The World Is a Game

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #15

BAB 14

“Kau sudah hafal Alquran juz 30 dan juz 29 selama satu bulan di sini, bukan?” Raja itu tersenyum kepadaku. “Nah, tunjukkan itu sekarang.” Ia menepuk pundakku, lalu kembali duduk pada safnya.

Benar. Sudah sebulan aku di sini. Satu bulan belajar bersama imam Masjid Kerajaan. Aku jadi ingat, NP-ku bertambah pesat setiap kali aku membaca dan menghafalkan Alquran. Ada sensasi luar biasa tatkala melihat NP-ku bertambah berkali-kali lipat. Seru sekali. Kata Putri Lila, satu huruf Alquran saja yang kubaca bisa menambah NP-ku sebanyak 10. Bismillah misalnya, yang terdiri dari huruf ba, sin, mim, lam, lam dan ha. Jika aku membaca Bismillah, maka aku akan menambahkan 50 poin ke dalam NP-ku. Sebuah peningkatan yang luar biasa dahsyatnya!

Dengan susah payah aku menghafal seluruh surat Alquran pada juz 30 dan juz 29. Anehnya aku mampu menghafalkannya dengan sangat cepat. Satu bulan itu aku sangat fokus dalam menaikkan NP. Aku tidak mau mati di tangan Glumglozer gara-gara NP-ku yang rendah. Yang kematianku saja di sini masih belum jelas, apakah sama artinya dengan mati sungguhan atau tidak. Dunia game ini cukup gila. Aku tentunya tidak ingin ambil risiko. Menghafalnya, terpaksa harus aku lakukan.

“Silakan dimulai, Sheiraz,” perintah sang Raja dengan nada suaranya yang penuh wibawa seperti biasanya. Aku mengangguk pelan. Ini adalah kali pertama bagiku menjadi imam salat dengan para jemaah yang berjumlah ratusan. Jemaah dari golongan jin pula.

Akhirnya setelah memejamkan mata dan mengatur irama napasku, aku memilih membaca surat Almulk setelah Alfatihah nanti di rakaat pertamaku. Almulk ini memiliki arti kerajaan.

“Tabaarokalladzii biyadihil mulk, wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir,” yang memiliki arti 'Maha Suci Allah Yang di Tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu'.

Kulanjutkan kalimat berikutnya, “Alladzii kholaqol mauta walhayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa,” Yang artinya, 'Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun'.

Terdengarlah sang Raja hanyut dalam isakan tangisnya yang lembut. Mungkin dia merasa, meski dia seorang raja namun ada raja yang lebih hebat lagi di atasnya. Dialah Allah, Raja di atas segala raja. Setitik air mata pun membasahi pipiku. Sedangkan aku masih meneruskan bacaanku. Di tengah-tengah itu NP-ku berbunyi dengan suaranya yang sangatlah pelan, seolah mengerti tak ingin mengusik kekhusyukanku ini. Ya, NP-ku bertambah bertubi-tubi.

Sekilas terbayanglah Mamaku dalam memori hatiku. Mama, yang selalu bersabar setiap kali kubantah dengan bentakan kerasku. Mama, yang tidak pernah balas membentakku atau memukuliku. Mama, yang selalu tersenyum dan memelukku meski aku tak pernah menyenangkan hatinya.

Ma... Sheiraz... Sheiraz sudah bisa salat di sini, Ma. Sheiraz... Sheiraz tak percaya bisa menghafal 2 juz Alquran di dunia game ini. Mama, lagi apa Mama di dunia nyata? Apakah Mama mencariku? Maafkan Sheiraz, Ma. Sheiraz menghilang tanpa pamit ke Mama...

Oh... Bagaimana keadaan Mamaku di sana tanpaku? Akankah ia menangis semalam-malaman karena aku?

Pecahlah tangisku. Tak kuat lagi rasanya membaca ayat demi ayat suci ini. Aku terhenti dalam isakanku sendiri. Aku tertelan ke dalam ruang rindu di sudut terkecil hatiku. Beberapa jemaah di belakangku pun ikut terisak. Entah karena bacaanku atau memang mereka memahami arti dari surat yang kubaca ini.

Rakaat dua, rakaat terakhir dari salat sunah tahajud. Akhirnya, aku mampu. Mampu menjadi imam salat dengan bacaan yang baik serta dengan hafalan yang bagus. Setingkat lebih khusyuk daripada saat aku di Pukupululu itu. Sang Raja pun menghampiriku. Aku spontan berdiri. Ditatapnyalah aku, kulihat kedua matanya berbinar-binar. Lantas, dia langsung memelukku. Menepuk-nepuk punggung belakangku.

“Selamat, Sheiraz. Kau berhasil. Tidak ada yang dapat membuatku penuh haru di hari ini, Nak.”

Tiba-tiba aku merasa mendapatkan pelukan dari seorang ayah atas keberhasilanku. Ah, Papa... tadi Mama. Sekarang Papa. Betapa aku sangat rindu dengan Papa. Aku saaaangat merindukanmu, Pa. Kubalas pelukannya. Selebar tanganku. Sepenuh hatiku.

“Ingatlah, kau jangan menurunkan NP-mu lagi. Jauhkan hal-hal yang terlarang. Kau adalah pahlawan di dunia ini.”

“Baik, Yang Mulia,” jawabku, tersenyum lebar. Penuh kepuasan. Sebuah kepuasan yang bahkan tak pernah kurasakan saat aku bermain gim favoritku—Zegerndia—itu.

