"Ini!" Jabir mengangkat ponsel pintarnya. Sebuah layar persis seperti layar handphone android-ku melayang-layang lalu membesar seukuran TV 21 inci.
"Pemirsa. Keanehan telah terjadi pada Danau Tiberias, Israel. Secara tiba-tiba, danau tersebut mengalami pengeringan hanya dalam waktu singkat saja. Salah seorang saksi mata kami berkata, dia melihat manusia-manusia setinggi lima meter berbondong-bondong meminum Danau Tiberias hingga tak bersisa. Beberapa warga ketakutan dan bersembunyi dalam rumah-rumah mereka, lantaran para manusia raksasa itu membunuh siapa saja yang mereka temui," kata asal suara dari layar HP Jabir.
Jabir mematikannya, "Sekarang mari kita lihat dari sumber berita yang lainnya," ujar Jabir sambil menggeser dan menekan layar HP-nya.
"Ya, baik pemirsa," seorang reporter wanita berjilbab pendek menginformasikan dengan mikrofon bersayap di dekat mulutnya. Setiap kali wanita itu bergerak, mikrofon itu selalu mengikutinya, "Di sini dengan saya Qalida. Seperti yang sudah Anda lihat, di belakang saya... Banyak warga bergelimpangan di jalan-jalan dengan kondisi yang berdarah-darah," kameranya pun bergerak membesarkan gambarnya, "Terlihat jelas seperti adanya bekas cabikan di sana-sini. Kami menduga ini adalah ulah Danawa Biw Baw yang memang telah diramalkan sebelumnya. Hati-hatilah, kunci rapat-rapat pintu dan jendela rumah Anda!"
"Cepatlah! Kita harus bergerak, Vedovas!" Jabir menekan sesuatu di layar HP itu. Lalu HP-nya kembali lagi ke ukuran semula.
"Tapi, ke mana?!" tanyaku, masih belum memahami kondisi ini.
"Setelah kematian Glumglozer, Danawa Biw Baw diramalkan akan bangkit dari kurungannya selama ini, yaitu tembok besi yang dibuat oleh Raja Zulqoriman di antara dua gunung di wilayah timur. Mereka telah berhasil keluar dan akan menyebar memenuhi bumi ini," Sang Penyelamat ikut menjelaskan.
"Siapa itu Danawa Biw Baw?" Aku yang memang aslinya kurang pintar ini masih menanyakannya. Semuanya pun menatapku. Aku mencoba menerka, lagi-lagi aku teringat ramalan Manusia Termulia, "Apa... mereka manusia raksasa yang dikatakan berita tadi?" tanyaku dengan lugunya.
"Ya. Mereka adalah kaum Danawa yang hidup di zaman purba hingga sekarang. Terdiri dari suku Biw dan suku Baw. Oleh karenanya tubuh mereka tinggi dan besar. Sebagaimana Nabi Adam alaihi salam. Tapi, mereka liar. Barbar. Membunuh siapa saja yang tidak sama seperti mereka," terang Sang Penyelamat lagi.
—TRIRI RIRING—
Bilah statusku berbunyi dengan nada tinggi. Menyempil di antara sela-sela pembicaaran kami. Kulihat dengan casing belakang tabletku.
Sheiraz Lv.8
NP = 200.450.910
WP = 97
NP-ku naik luar biasa. Bahkan berkali-kali lipatnya. Aku ingat apa yang dikatakan Putri Lila. Level Up itu jika makin banyak amal kebaikan yang aku lakukan maka poin NP pun akan dilipatgandakan. Begitu juga sebaliknya. Dan tentang hari di mana Glumglozer keluar, maka hari pertama aku memeranginya akan terasa seperti 50 hari. Oleh karenanya WP-ku pun berkurang 50.
"Lo? Lo? Ada apa ini?" tanyaku, merasakan tanah yang kupijak bergetar.
"Gempa?!" kata Sulaiman
"Sepertinya ini bukanlah gempa!" Sang Penyelamat berkometar.
Tak lama kemudian terdengarlah teriakan dari pasukanku yang ada di depan jalan. Serupa teriakan mengaduh kesakitan. Kami pun segera menuju ke sumber suara. Ternyata, manusia-manusia tinggi dan besar itulah pelakunya. Kaum Danawa sudah sampai ke daerah ini. Pasukanku pun berlari tunggang-langgang.
"Cepat naiki kuda-kuda kaliaaaann!!!" Jeritku, mengomando.
"Inilah saatnya! Ikuti aku!" Sang Penyelamat bergegas menyuruh kami. Aku dan sebagian pasukanku yang selamat pun menurutkan dirinya. Tak sempat lagi berpikir rencana apa yang dimiliki Sang Penyelamat. Akankah ia tahu lokasi yang aman sedangkan para Danawa Biw Baw hampir menguasai bumi? Kami langsung memacu kuda-kuda kami lebih cepat, karena para Danawa Biw Baw memiliki lebar langkah kaki yang sangat panjang. Saat mereka berlari, mereka hampir menyaingi kecepatan kuda-kuda kami yang sudah mengalami mutasi gen. Seolah dapat dengan begitu mudahnya melumat kami semuanya.
