mobil itu.

“Sungguh enaknya menjadi anak kelas atas ya, Tuan. Saya iri dengan Anda,” ucap supir itu lagi, entah pujian atau iri sungguhan aku tak tahu. “Baiklah. Mari kita pergi.” Supir itu menekan tombol mini keperakan di tengah kemudinya. Sejauh ini aku hanyalah melongo saja. Tidak sempat kubalas tiap perkataannya itu. NPC di sebelahku malah menyenggol lenganku dengan sikut kirinya.

Kutengok dia. Kuangkat kepalaku lalu menurunkannya. Sebuah isyarat tuk menanyakan kata tanya “Apa?” kepadanya. Mulutku masih menganga ketika kumelakukan hal tersebut.

Ia membalas isyaratku dengan isyarat lagi. Jari telunjuknya mengarah berkali-kali ke salah satu sudut bawah bibirnya. Aku yang tak paham, mengudarakan isyarat tanya “Apa?” yang tadi lagi kepadanya. Dia malah menepuk dahinya.

Seluruh layar kaca mobil yang tepat berada di belakangnya pun mengagetkan bola mataku. Spontan, aku mengelilingkan pandangan. Tidak ada 10 detik, seluruh layar kaca yang mendominasi permukaan mobil ini langsung menampilkan pemandangan jalan yang lain.

“Kita sudah sampai, Tuan," kata supir itu, memberitahu.

Aku yang terkejut mendengarnya tanpa sadar menyuarakan bunyi “Slirp” dari bibirku. Memalukan! Air liurku membuat ulah. Untunglah mereka semua hanya karakter-karakter mati dalam game. Stay cool, Sheiraz. Stay cool... Stay cool...

Kami pun turun dari mobil bundar violet yang mirip taksi di dunia nyata itu. Tak lama kemudian mobil itu pun menghilang. Kami berdiri di sebuah tumpukan aneka bangunan datar warna-warni. Bertuliskan Kantor Pusat Gubernur dan Wali Kota Gelita. Gedung tinggi ini lain daripada yang lain. Sebab setahuku, gedung-gedung lain memiliki satu warna dan satu bentuk bangunan datar saja. Ini, lantai pertama dan kedua bentuknya bujur sangkar. Lantai ketiga, keempat, dan kelimanya berbentuk segitiga. Lantai keenam, ketujuh dan kedelapannya, trapesium. Dan begitu seterusnya.

“Ada satu hal yang mengganggu pikiranku baru-baru ini,” ujarku, mencoba merobohkan padatnya keheningan ini, “Kenapa Pak Wali Kota juga disebut sebagai Gubernur?” tanyaku lagi padanya, si NPC Fida.

“Masa kau tidak tahu? Dia kan ayahmu sendiri.” 

“Aku ini player di sini! Sudah seharusnya kau menjawabku! Bahkan aku New player! Tentu saja aku tidak tahu!” Tanggapku, gemas sekali rasanya. Segitu susahnya padahal tinggal menjawabku saja.

“Baik. Akan aku ceritakan sedikit. Kota Gelita ini awalnya bernama kota Pelita. Asalnya tumbuh dari Kota Yang Tenggelam, Jakarta. Hanya di Gelita saja Wali Kota merangkap sekaligus sebagai Gubernurnya,” terangnya.

Lihat selengkapnya