—TRIRING—
Duh, tablet itu berbunyi.
“Hmm… Maaf, Yang Mulia, bolehkah saya buka tablet saya di sini?”
“Oh, silakan, Sheiraz.”
Kuambil tablet itu dari rompiku. Karena sudah mau pergi dari Kerajaan Jincininbe, aku memakai pakaian khas Kalimantan Timur-ku kembali. Tablet canggih yang tidak pernah low bat itu pun menawarkan sesuatu. Tapi sebelumnya...
◇◇◇
◇◇
Selamet ye, Sheiraz Udeh lepel 6
Yeeee….! \(^o^)/
Pegimane? Enak mainin game eni kan?
◇◇
◇◇◇
Enak gundulmu! Aku harus mengartikan persyaratan dan ketentuan game ini sendirian! Game kok aneh banget. Di mana-mana yang namanya game itu diberitahukan dulu di awal-awal. Bagaimana sistem kerjanya, bagaimana persyaratannya, dan lain-lain. Lah, ini? Stres, pusing sendiri aku menghitung dan memperkirakannya. Kalau aku tidak tahu kan bisa gawat, NP dan WP-ku habis begitu saja kan tidak lucu! Pro gamer gitu lo! Aku pro gamer...!
“Ngeseliiiinnnn banget emang ini game!! Uugghh...!" Teriakku, menahan marah seraya menggigit ujung rompiku.
“Ehem.”
Aku mendongak ke arah sumber suara deham itu, “Bang Raja. Maksudku... Yang Mulia Raja. Maaf, maaf," aku salah ucap, aku meminta maaf sambil menundukkan kepalaku berkali-kali. Aku benar-benar lupa. Tindakanku tadi sungguh tidak sopan. Duh, malu banget. Putri Lila juga melihatku uring-uringan begini. Meski dia karakter mati, tapi rasanya seperti tertangkap basah sama gebetan sendiri. Hiks.
Kubaca tablet itu lagi...
◇◇◇
◇◇
Ente udeh ade di pertengahan cerite, dikit lagi ente kelar mainin game-nye. Sabar ye, ini ujian. Karena ente udeh paham ama cara mainnye. Makin naik lepel ente, kalo ente ngelakuin kesalahan maka bukan cuman dikurangin 5 poin NP. Tapi bakalan dikurangin 1000 poin. Inget itu bae-bae.
Woke deh, kite lanjut ke misi selanjutnye.
Pegi ke Makkah ape Madinah maunye?
Pencet :
Makkah || Madinah
◇◇
◇◇◇
"Maaf Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu Jincininbe. Sepertinya saya dan teman saya, Fida, tidak akan pulang pakai kapal Robot Nakhoda. Kami akan pergi dengan tablet ini. Semoga kami diberi izin."
"Lo? Lantas kapal Robot Nakhoda itu mau diapakan di sini?"
"Karena itu milik Papa Game saya, ditakutkan beliau akan mencarinya. Maka dari itu saya izin menumpangkannya di sini dulu boleh ya, Yang Mulia?"
"Hmm..." Raja itu terdiam mempertimbangkan permintaanku, "Baiklah, tak masalah."
"Anda baik sekali, Yang Mulia. Terima kasih," kataku, memujinya.
Aku langsung mendekati NPC Fida, kusuruh ia memegang tablet itu. Sehingga aku dan dirinya tak perlu lagi saling bersentuhan atau saling berdekat-dekatan. Sekali lagi, aku tak ingin ambil risiko. Kupilih untuk pergi ke Makkah. Karena aku ingin jika pulang ke rumah nanti ada yang bisa kuceritakan ke Mama tentang Makkah dan Kakbah. Bangunan suci yang paling diidam-idamkan Mamaku.
Kutekan tombol "Makkah" yang tertera di layar tablet. Dalam sekejap—cara sebagaimana biasanya—kami pun sudah ada di kota Makkah. Tepatnya di depan sebuah bangunan kotak berwarna hitam yang tak pernah berubah dari zaman ke zaman, Kakbah. Aku memandangi bangunan yang paling Mama rindukan ini.
Ma, Sheiraz ada di depan Kakbah, Ma. Mama kan ingin banget ke sini. Kapan ya, Ma, Sheiraz bisa ajak Mama ke sini...
Sebingkai senyum pun terpahat di wajahku yang telah dibanjiri oleh air mata kerinduan.
"Itu diaaaa...!!!"
Sebuah suara asing tiba-tiba meledak di telingaku, memecahkan rasaku ini. Aku tahu, asalnya bukanlah dari NPC Fida. Itu adalah suara dari jenis manusia bernama bapak-bapak. Kubalikkan badanku, membelakangi Kakbah yang baru saja kupandangi dengan khidmat tadi. Sekonyong-konyong lautan manusia berdiri mengelilingiku. Kupandangi mereka dari kiri ke kanan. Ratusan mungkin saja adalah jumlah mereka saat ini. Wajah-wajah khas orang Arab, semuanya tengah memandangku. Membuatku jadi mengerti bagaimana rasanya seorang Putri Indonesia yang berdiri di atas panggung pada televisi yang kutonton. Ya, seluruh mata, tertuju padaku. Uniknya di dunia game ini, aku mampu memahami bahasa mereka. Sebuah bahasa dari kota Makkah. Aku tercengang. Namun sekaligus takjub.
Tidak. Mereka berkerumun di depan mataku, tidak sedang beribadah haji ataupun umrah. Mereka juga tidak memakai pakaian ihram yang serba putih-putih. Mereka... mereka justru membawa pedang di tangan-tangan mereka. Bulu kudukku langsung berdiri karenanya. Kuusap air mata di wajahku yang sempat mengalir karena teringat Mamaku tadi, sambil menelan ludah kuat-kuat. Bagaikan menelan bongkahan batu besar yang tersendat di kerongkongan. Aku tak ingin ketahuan menangis. Aku tak ingin mereka mengira, aku ini menangis karena takut pada penampilan mereka yang memang sangat membuat orang lain yang melihatnya akan salah paham itu.
Pedang-pedang mereka yang tajam lalu disertai wajah-wajah asing yang sedang memasang salah satu emosi bernama serius, membuatku benar-benar tak tahu harus apa. Macam-macam pikiran beradu dalam diriku. Akankah mereka mau membunuhku? Ataukah jangan-jangan mereka semua adalah para pengikut Glumglozer yang sudah menguasai kota Makkah? Tidak, ini tidak mungkin.