"Aaahh!!!" Aku merunduk, tepat pada saat tangan raksasa salah satu Danawa Biw Baw itu hendak menebasku. "Hampir saja!" Jantungku langsung berpacu, bahkan sepertinya lebih cepat dari kudaku ini.
Kami pun menanjak ke puncak gunung. Mengikuti Sang Penyelamat. Mungkin ini akan menjadi lokasi yang paling aman.
"Aaahhh!!! Vedovaasss!!! Tolong akuuuuu...!!" Itu suara salah seorang pasukanku! Kutolehlah ke bawah. Kulihat kakinya ditarik-tarik Danawa Biw Baw.
"Kyyyaaaaa!!!" Beberapa pasukanku yang lain juga kena. Mereka ditarik bahkan dibanting! Entah kenapa aku tak mampu menguasai keadaan. Padahal, aku adalah pemimpin mereka. Vedovas mereka. Rasa malu bertengger di dadaku. Tapi apa yang bisa aku lakukan?!
"Aaaahhh, Vedovaaasss...!!!"
Aku pun teringat sesuatu. Kutekan tombol empat di rompiku ini. Sekelebatan cahaya pun menghadirkan senjataku.
"Vedovaaass!!! Kyaaaaa!!!"
"Tidaaakk! Vedovaaass, toloooong....!!"
Melihat satu per satu pasukanku menjadi korban Danawa, aku sungguh tak bisa diam saja. Kupandangi Mandau-ku itu. Berpikir bagaimana caranya aku bisa menggunakan Mandau-ku di saat-saat seperti ini. Fatha sang Imam Masjid Kerajaan sudah mengajarkan aku bagaimana cara memaksimalkan kemampuan Mandau-ku ini. Ya, dengan mengucapkan apa pun kalimat-kalimat Allah! Aku pun juga teringat akan tombol ketiga rompiku ini.
"Laa haula wa laa quwwata illa billaah!!" Rapalku sambil menekan tombol ketiga pada rompi. Seketika Mandau-ku bersinar. Aku berhasil. Secarik sesal menempel di pelataran hatiku. Mengapa tidak kulakukan ini juga pada Glumglozer? Jiwaku tuk menjadi pahlawan seutuhnya telah tercabik-cabik. Prestasi Pro Gamer sejati sepertiku yang selalu saja menjadi nomor satu pun telah binasa di sini. Ah, mungkin memang sudah suratan takdir. Takdir Glumglozer adalah tidak terbunuh di tanganku. Bahkan takdir Danawa Biw Baw pun juga telah mengikutinya. Membuatku teringat pelajaran agama waktu di SD dulu, tentang beriman kepada semua takdir dalam enam rukun iman. Tentang takdir buruk—atau sesuatu yang tidak disukai—yang sudah terjadi sama sekali tidak boleh disesali. Buruk bagiku namun sejatinya itu baik di mata Allah untukku. Tiba-tiba, bilah statusku berbunyi dengan nada tinggi bertubi-tubi. NP-ku naik?!
Baiklaaahh!!! Aku percaya saja kepada-Nya!!! Aku tidak menyesaaaalll....!!! Aku setengah pahlawan di sini atau bukan pun!! Akan aku turuti jalan juangku di dunia game iniii....!!!
Langsunglah kubuat garis di udara seakan sedang mencoret para Danawa Biw Baw yang tengah menyerang pasukanku itu. Penguncian target pun telah siap. Menakjubkan! Ini sungguh di luar dugaan! Mandau-ku berubah besar tiga kali lipat di udara. Kedua tanganku mengeluarkan cahaya terang tatkala mengendalikan pergerakan Mandau. Kulempar Mandau-ku dengan membaca basmalah. Ia pun dapat melesat secepat kilat. Menebas kepala-kepala Danawa. Terputus lalu bergelinding. Pasukanku langsung kabur memacu kudanya ke atas, untunglah mereka selamat. Bagai bumerang, Mandau-ku mengecil lalu terbang kembali ke sisiku. Ketika genggaman tanganku telah sampai pada bilahnya, sinarnya pun menghilang. Tugasnya selesai sudah.
"Terima kasih, Vedovas!"
"Iya, terima kasih wahai Vedovas!"
"Terima kasih, semoga Allah membalas kebaikanmu, Vedovas!"
