The World Is a Game

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #9

BAB 8

Alhamdulillah. Sebagai imam salat, aku tak melakukan kesalahan lagi. Salat isya akhirnya sudah selesai kami laksakan di titik kedua akar Trellarn Tree itu berada. Yakni di sebuah sungai Pukupululu Murni. Tanah yang kami pijak pun langsung bersinar. Sinarnya membentuk sebuah lingkaran yang sama seperti biasanya. Tanda bahwa akar kedua Trellarn Tree sudah aktif. Sisa tiga lagi yang harus kuaktifkan.

Aku pun beranjak. Mendekati rayuan kesegaran sungai. Kulongok kepalaku pada air sungai itu. 

Sheiraz Lv.1

NP = 50

WP = 360

Sungguh tak menyangka, NP-ku naik dari 10 menjadi 50. Sebenarnya penambahan nilai ini dilihat berdasarkan apa? Sayang, tabletku tak bisa kugunakan di sini.

Aku membentang jari-jariku. Kulipat mereka satu-satu seraya menyebutkan, “Apa mungkin 10 untuk... menerima misi, 10 untuk... salat magrib, 10 untuk... salat isya ronde satu dan 10 untuk salat isya ronde dua karena aku bersabar gara-gara kentut?” Kulihat jariku telah terlipat empat, menyisakan jari kelingking yang berdiri sendirian, “Tapi satu lagi apa, ya?” 

“10 untuk kau yang tersenyum padaku,” Gradika menambahkan, “Mungkin.”

Aku langsung berlari menujunya meninggalkan sungai itu. “Hei, kau benar... Bisa jadi itu! Tapi itu kan hanya sebuah senyuman biasa? Bahkan aku selalu tersenyum pada siapa pun.”

“Allah, Tuhan kami mengajarkan bahwa senyum itu adalah sebuah pemberian dari hati, sebuah sedekah. Mungkin itu penilaian khusus karena kau tidak marah pada kesalahanku. Bukankah waktu itu adalah kejadian yang amat genting buatmu? Kau berpikir bahwa kau akan benar-benar mati karenaku bukan?” senyumnya.

“Kau benar, Gradika,” kataku, membalas senyumannya.

Karena malam sudah larut, kami pun pulang ke rumah Gradika tuk bermalam di sana. Udara malam lama makin terasa dingin. Aku sampai tak mau melepas jubah hitamku ini. Kuistirahatkan tubuhku di sebuah tikar anyaman bambu yang menjadi tempat tidurku. Mungkin juga hal yang sama dilakukan pula oleh NPC Fida di kamar yang lain. Tempat tidur beralaskan tikar ini lumayan empuk dan nyaman. Kata Gradika, ada campuran kapas dan kapuk di dalamnya.

Seharusnya Gradika memperkenalkan kami pada orang tuanya, namun malam ini orang tuanya tidak jadi pulang. Biasanya karena orang tuanya bekerja lembur di ladang. Gradika bilang, ini sudah memasuki musim panen. Kadang-kadang orang tuanya lebih memilih tidur di lumbung padi yang masih kosong.

Aku berbaring ke kanan, memeluk diriku sendiri. Sambil mengkhayal memeluk Ellena. PLAK! Ya, ini adalah malam pertamaku di dunia game. Lain kali akan kucoba bermalam di kota Gelita yang canggih itu. Ah... Indahnya sinar bulan mengintip ke jendela kamarku. Beragam suara alam dari para binatang malam pun meninabobokan diriku.

****

“Oh, cepatlah, Shei...”

“Iyaaa... Iya, Fidaaa...,” jawabku, lesu. Aku berjalan terhuyung-huyung, badanku sedikit membungkuk ke depan. Gradika seperti biasa memberiku arahan jalan ke kanan lalu jalan ke kiri. Kami masih tetap berjalan secara babari.

“Itu bukan kiri, Sheeeiiiiii..."

“Oh iya, baaaiiikk...” kuputar haluan tubuhku ke arah sebaliknya, masih dengan terhuyung-huyung, “Thanks, Fidaaa... Ini semua... karena anak suku ituuu... Dia membangunkan aku terlalu pagi.... Padahal langit saja masih gelap. Hooaamm....” keluhku sambil menutup mulutku karena menguap.

