The World Is a Game

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #10

BAB 9

“Apa?!” Tidak mungkin aku akan kalah begitu saja. Aku tidak mau game over.

 Detik-detik terus berlalu, tak ada waktu lagi tuk bicara. Dwaka dan Prajurit Khususnya sudah terlihat kembali di ujung mata. Lari mereka cepat. Mungkin tadi Dwaka sempat berhenti untuk merapalkan mantra. Mengubah dinding perbatasan yang awalnya transparan itu menjadi dinding batu yang sesungguhnya. Anak-anak panah merah dilesatkan lagi ke arah kami. Langsung kugendong si kecil Grad ke atas bahuku lagi. Sembari menggenggam Trellarn Tree di tangan kiriku, aku menahan tubuh Grad. Lalu tanganku yang satu lagi refleks menggenggam tangan NPC Fida. Mengajaknya berlari. Baru kali ini aku menyentuh tangan seorang gadis yang bukan pacarku. Sepenuh kepalan tanganku. Tak kusangka tangannya begitu kecil. Dan... begitu lembut...

—TRIRI-RIRIRING—

Di saat-saat genting seperti ini, bisa-bisanya bilah status di atas kepalaku berbunyi. Bunyinya bernada rendah pula. Tanda bahwa ada nilai NP-ku yang turun. Padahal tadi baru saja ia berbunyi. Sebenarnya apa kesalahanku hingga NP-ku berkurang dua kali begini?

Ah... peduli setan dengan nasib status NP-ku! Lari saja dan terus berlari. Diiringi ratusan anak-anak panah merah Prajurit Khusus Dwaka yang selalu memeleset menghujani kami. Cahaya ungu kegelapan dari hutan terlarang Buwlang Jaliot ini pun akan segera berakhir. Cahaya terang hijau nan asri sudah kulihat ada di hadapan mata. Dari atas pundakku, Grad dengan senang hati memberitahukan aku jalan keluar seperti apa saja yang harus kulalui. Katanya, aku cukup menelusuri dinding perbatasan yang kian membatu di sisi samping Buwlang Jaliot. Seakan-akan aku tengah balapan lari melawan cepatnya batu-batu yang merambati dinding perbatasan itu. Untunglah NPC Fida mampu menyeimbangi kecepatanku saat berlari. Kaki-kakinya yang panjang mungkin telah membantu di setiap langkahnya yang lebar.

“Jangan lari kau, pencuriiii...!” Suara yang amat berat itu pun terdengar dari arah belakang. 

“Apakah itu Dwaka, Grad?” bisikku pada Gradika.

“Benar,” jawabnya, lalu terdengarlah teriakan NPC Fida. “Dia hampir saja meraih jubah hitam Fida! Lebih cepat lagi larinya, Tuan Sheiraz!!”

“Bisa-bisanya kau memasuki wilayahku tanpa masalaaahh...! Siapa sebenarnya kaauu...?!” Suara Dwaka pun menggema di dalam hutan ini.

“Cepatlah, Tuan Sheiraz! Sebentar lagi kita akan memasuki Buwlang Jalibru, hutan perkampungan!”

Lari, lari dan terus berlari. Napasku sudah menyengal. Kalau ini game Zegerndia, HP alias Health Point-ku pasti sudah berkurang 70 persen! Anak-anak panah merah Prajurit Khusus Dwaka kembali menghujani kami bertubi-tubi.

Sebentar lagi! Sebentar lagi hutan ungu kegelapan ini akan berakhir! 

Dan kami pun berhasil memasuki hutan perkampungan yang lebih tampak asri. Aku langsung belok ke kanan, mengikuti jalan setapak sesuai arahan Grad. Dinding perbatasan yang semula ada di sisi samping kananku kini berpindah di depanku. Dwaka dan Prajurit Khususnya terus mengikuti kami. 

“Nanti, kau akan menemui pintu keluar Pukupululu.”

“Seperti apa itu? Apa sama seperti saat aku masuk?”

“Ya. Jembatan Akar itulah pintu keluarnya.”

Kudongakkan kepalaku ke atas. Dinding perbatasan yang sangat tinggi menyentuh langit itu terus berusaha membatu. Batu-batu itu berjalan menjalar dari arah kanan dan juga arah kirinya. Kami harus sampai ke Jembatan Abar sebelum perambatan batu-batu di kedua dinding itu bertemu.

“Sudah, turunkan aku di sini, Tuan Sheiraz!” Pinta anak suku itu.

“Tidak akan kuturunkan! Kau tetap harus bersamaku!” Rasa apa ini? Bisa-bisanya aku peduli pada karakrer game.

“Ini sudah sangat jauh dari jalan cerita! Ceritanya tidak begini. Kau tidak bisa mengatur NPC sepertiku, Tuan.”

“Memang! Tapi aku bisa menggotongmu ke manapun!”

“Tuan Sheiraz... Kumohon... Biarkan aku turun menghalangi Dwaka.”

“Kau telah berkhianat pada Dwaka karena membantuku. Kau akan dihukum mati, Grad! Aku tidak mau hal itu terjadi.”

“Tapi aku ingin membantumu lagi!!! Biarkan aku turun!!! Aku ingin turuuunn....!!” Anak kecil, memang tetaplah anak kecil. Dia meronta-ronta dalam gendonganku.