Ucap mereka, serentak kepadaku. Aku mengangguk. Kami pun melanjutkan perjalanan ini. Menuju puncak. Para Danawa Biw Baw yang melihat keluarga mereka kutebas, mereka enggan menaiki gunung. Mereka lebih memilih sibuk menghabisi warga-warga yang ada di bawah. Aku melihat sebuah pemandangan yang mengerikan dari atas sini. Yaitu, sebuah lautan merah dari jasad-jasad manusia. Membuatku berniat mengulangi pembantaian Danawa ini dengan Mandau-ku lagi seperti tadi.
Sang Penyelamat menepuk pundakku. Ia menggelengkan kepalanya seraya berkata, "Danawa Biw Baw tidak hanya ratusan, Vedovas. Tapi lebih dari yang kau kira. Mandau-mu tak akan cukup membunuh semuanya. Sebab mereka telah menduduki seluruh negara yang ada di muka bumi ini."
"Lalu... lalu kita harus bagaimanaaa...?!"
Sang Penyelamat menatapku cukup lama sebelum akhirnya ia berpaling dariku. Ia pun menengadahkan kedua tangannya ke atas langit. Ia berdoa. Berdoa dengan sangat khusyuknya. "Ya Allaaahh, musnahkanlah seluruh Danawa Biw Baw ini. Dan turunkanlah hujan yang memenuhi seluruh bumi-Mu."
Doanya singkat dan langsung kepada intinya. Namun entah mengapa begitu menyentuh di hatiku. Sebuah kesadaran baru pun tersenyum padaku di sudut sana. Bahwa tuk menjadi The Winner di dunia game tidak hanya mengandalkan skill dari player-nya saja. Namun seorang player amatlah membutuhkan kekuatan pula dari Allah Sang Penguasa, Sang 'Dewa' Tunggal Yang Sebenarnya. Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar player-Nya.
Dan seperti sesuatu mantra yang dahsyat, doa Sang Penyelamat membuat rona langit menjelma duka. Para Danawa Biw Baw yang memegang busur, langsung melepaskan anak-anak panah mereka ke atas langit dan salah satu di antara mereka berteriak, "Kami menaaang!!! Kami telah membunuh semua penduduk langit dan penduduk bumiiii...!!!"
Lalu disambut riang oleh semua Danawa dalam satu teriakan yang menggemuruh "Uuuulululululuuu...!!!!"
Dari atas puncak gunung ini, nadiku berdenyut mendengar gema sorakan mereka. Sendi-sendi tulangku gemetar menggeligis. Raksasa-raksasa purba itu lebih menakutkan ketimbang zombi. Namun besarnya tubuh mereka tak seimbang dengan kecerdasannya. Tanpa mereka sadari. Doa Sang Penyelamat telah diangkat. Burung-burung elang yang menurut mataku justru lebih menyerupai elang jawa yang identik dengan lambang negara Indonesia 'Garuda' ini kompak berdatangan menguasai seluruh langit. Melepaskan sesuatu dari cengkeraman kaki-kaki mereka yang kokoh. Lalu sesuatu itu menjatuhi tubuh-tubuh para Danawa Biw Baw yang merasa telah menguasai bumi. Membuat mereka menggaruk-garuk tubuh mereka sendiri. Hingga luka melahirkan darah dan nanah begitu cepat. Mereka bahkan bertabrakan dan amat tak senang ditabrak. Sampai ke tahap saling menghajar, mencakar, dan menggampar. Baik terhadap tubuh mereka sendiri maupun terhadap diri yang lain. Beberapa berbebar. Lalu jatuh dan mati. Mereka membangkar.
Burung-burung elang 'Garuda' auto membengkar. Mereka menjadi besar. Ramai-ramai mengambil mayat-mayat Danawa Biw Baw yang berat dan menerbangkannya. Mungkin mereka hendak membuangnya ke laut. Tak lama kemudian, langit yang bermuram durja pun menangis. Menumpahkan airnya yang dapat membersihkan darah-darah serta sisa-sisa korban pembunuhan Danawa Biw Baw di seluruh permukaan bumi.
"Sungguh, Allah Malikuljabar, Vedovas. Allah kabulkan doaku sangat cepat," aku dibuatnya terkejut dengan suaranya itu. Terasa ada yang menaruh tangannya di pundakku. Rupanya Sang Penyelamat yang mendekatiku. Di bawah siraman air hujan ini kami melihat adegan luar biasa itu dari puncak gunung teratas. "Jika kita tak kuasa melawannya. Ingatlah ada Allah Yang Maha Kuasa. Allah yang akan menyingkirkan mereka. Jika kita berserah dalam keyakinan yang penuh kepada-Nya tentu saja," ujarmya lagi. Wajahnya di dalam hujan itu terlihat amat meneduhkan. Air hujan membuat rambut panjangnya lepek. Di bawah sinar petir saat satu kali mencambuk angkasa itu, wajahnya mengerutkan guratan-guratannya namun bagiku ia tampan. Ia, adalah wajah papaku yang tampan.
—TRIRING—