Sang Penyelamat! Kabel-kabel itu... berasal dari anggota-anggota tubuhnya!!
Aku mendekati tubuh Sang Penyelamat. Aku duduk di sampingnya. Sedikit ngeri memang, tetapi aku beranikan diriku. Kabel merah, biru, kuning, keluar dari kepalanya. Kabel hitam dan putih dari kedua tangannya. Kabel hijau, biru dan merah lagi dari kedua kakinya. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Lalu kuambil tablet dari rompiku, "Pegang tablet ini!" Aku menyodorkannya kepada Fida.
"Tapi... Untuk apa?"
"Kita pulang ke dunia asli kita sekarang juga."
"Maksudmu... kau ingin membawa orang berkabel itu juga??!!"
"Dia bukan orang aneh!"
"Apa kau sudah gila, Sheiraz? Dia kelihatan menyeramkan!!"
Mendengarnya membuat darahku mendidih, membuatku terpaksa harus berteriak kepadanya, "Dia Papaku!!!" Setitik air meluncur dari kedua mataku yang mungkin sudah sangat memerah. "Dia... Papaku, Fida... Al-mar-hum Pa-pa...."
"Maafkan aku. Tapi, Shei... aku tidak mengerti."
"Apa kau ingat Ratu Jincininbe bilang apa?" Aku memancing daya ingat Fida sembari menoleh lagi ke tubuh yang kuanggap Papa itu. "Ratu bilang kan kalau dia membocorkan rahasia NP dan WP padaku? Padahal seharusnya player dituntut untuk memecahkan teka-tekinya sendiri dalam game ini."
"Lalu?"
"Ratu bilang, bahwa seseorang telah menemuinya berkali-kali dengan kisahnya yang sama. Itu artinya ada seseorang yang sama menemui Ratu Jincininbe. Tidakkah kau berpikir, bahwa Papaku sebenarnya tidak meninggal tapi Papa memainkan game ini berulang kali?" Aku menarik napasku, "Hanya kau dan Sang Penyelamat ini saja yang tidak mematung di sini. Bisa saja, orang yang ada di hadapanku ini adalah Papaku, Fida."
"Mungkinkah bisa seperti itu, Shei? Bukankah Papamu sudah meninggal saat kau masih kecil?"
"Iya. Bisa! Game bisa mengalami error, Fida. Dalam dunia game kau pasti pernah mendengar yang namanya Bug, bukan?" Fida mengangguk. "Kebanyakan player merasa kesal jika ditemui Bug, karena tampilan atau pertunjukannya menjadi beda dari yang diharapkan. Bug adalah sesuatu yang rusak atau cacat dalam program. Maksudnya, ada kesalahan yang terjadi dalam bahasa pemrograman yang digunakan oleh dunia game ini."
"Jadi, maksudmu? Papamu senang memainkan game ini lalu karena terlalu seringnya ia keluar-masuk, program di game ini menjadi error. Ini yang disebut nge-bug di dunia game ini, begitu?"
"Tepat sekali. Oleh karena itu aku ingin memastikannya. Aku... ingin coba membawa Papaku pulang bersama kita."
Fida terdiam. Sepertinya ia sedang berpikir kemungkinan buruk apa yang akan terjadi. Wajahnya mengkerut tak yakin.
"Papaku saat menjadi Sang Penyelamat, tidak meresponku. Dia lupa denganku. Tadinya kuberpikir, mungkin karena aku tumbuh besar dari yang terakhir kali dia lihat. Tapi, melihat kabel-kabel ini. Aku bertambah yakin, otak dan seluruh tubuh Papa ikut terprogram otomatis. Sehingga membuat Papa tidak mengenaliku. Ikatan batin antara anak dan orang tuanya tidak akan pernah salah, Fida."
Fida yang dari tadi berdiri di belakangku, berpindah menjadi duduk di sampingku, "Baiklah, aku ikut saja denganmu," katanya. "Mari kita pulang dengan membawanya ikut serta bersama kita."
Aku pun mengangguk pelan.
*****
Dingin. Rasanya nikmat. Begitu nyaman. Empuk pula. Sesuatu, menyelimutiku. Hangat. Menenteramkan. Mataku lengket. Terasa berat sekali. Enggan bangkit. Tapi aku harus!
Kuangkat selimut berbulu yang merebah di atas dadaku itu. Kupandangi selimut bulu itu sambil mengerutkan dahi. Warnanya pink? Aku terduduk. Mataku pun terpicing. Seperti, jendela rumah yang malas membuka karena matahari di luar menyilaukannya. Ruangan? Apa? tanyaku. Cahaya yang terang pada sebuah lampu kamar 20 watt adalah yang bisa kutebak saat itu.