“Sudah, lepaskan saja Shei! Kau tidak bisa memaksanya!” Saran NPC Fida makin melemahkan perasaanku.

Grad terus meronta tiada henti. Keseimbanganku pun mulai goyah. Aku hanya perlu bersabar sedikit lagi. Senja pun mengabut Pukupululu. Jembatan Akar telah menunggu kami di punca mata. Sedangkan dinding perbatasan kian lama kian menutup. Tanganku melemas. Aku tak bisa meremehkan kekuatan anak suku Pukupululu ini. Satu sisi, aku pertahankan Grad yang terus meminta turun. Sedangkan dinding perbatasan hampir menyatu. Menyisakan celah selebar Jembatan Akar.

Sedikit lagi. Sedikit lagi aku akan sampai! Bertahanlah, Sheiraaazz....!

Kulepas tangan NPC Fida. Lalu kudorong gadis itu agar ia dapat melewati celah dinding perbatasan ini terlebih dahulu. Ia mengakhiri pelariannya dengan terjatuh. Jembatan Akar pun bergoyang dan berdecit. Lalu disusul diriku dengan melompat tatkala aku melewatinya. Pada saat yang bersamaan, si kecil Grad malah berhasil terlepas dari gendonganku. Ia berlari dengan imutnya ke dalam.

Aku ingin bangkit saat itu namun aku tak kuasa. Lelah begitu memberatkan tubuhku. Aku hanya bisa menggapai-gapai Grad melalui udara kosong dengan tanganku. Lebar celah dinding perbatasan kini hanya 50 cm saja. Batu-batu itu terus bergerak tuk menutup. Di sisa-sisa celah dinding yang sempit itu, Grad berdiri melambaikan tangannya padaku. Hatiku makin pedih melihatnya. Ia pun tersenyum tatkala sebuah anak panah merah menembus tepat di dadanya. Tubuhnya bergetar menerima serangan tak terduga itu. NPC Fida menjerit. Hatiku runtuh. Sebelum dinding perbatasan benar-benar sempurna menutup, celah selebar 30 cm itu menampilkan tubuh Grad untuk yang terakhir kalinya. Celah sudah selebar 10 cm, Grad pun tumbang. Membawa senyuman terimutnya.

“Grrrraaaaaddd...!!!!” Tangisku pecah, sayangnya teriakanku tak mampu memecahkan dinding batu itu. Dinding perbatasan sempurna sudah menutupi desa Pukupululu. Ya... tertutup rapat tuk selamanya. “Graaadd... hiks, Graaadd...,” aku terisak. Untuk pertama kalinya aku menangisi sebuah hubungan bernama pertemanan. Dalam sepanjang hidupku, tak pernah kutemui seorang teman yang mau berkorban untukku seperti Grad.

NPC Fida mendekatiku, ia hanya bisa terpaku melihatku yang menangisi keadaan. Trellarn Tree masih mengedipkan cahayanya dalam genggamanku. Trellarn Tree seolah tengah menyemangatiku. Kini... aku kembali pada hutan kering yang menyisakan ranting. Udara yang panas nan kotor mulai menyumbati paru-paruku. Sinar matahari pun meredup, pemiliknya telah bersembunyi. Sadar dirinya akan digantikan oleh bulan nanti. Waktu magrib pun telah datang. Hanya Trellarn Tree yang menjadi penerang kami.

Dari posisi menelungkup, aku mengubahnya menjadi duduk bersila. Jembatan Akar masih berisik tatkala aku mengubah posisiku itu. Tatapanku kosong ke bawah. Memandangi kedua telapak kakiku yang menghitam karena debu.

“Ah, sepatu kita tertinggal di dalam,” lirihku. NPC Fida masih terdiam. Apa dia marah karena aku mendorongnya tadi? “Aku baru menyadari, kedua tapak kakiku ini auto kapalan ya? Pantas, aku bisa berjalan dan berlari menginjak tanah yang tak rata tanpa sakit,” kataku lagi, mengalihkan rasa pahit dari kehilangan sosok Grad. Sambil mengusap tetesan-tetesan kepedihan yang menjatuhi pipiku, persis seperti anak kecil yang selesai menangis.

“Heh! Ke mana saja kau? Kau selalu terlambat berpikir rupanya. Secara logika, dari awal aku pasti sudah kesakitan berlari-larian tanpa sepatuku di hutan!”

Kudongakkan kepalaku ke atas. Ke wajah NPC Fida yang berdebu akibat kejadian di hutan barusan. Kutarik bibir-bibirku ini ke samping. Memahat senyum sedalam-dalamnya hatiku. Sepenuh rasaku. Aku tak percaya. Aku tak lagi merasa kesal dengan setiap kata pedas yang meluncur dari NPC ini. Mataku tersenyum. Hatiku tersenyum. Hanya pipiku yang menjerit. Satu tetes meteor air menjatuhinya sekali lagi. Namun NPC Fida melempar matanya ke arah lain.

—TRIRING—

Bunyi khas tablet itu. Lantas, kuambil tablet dari rompiku. Melihat pemberitahuan apa lagi kali ini.

◇◇◇

◇◇

Lihat selengkapnya