The World Is a Game

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #17

BAB 16

"Tidak mungkin. Itu Papa? Papa...." Ya Allah, bagaimana mungkin Engkau hidupkan Papaku kembali?

Bagaimana mungkin wajah yang disebut-sebut sebagai Sang Penyelamat di dunia game ini sangat mirip dengan Papa? Mata bulatnya, hidung mancungnya, rambutnya yang ikal. Meski aku tak pernah melihat rambut Papa sepanjang rambut Sang Penyelamat itu tapi, aku tahu rambut Papa itu ikal.

Oh, kau... sangat mirip dengan Papaku.

Matahari rindu muncul di hatiku. Cahaya rindunya menerangi seluruh bilik di hati ini. Rindu, yang teramat menyilaukan. Rindu, yang begitu menyesakkan. Papa... Papaaa... Ia berjalan. Menghampiriku dengan gaya berjalannya yang juga menyerupai gaya berjalannya Papa. Menghampiri jemaah yang adalah pasukanku. Lamat-lamat, teriakan tentang dirinya sebagai Sang Penyelamat pun menguasai bangunan Menara Putih sebelah timur kota Damaskus ini. Sangat... syahdu. Namun, kian bergemuruh.

Wajahnya pun sehadap dengan wajahku. Matanya menerobos pintu mataku. Senyumannya seolah tak akan pudar, bak senyuman manis Papaku yang diabadikan dalam sebingkai foto di rumah. Sangat mirip. Tanganku bergetar. Hatiku tergegar. Tubuhku gemetar. Sebening kasih dari seorang anak kepada ayahnya pun menjejaki pipiku hingga terasa hangat.

"Asalamualaikum," sapanya padaku, begitu mendebarkan hati. Begitu indah sampai memorak-porandakan segunung kerinduan di hatiku ini. Sebuah suara yang juga sangatlah sama dengan suara Papa yang sempat telingaku genggam erat-erat. Usia enam tahunku. Usia terakhirku bermain bersama Papa. Usia terakhirku bertemu dengan Papa sebelum ia pergi bekerja untuk tiada. Tentu, aku masih sangat ingat nada suara dan warna suaranya tatkala aku ada di usia itu. Jelas sekali, suara karakter game di hadapanku ini adalah suara milik Papaku. Papa...

"Wa alaikum salam, Papaaa!!" Spontan, aku memeluknya. Memeluk harumnya kesturi surga yang bertaburan di tubuhnya. Jawaban salamku tak ubahnya seperti sedang menyelipkan nada-nada cinta ke dalamnya. Salam yang mewakili sejuta rasaku, yang terpendam selama sebelas tahun. "Papa ke mana saja selama ini, Pa? Kenapa Papa tidak bilang-bilang kalau Papa ada di siniii??? Papa tega ninggalin Sheiraz dan Mama berdua. Pulanglah, Pa...! Pulaaangg...." Isakku. Sayang. Aku tak menemukan jawaban. Hanya melahirkan pohon keheningan yang berbuahkan bisikan-bisikan nyata.

"Papa katanya?"

"Apa maksud sikap Vedovas kita?"

"Entahlah."

Sebuah harta tak ternilai, ada dalam pelukanku. Dialah Papaku, sebuah kekayaan yang pastinya mengalahkan segalanya. Membuatku tak peduli lagi dengan mereka yang berkomentar ini dan itu atas ulahku.

"Vedovas," namun satu kata yang melaju dari bibirnya itu, seketika menumbangkan kepercayaan diriku tadi. "Ada apa denganmu, wahai Vedovas?" Terlebih lagi, sebuah pertanyaan darinya itu meruntuhkan sebilah harapan yang selama ini memagari hatiku.

"Vedovas, mari kita bergegas tuk salat," Sulaiman. Ia menyadarkanku. Menyadarkan tentang keberadaannya di sisiku. Menyadarkan bahwa aku sedang bermain memainkan peran di dunia game RPG ini.

Kulepas pelukanku. Kuhapus jejak-jejak rindu yang tertanam sepintas di lembah pipiku. Kutatap topeng berwajah Papa yang tengah dipakai oleh Sang Penyelamat di hadapanku ini. Aku... tersenyum. Sebuah pengakuan mendobrak paksa kesadaranku. Bahwa ia yang ada di depanku ini hanyalah sebuah karakter game semata. Ia... sebagaimana Putri Lila dan juga NPC Fida. Ia... tidak nyata. Ia... bukan Papa.

Sebuah keputusan, memaksaku tuk membunuh selaksa rindu yang sudah tertumpah-tumpah. Menahan diri. Berpura-pura. Padahal ia yang terindukan telah muncul di depan mata. Ya, aku lanjut bermain. Kulanjutkan memainkan peranku sebagai Vedovas di sini, "Silakan kau mengimami kami salat asar. Kau lebih pantas daripada diriku," pintaku, bermaksud memberikan penghormatan kepadanya.

Ia tersenyum. "Tidak, Sheiraz. Imam salat ini haruslah berasal dari generasi ini. Sebagai tanda kemuliaan generasi terbaik yang terakhir. Kaulah sang Vedovas, pemimpin mereka. Aku akan bermakmum di belakangmu," katanya, menolakku dengan halus. Padahal aku sangat ingin mendengar bacaan surat Alquran yang dilantunkan Papaku sebelas tahun yang lalu. Yang begitu merdu. Yang begitu fasihnya. Yang begitu nikmatnya. Pandai membuat orang yang mendengarnya sampai rela meninggalkan kegiatannya demi beralih menyimaknya. Memotek yang berkarat. Menumbuhi tunas-tunas iman yang menyegarkan kemudian. Itulah Papaku.

****

"Dari berita TV yang kudengar, di salah satu rumah warga yang kita lalui ketika menuju ke sini, Glumglozer saat ini ada di sebuah kota bernama Lodia," kata Sulaiman, mengawali pembicaraan tatkala kami semua selesai salat berjemaah. Karena kami harus segera melakukan siasat perang yang matang.

"Kau tahu ada di mana kota Lodia itu?" tanya Sang Penyelamat yang memakai wajah Papaku itu. Aku mafhum, ia turun dari langit diantar dua malaikat. Artinya, dia adalah warga langit. Tentu tidak hafal seluk-beluk dunia.

"Lodia, ya?" Agaknya aku pernah mendengar nama itu. Aku memejamkan mata. Mencoba membuka kembali sebuah peta yang pernah tergambar jelas dalam bayanganku. Ya, sebuah kota kecil di pinggiran lautan biru. Apakah jangan-jangan kota itu? Tapi namanya berbeda, bukan Lodia. Kubuka mataku lalu aku berkata, "Setahuku bukanlah Lodia. Lodia itu tidak ada. Adanya adalah kota Lod, salah satu kota berkembang di dataran Sharon. Yaitu 15 km di tenggara El Aviv. Israel."

"Memang benar. Tapi Lod itu adalah nama kotanya di zaman dahulu. Kini namanya sudah berganti menjadi Lodia, Vedovas," ujar salah satu pasukanku yang bertuliskan Ilyas di atas kepalanya.

"Baiklah. Mari kita coba ke sana kalau begitu!" Perintahku.

"Baiklah. Ayo!" Jawab Sulaiman, mewakili lainnya.

Lihat selengkapnya