Langit yang gelap menari bersama bulan ke arah kehampaan. Tergantikan dengan matahari yang berjinjit tuk mengintip Kerajaan Jincininbe yang kilauan cahayanya seolah-olah menandingi sinarnya. Ini adalah di sebuah pagi yang lain, pagi yang awannya masih berwarna-warni itu. Pagi yang santai dan tenang. Peraturan Kerajaan yang menyuruhku untuk tidak bertemu dan menatap wanita, membuat Kerajaan ini tak memiliki ponsel pintar yang dapat melakukan video call. Selain sebagai salah satu syarat tinggal di Kerajaan, juga sebagai salah satu sebab NP-ku naik dengan drastisnya.

“Bagaimana menurutmu?” tanyaku di kamarku, pada seseorang di seberang sana.

“Apanya?” tanyanya, aku semakin erat menggenggam alat komunikasi sejenis telepon yang menyerupai ulat daun menggeliat ini.

“Tentang tinggal di sini. Aku sudah lama tidak melihatmu. Apa kau semakin gendut? Makanan di sini enak-enak, kau tahu?”

“Ha-ha! Baru seminggu yang lalu kita bertemu dalam pelatihan berkudamu. Untunglah kau sudah pernah berkuda sebelumnya sehingga latihan itu seperti main-main saja bagimu. Sore ini kita pun akan bertemu lagi dalam pelatihan pedang pertamamu nanti, Sheiraz.”

“Aku sudah tidak sabar untuk bertualang lagi.”

“Perkuat NP-mu dulu, bodoh.”

“Ha-ha... Ya, kau benar. Oh ya, kau tahu? Kau sangat mirip dengan Fida di dunia nyataku.” Suara di sana tiba-tiba berubah sunyi senyap, gelak tawa wanita itu terhenti. Mungkin ia sedang menunggu ceritaku? Aku pun melanjutkannya kembali, “Fida di sana... sangat ceria. Jauh berbeda dengan sifatmu, dia mengutarakan perasaannya kepadaku namun... aku menolaknya dengan jahat.”

“Mengapa kau menolaknya?” akhirnya muncul juga suaranya, namun kali ini pelan sekali.

“Aku sangat mencintai Ellena.”

“Apa... apa Ellena itu juga menyukaimu?”

“Tidak. Dia sudah menolakku mentah-mentah.”

“Kalau dialah takdirmu maka dia akan kembali denganmu. Bagaimanapun caranya itu.”

“Ya, kau benar. Tapi... aku sempat menyerah karena Ellena tidak akan pernah pacaran dan menikah seumur hidupnya. Jadi... aku sedikit menyukai orang lain. Awalnya, hehe... Sayangnya dia bukan manusia. Dia bahkan tidak nyata. Dan seseorang yang sangat mirip dengan Ellena malah muncul di depan mataku. Otomatis tentang dirinya langsung memenuhi hatiku kembali, lalu aku merasa optimis untuk....”

—TUT TUT TUT—

“Dia... memutuskan teleponku?” kupandang gagang telepon yang menggeliat itu. Lalu aku menaruhnya kembali pada tempatnya dengan mimik wajah sedikit geli. Telepon terputus itu membuatku jadi banyak memikirkan ini dan itu mengenai NPC Fida.

Sore telah jatuh di Jincininbe, ini sudah saatnya aku mulai berlatih memakai pedang. Putri Lila dan kedua penguasa kerajaan duduk pada sebuah kursi agung di seberang lapangan langit ini. Disertai para prajurit kerajaan berseragam di kanan-kirinya dan di depan-belakangnya dengan jarak jauh-jauh. Adapun NPC Fida serta perwakilan dari beberapa pelayan wanita duduk di sebelah mereka. Sedangkan pelayan pria berdiri di sekeliling mereka yang paling luar. Mereka semua hadir, karena ingin melihat bagaimana perkembanganku saat latihan.

Bila biasanya lapangan itu ada di daratan, maka tidak demikian di Kerajaan Jincininbe. Lapangan ini mengambang tanpa ada sesuatu yang menahannya di langit. Permukaan lapangan ini dari tanah yang transparan. Aku bisa melihat istana Kerajaan Jincininbe dengan jelas dari sini. Hal ini membikin hatiku takut ketika berdiri di atasnya. Rasanya seperti menginjak-injak langit. Aku dan lainnya ke sini pun dengan kekuatan terbang dari para anggota kerajaan. Namun ajaibnya, sekawanan awan warna-warni seakan-akan menjadi pemandu sorak yang menyemangatiku. Rasanya lebih bergairah sebab aku akan mendapatkan weapon yang paling kutunggu-tunggu dari dulu. Imam Masjid Kerajaan di mana nama Fatha menduduki kepalanya itu memberikan aku sebuah pedang kayu.

Kupandangi pedang itu bolak-balik, rasa kecewa serta merta menggerogoti diriku. “Aku tak ingin pedang bohongan,” aku merengut, “Berikan saja aku pedang yang sesungguhnya.”

Fatha, Imam Masjid Kerajaan yang memiliki kulit berwarna jingga itu mengganjur napasnya, “Pedang kayu itu juga tajam dan memiliki berat yang sama dengan pedang aslinya. Aku akan melatihmu bagaimana cara mengayunkannya lebih dulu.”

“Ya... Baiklah...”

Lihat selengkapnya