“Mengapa kau ingin membunuhku?! Hah?!” Pekikku. Dalam keadaan layarnya yang hitam, tabletku terlepas begitu saja dari genggamanku. Aku terjungkal ke belakang. Lantai rumah panggung beranyaman bambu ini langsung menjerit-jerit. Gradika, anak suku Pukupululu itu berada di atasku. Ia mendadak menerjangku. Kucengkeram jubah hitam di lehernya itu dengan kedua tanganku. Tak sengaja penutup kepalanya terdedah, seluruh wajahnya yang bikin aku penasaran itu pun terlihat, “Wa-wajahmu....” Aku terkejut. Matanya berukuran kecil, bibirnya yang memang mungil, lalu telinganya yang mini, sungguh tak seimbang dengan ukuran wajahnya yang lebih besar. Ia seperti balon yang dilukis oleh anak batita.
NPC Fida adalah seorang perempuan, aku tahu ia tak akan mampu menolongku. Ia hanya duduk memasang wajah penuh kecemasan. Apakah pikiranku dan pikiranmu sama, hai NPC Fida? Jangan-jangan anak suku ini sebenarnya adalah Dwaka yang menyamar? Kalau benar begitu ini gawat, tak ada weapon atau senjata apa-apa. Aku bisa mati!
“Dengar! Aku salah bicara!!” Teriak anak suku itu.
“Apa maksudmu?!”
“Maksudku kau bisa mati! Hampir saja kau itu mati!”
Aku saling bertukar pandang dengan NPC Fida. Napasku terputus-putus rasanya. Kejadian ini cukup membuatku syok. Aku tidak tahu apakah mati di dunia game ini sama dengan mati sungguhan atau tidak. Sebab di sini semua rasa terasa nyata.
“Tablet itu!” Kata anak suku itu lagi, terengah-engah, “Jangan pernah kau buka tablet itu selama di sini. Mata batin Dwaka sangatlah tajam. Dwaka akan langsung tahu jika ada yang melanggar peraturan adat. Karena di sini adalah kawasan dilarang menggunakan barang-barang berteknologi. Kalau tidak..." Gradika membuat jeda pada kalimatnya, "Kalau tidak Dwaka akan ke sini tuk membunuhmu."
“Dasar kau bikin jantungku copot saja!!” Napasku boleh lega detik ini, aku bangun dan kuangkat tubuh anak suku itu. “Aku ingin melihat bilah statusku yang ada di atas kepalaku. Apa kau punya cermin?”
“Cermin kami adalah air. Akan aku ambilkan, mungkin kau bisa mengaca dengannya.” Tak lama Gradika pun kembali, membawa semangkuk kayu besar berisi air. Aku becermin di sana, bilah statusku terpantul terbalik di permukaan air tersebut. Namun aku tetap bisa membacanya.
Sheiraz Lv.1
NP = 10
WP = 360
“Uwooohh... NP-ku bertambah 10? Asiikk...!”
“Sedikit sekali NP hanya 10,” komentar NPC Fida.
“Iya juga, kenapa pelit sekali kasihnya, sih?” aku setuju padanya kali ini. Namun aku sudah cukup puas. NP bertambah mungkin karena aku berbuat baik menerima misi ini atau juga karena hal lain. Entahlah. Sebenarnya aku mau dibawa ke arah mana oleh permainan ini? Game ini makin membuatku penasaran saja!
Setelah aku merasa cukup melihatnya, Gradika memasukkan mangkuk airnya ke dalam rumah. Lalu keluar mendatangiku kembali.
“Gradika,” kupanggil namanya, anak suku yang kutaksir berusia 10 tahun itu balas menatapku dengan wajah serius. “Terima kasih,” ucapku, sambil kucolek batang hidung anak itu. Karena di antara seluruh indra di wajahnya, hanya hidungnya saja yang berukuran normal. Sekuntum senyum mungkin tengah bermekaran di wajahku. Itulah kali pertama pula kusebut ia dengan namanya.
“Sama-sama,” senyumanku sepertinya menular ke wajahnya.
Ah, menular juga ke wajah NPC Fida rupanya. Ini juga adalah kali pertama gadis itu menaruh senyum padaku. Aku menatapnya. Menatapnya begitu lama. Sesuatu berkelebat dalam pikiranku. Apakah dinding perbatasan keangkuhannya untukku mulai runtuh? Ia pun mengubah ronanya. Seperti menyadari sesuatu yang terlupakan.
“Sebaiknya, kalian cepat memakai jubah hitam ini,” suara Gradika, anak suku Pukupululu itu mengalihkan pandanganku.
Anak itu benar. Tablet yang terjatuh kutaruh kembali di balik rompiku. Segera kukenakan jubah hitam khas Pukupululu. Begitu juga dengan NPC Fida. Jubah hitam ini tampak seperti kain biasa pada umumnya. Meski begitu jubah ini cukup lebar. Panjangnya hingga menyentuh tanah, sehingga mampu menyembunyikan pakaian kami. Keistimewaannya terletak pada penutup kepalanya yang menutupi wajah sampai batas hidung. Terkesan mata yang tertutup saat berjalan itu tidak akan mampu melihat, tetapi suku Pukupululu dapat melihatnya dengan jelas.
“Terdapat kain yang terbuat dari lembaran kayu Meksia di bagian tudungnya. Kayu Meksia adalah kayu yang bersifat seperti kulit bunglon,” terang Gradika. Aku dan NPC Fida meraba-raba bagian penutup kepala itu, “Dari luar ia terlihat sewarna dengan jubahnya. Tetapi dari dalam ia tembus pandang. Kami memakai jubah tuk menutupi wajah kami.”
“Kenapa ditutupi? Apa kalian tidak bersyukur dengan bentuk-bentuk wajah kalian?”
“Bukan. Kami bangga dengan wajah-wajah kami. Hanya saja jubah ini sudah menjadi pakaian adat kami sehari-hari. Wajah kami seperti ini pun sesuai dengan sifat-sifat kami. Mata kami yang kecil, artinya mata kami terjaga dari melihat sesuatu yang dilarang oleh Tuhan kami, pemimpin tertinggi suku Pukupululu yang sebenarnya. Mulut kami yang kecil ini, artinya mulut kami terjaga dari dusta dan membicarakan orang lain. Telinga kami kecil, artinya kami enggan mencuri dengar yang tidak sepantasnya kami dengar. Oleh karenanya hanya hidung kami yang berukuran normal.”
“Subhanallah. Untuk bernapas, ya?”
“Heh, kau pikir untuk apa lagi?! Mencium aroma kebodohanmu?” NPC Fida mengejek diriku lagi. Aku lama tidak mendengar suaranya yang judes itu. Padahal baru saja ia tersenyum. Kupikir-pikir lagi, kenapa dia mau ikut aku ke sini kalau dia saja selalu kesal dengan diriku, ya? Ah, sudahlah. Terserah dunia game ini saja mau bagaimana jalan ceritanya.
Tak lupa, kami pun menanggalkan sepatu kami. Sebab di Pukupululu ini tidak ada yang menggunakan alas kaki. Gradika dengan sigap menyembunyikannya di dalam rumahnya. Aku pikir, aku tak perlu melepas jam tanganku juga. Aku bisa menyembunyikannya dengan baik di balik jubah hebat ini.