“Kita sudah sampai,” ucap Gradika, akhirnya.

Sebuah rumah panggung dari anyaman bambu pun berjejer di hadapan kami. Hanya saja ukurannya jauh lebih kecil dari rumah panggung Gradika.

“Ini lumbung padi, tempat menaruh hasil panen kami. Sengaja berada di tempat yang terpisah dari rumah penduduk supaya aman dari kebakaran rumah atau bencana tak terduga lainnya. Ini adalah bahan makanan pokok kami yang harus tetap terlindungi,” jelas Gradika lagi seraya menaruh sajadah-sajadah kecil kami—yang ditenun olehnya sendiri—di lahan kosong. Tepat di depan lumbung-lumbung padi itu.

Aku duduk di posisi imam lalu menguap berkali-kali. Membuat mataku berair. Padahal aku sudah mengambil wudu. Terlebih, udara di sini sangatlah dingin. Dingin yang tidak membikin gigil. Aku paham maksud Gradika. Kita harus bangun pagi-pagi sekali untuk persiapan salat subuh berjemaah. Subuh adalah waktu yang sangat nikmat. Kata Gradika, lebih baik bangun di awal daripada terlambat. Atau kami harus mengulanginya lagi, yaitu salat di titik pertama akar Trellarn Tree itu berada. Tentu saja aku tidak mau. Jadi, aku memaksa diriku meski harus terkantuk-kantuk.

Azan subuh pun berkumandang di langit Pukupululu. Azannya sangat indah, padahal tanpa sebuah pengeras suara. Aku bersiap memimpin salat subuh sebanyak dua rakaat. Alhamdulillah, aku lancar mengerjakannya. Sekali lagi tanah tempat kami salat ini pun bersinar. Tanda akar ketiga Trellarn Tree pun sudah kuaktifkan.

“Saatmya kita pergi ke desa sebelah, desa suku Pukupululu Tak Murni,” ujar Gradika. Aku dan NPC Fida mengangguk.

Kami berjalan dan terus berjalan secara babari. Sebuah perkampungan yang rumah-rumah adat panggungnya saling berdekatan itu pun menyambut kami. Berkebalikan sekali dengan rumah-rumah adat dari perkampungan Pukupululu Murni yang jarak rumahnya dengan rumah tetangganya berjauh-jauhan. Orang-orang berjubah putih pun banyak yang hilir mudik di sini. Sebagian mereka mengotak-atik ponsel pintarnya. Ya, hanya suku ini sajalah yang diperbolehkan menggunakan alat-alat teknologi secara terbatas. Meski begitu, tidak semua penduduknya memiliki listrik. Sehingga malam di sini akan sama dengan malam di Pukupululu Murni. Namun itu artinya, di sini aku bisa bebas membuka tabletku.

Aku berhenti dan sedikit berlari ke Gradika yang ada di barisan ketiga di belakangku. “Hei, kenapa mereka tidak merasa aneh ada kita yang berjubah hitam di antara lautan jubah putih?” tanyaku sedikit membungkuk, aku berbisik di dekat telinga Gradika.

“Kami sudah biasa saling kunjung mengunjungi. Kami kan memang bersaudara. Hanya saja kami memiliki Dwaka kami masing-masing. Dan hanya Dwaka dari Pukupululu Murni kami sajalah pemegang kekuasaan adat tertinggi yang sebenarnya,” jawabnya. Lantas aku langsung berlari-lari kecil lagi, kembali ke posisiku semula. Game ini ribet sekali, jalan harus lurusan begini. Tapi tak apa. Setidaknya aku melakukan hal baik yang jarang aku lakukan, yaitu melestarikan adat budaya dari suku Baduy di Banten. Mereka juga berjalan tanpa alas kaki dan berjalan secara babari seperti ini. Oh, bukan babari namanya. Suku Baduy menyebutnya sebagai huyunan.

“Kau hafal juga ya letak akar keempat Trellarn Tree itu di desa ini, Gradika." Pujiku pada anak suku Pukupululu Murni itu setelah kami sampai pada tujuan kami.

