The World Is a Game

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #7

BAB 6

◇◇◇

◇◇

Jembatan Akar Pukupululu

Jembatan Akar Pukupululu ini adalah jembatan pertame nyang harus ente laluin. Di tengahnye ade sebuah dinding perbatasan nyang dibangun buat ngelindungin suku Pukupululu dari ancaman Pandemi Kegelapan. Di saat seluruh dunia kena bencane, hanya suku Pukupululu aje lah nyang kagak.

◇◇

◇◇◇

Kukeraskan suaraku saat membaca keterangan yang diberikan tablet itu. Kami berdua pun memutuskan berjalan menjejaki Jembatan Akar Pukupululu. Kuperhatikan pondasi jembatan ini tampak kokoh. Terbuat dari kepangan-kepangan akar yang saling terajut. Di tengahnya diberi alas bambu yang memanjang. Sayangnya bambu-bambu itu sudah banyak yang hancur oleh usia. Mungkin dahulunya pernah dijadikan sebagai tempat wisata tuk memudahkan para wisatawan lewat. Tatkala kami injak, mereka berpikauan. Jembatan pun bergoyang-goyang cukup kencang. Membuatku semakin mengeratkan peganganku pada seutas akar yang menjadi pagarnya. Maklum saja, ini sudah lewat berabad-abad lamanya dari zamanku. Aku pun melongok ke bawah. Sungai yang mengering di bawahnya ini kutaksir sedalam 15 meter. Batu-batuan oval yang ujungnya meruncing itu pun seakan telah menanti kami agar jatuh ke atas mereka.

Aku jadi teringat, Indonesia juga memiliki banyak sekali jembatan-jembatan yang terbuat dari akar. Yang entah bagaimana caranya, alam membuat akar-akar di antara kedua pohon yang berseberangan itu saling terjalin membentuk jembatan dengan sendirinya. Salah satunya Jembatan Akar Painan di Sumatera Barat. Hanya saja Jembatan Akar Painan itu menggunakan kayu-kayu datar sebagai lantainya. Sedangkan Jembatan Akar Pukupululu ini mirip sekali dengan Jembatan Akar yang ada di pelosok Banten. Ah, aku lupa tepatnya.

“Kita sudah ada di atas jembatan ini. Tapi aku tak melihat adanya dinding perbatasan seperti yang tablet itu katakan. Apa kau lihat?”

Aku memutar kepalaku ke belakang. NPC itu lagi-lagi menggeleng pelan. Ia berjalan di belakangku karena Jembatan Akar Pukupululu yang panjangnya sekitar 30 meter ini hanya muat untuk dilalui oleh satu orang saja. Aku pun meneruskan langkahku. Berjalan perlahan, memilih-milih pijakan bambu mana yang aman untuk kakiku nikmati. Ketika aku melihat ke depan, sebuah air sungai pun tahu-tahu mengalir di hadapanku. Tepat di bawah jembatan ini. Masih samar-samar bentuknya. Kupercepat lagi langkahku. Semakin aku maju ke depan, air sungai yang samar-samar itu semakin terlihat dengan jelas nan indah. Bentuk visual yang sangat menakjubkan sekali.

Luar biasanya, air sungai itu hanyalah separuh dari sungai kering ini dan membelah secara horizontal. Ikan-ikan sungai dan segala yang ada di dalamnya bisa terlihat jelas bagaikan akuarium raksasa. Sehingga di depanku ada air sungainya, sedangkan di belakangku tetap kering tidak ada airnya. Ini mengingatkanku pada kisah Nabi Musa alaihi salam yang dikaruniai Allah tuk bisa membelah lautan secara vertikal. Saat aku masih kecil, Mama suka sekali membacakan untukku buku itu sebelum aku tidur. Aku sampai membayangkannya dalam benakku saja. Tetapi kali ini aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Rasanya sangat berbeda sekali, antara melihat di buku atau layar monitor dengan melihat secara langsung seperti ini. Ya. Rasanya sangat luar biasa!

“Hoo... Jadi ini yang dimaksud sebagai dinding perbatasan antara suku Pukupululu dengan dunia luar yang tercemar oleh kegelapan? Dinding perbatasan yang kata Papa Game-ku, sampai-sampai pasukan dari seluruh dunia itu mengebomnya? Bah! Aku bahkan tidak butuh usaha apapun tuk memasukinya!” Ujarku tanpa bernada sombong. Di mana-mana, yang namanya tokoh utama pasti lebih istimewa pada setiap tindakannya. Tidak heran jika aku bisa dengan mudah masuk ke dinding perbatasan ini. He-he.

“Bodoh! Jangan merasa kau itu pemeran utama di sini. Menurutku pasti ada sebab tersembunyi yang membuatmu bisa dengan mudah menembusnya.” 

Ah, kaget aku. Saking lamanya ia membisu membuatku terlupa akan keberadaannya.

“Apa kau... bisa... membaca... pikiranku?” tanyaku, penasaran. Aku mengucapkannya dengan berhati-hati.

“Bodoh, tidak ada hal-hal seperti itu di dunia ini.”

Ah, ya kau benar. Tidak ada NPC yang diprogram sampai seajaib itu.

Kulanjutkan perjalananku. Ternyata dinding perbatasan yang tak terlihat di tengah-tengah ini membuat perbedaan yang sangat mencolok ketika kumemasukinya. Udara yang mulanya panas, berkabut debu dan suram berubah seketika menjadi udara yang kaya akan oksigen. Ya, mereka semua langsung menyerbu tubuhku, menyeruak ke dalam rongga hidungku. Sampai ke paru-paruku. Sejuk sekali. Telingaku pun dimanjakan oleh bebunyian dari aliran air sungai yang sangat jernih, bersatu padu pula dengan pohon-pohon yang berdansa bersama angin. Ditambah lagi suara burung-burung berkicauan dan suara monyet-monyet bergelantungan. Membuat simfoni yang indah, yang pastinya akan sangat dirindukan oleh kota Gelita dan seluruh dunia yang sedang sesak ini. Beberapa bibit pohon yang terlihat baru tumbuh juga turut menyambutku dengan senyumannya yang segar.

“Emmeeeyjiiing...!” lirihku.

“Emeyjing-emeyjing! Amazing!” timpal NPC Fida, membetulkanku.

“Nah, iya seperti itu. Kau bagus sekali,” jempolku kuarahkan padanya. Kulihat, bola matanya melirik ke atas lalu pindah menyamping.

Kami berjalan, berjalan dan terus berjalan.

“Ngomong-ngomong di mana Telan Tri itu?” tanyaku, sambil memungut sebuah ranting panjang yang tergeletak di tepi jalan setapak. Lumayan berguna tuk membantuku berjalan sambil mendengarkan NPC Fida berujar.

“Trel-larn Tree,” ajarnya kepadaku.

“Trel-laaarrrnn Triii...” aku menirunya.

Good.”

“Yap, di mana pohon itu? Apa kau tahu ciri-cirinya agar aku mudah menemukannya?”

Lihat selengkapnya