“Semua orang, baik Pukupululu Murni dan Tak Murni sama-sama sudah tahu di mana letak cabang akar-akar Trellarn Tree itu berada. Hanya saja kami tidak mau mengaktifkan Trellarn Tree, bukan karena kami tidak ingin menyelamatkan dunia tapi karena kami memiliki kewajiban untuk patuh pada Dwaka-Dwaka kami. Sebagai bagian dari ajaran adat leluhur.”

“Oh, begitu,” aku mengangguk-angguk pelan.

Sebuah sungai lagi-lagi dihamparkan di depan mataku. Kali ini sungai yang alirannya sangat deras. Sungai ini memiliki kedalaman 10 meter dari tempat kami berpijak.

“Bagaimana kalau kita mandi dulu?” NPC Fida tiba-tiba memberikan usulan yang sangat bagus, “Sepertinya sangat nikmat jika bermain-main di sungai ini. Ayo kita turun.” Dia malah berjalan mendahului kami ke bawah. Segera, kami juga menyusul.

“Wanita ada di hulu sungai sebelah sana, kau bisa bertanya bagaimana cara mandi di sana oleh para wanita suku Pukupululu Tak Murni itu,” kata Gradika pada NPC Fida setelah kami sampai di sungai. NPC Fida segera menuju ke hulu sungai yang ada di balik pagar-pagar bambu itu. Sedangkan kami para lelaki mandi di bagian hilir sungai ini.

“Dulu saat tidak ada dinding perbatasan, orang-orang kota suka berkunjung tuk berwisata ke sini.”

“Wah, benarkah?” 

“Kami tetap meminta mereka untuk mematuhi peraturan adat. Sabun, sampo dan zat kimia lainnya sangat dilarang di sini.”

“Lo? Jadi aku harus memakai apa dong kalau mandi di sini?” tanyaku, bingung. Sambil melepas jam tangan lalu menekan tombol berangka satu pada rompi dan celanaku. Secara otomatis mereka langsung terlepas semua dari tubuhku. Menyisakan celana pendek yang panjangnya di atas lututku ini. Pakaian adat Dayak Kalimantan Timur itu pun mengambang di udara, tersembunyi di balik pohon. Sengaja kutaruh di sana. Takutnya ada yang mengenaliku jika melihat pakaianku itu.

Usai melepaskan pakaiannya, Gradika menjawab pertanyaanku, “Kita akan mandi dengan ini,” katanya sambil menunjuk sebuah tumbuhan yang tumbuh di antara bebatuan yang menjadi dinding sungai, “Kami biasa menumbuk daun dari tanaman Samsab ini. Nantinya mereka akan mengeluarkan zat yang dapat menghilangkan bau dan kotoran di badan.” 

“Wuaaahh, hebat sekali. Kalian benar-benar dapat hidup hanya dengan bersahabat dengan alam, ya!"

“Ini,” Gradika pun memberikan hasil tumbukannya padaku. Kami pun menggosok-gosokkan badan kami dengannya. Benar-benar tanpa mengeluarkan busa sama sekali. Bahkan tumbukan daun Samsab ini mengeluarkan wangi yang sangat khas, wangi yang sungguh sulit untuk dijabarkan. Pukupululu sangat pintar dalam memanfaatkan apa yang alam sediakan. Tak heran air sungai di sini bening-bening, sebab selalu terjaga, tidak pernah terkontaminasi oleh zat kimia.

“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami tanaman Samsab ini.” Entah mengapa hatiku bergetar tatkala mendengar Gradika memuji Tuhannya dengan takzim. Atas sesuatu hal yang kecil saja ia sampai-sampai memuji Tuhannya begitu. Betapa Gradika sangat mensyukurinya. Alam telah memberikan kebutuhan yang sangat banyak untuk kehidupannya. Tanpa kusadari, di balik kehebatan alam ini ada Allah, Tuhan yang menciptakan alam itu sendiri. Ya, di bawah guyuran air terjun kecil itu, Gradika memuji Allah-nya sekali lagi. Sebuah pemandangan yang amat menyentuh hatiku.

****

Lihat selengkapnya