Wallpaper dinding berwarna ungu terhias hanya separuhnya saja. Memanjang secara horizontal. Menyisakan warna dinding asli yang sudah kusam di bagian atasnya. Kuraba sprei abu-abu tempat tidur ini. Lembut dan... sejuk. Aku menjeling. Air Conditioner bertonggok di sana dengan warna biru pada lampu indikator kecilnya. Sebuah meja kecil di mana lampu berbentuk payung berdiri di atasnya ada di samping tempat tidurku ini. Segelas air dengan tutupnya seolah menyapa dahagaku. Namun aku tepis dahulu dorongan itu.
Kukucek-kucek mataku, kantuk rupanya masih membersamai ragaku. Di mana aku? Sepertinya aku tadi bermimpi. Mimpi yang sangat panjang. Mimpi yang terasa begitu nyata.
Aku menoleh. Begitu kagetnya aku sampai meloncat ke belakang. Ada dua orang berbaring terpisah di tempat tidur yang lain. Mataku menyampaikan informasi atas apa yang dilihatnya, bahwa kamar ini tidaklah sekecil yang aku kira. Kamar ini luas. Di dekat dua orang itu ada seperangkat komputer pada sebuah meja berbentuk sabit. Dengan empat buah layar monitornya yang berukuran sama. Berjejer dalam kondisi layar yang gelap. Di antara ruangan yang menyerupai kamar ini, hanya komputer-komputer itu saja yang cahayanya meredup. Lampu di atasnya mungkin mati atau dimatikan. Ruangan yang lebih mirip UGD rumah sakit ini, membuatku cukup terkesan. Sekaligus bingung. Ini bukanlah kamarku. Ini juga bukan ruangan dari seorang teman ataupun salah satu keluarga yang kukenal.
Aku bangkit. Dua orang yang ada di tempat tidurnya masing-masing itu sedikit membuatku takut. Mereka lebih mirip jenazah yang tertidur. Siapa mereka?
Aku mendekat. Seiring dengan bunyi lonceng jantungku yang nyaring. Memantul-mantul keras dalam rongga dadaku. Mungkin sangat membahana bila aku mendengarnya di sana dengan menggunakan stetoskop. Aku berjalan, perlahan. Dengan hati-hati takut menyenggol sesuatu lalu mejatuhkannya. Kulongok ia yang kiri, postur tubuhnya jelas sekali milik seorang perempuan. Ia tidur telentang dengan kedua tangan berbaring di sisinya. Aku maju beberapa langkah. Wajah itu pun terlihat.
"Eh? Fida?!!" Aku tergemap. Ia masih memakai seragam sekolahnya juga. Sama sepertiku. Tapi... mengapa ada Fida di sini? Tunggu. Jangan-jangan... orang yang berbaring satunya lagi, adalah Papa? Papaku?!
Aku penasaran, siapakah pemilik tubuh satu lagi yang menyerupai lelaki itu? Dari kejauhan ia memiliki janggut sepanjang dadanya dengan rambut yang hitam. Aku langsung berlari ke ranjang satu itu. Sungguh sudah tak perlu lagi bagiku tuk berjalan pelan-pelan. Saat aku sudah dekat. Wajahnya pun terlihat jelas.
"Ya Allah benaaar... Ini Papa! Papaaaa....!!" Aku langsung memeluknya yang masih terbaring. "Papaaa... Papa katanya sudah meninggaaall...." Kataku, mencacau. "Aku tahu itu tidak benar. Semoga ini bukan mimpi ya, Pa... Sheiraz merindukan Papa. Rinduuu sekali sama Paapaaa...." Aku menumpahkan kata-kata yang disertai tangisan. Ia yang kutangisi justru tak menjawab. Namun dadanya terlihat turun naik, membuatku lega karena menandakan sebuah kehidupan masih ada di sana. "Dulu, saat zamannya Play Station. Papa dan aku selalu bermain bersama. Kita saling bersaing tuk menang. Apa Papa ingat? Papa? Bangunlah, Pa... Banguuunn....!" Air mataku membasahi baju kemejanya. Ini adalah baju Papa yang terakhir kali aku lihat sebelum Papa berangkat kerja. Sebelum ia dinyatakan meninggal dunia.
"Sheiraz?" Suara Fida! Aku langsung bangkit dan menoleh ke belakangku. "Kita, ada di mana?" tanyanya. Adalah hal yang wajar bila dia bertanya seperti itu.
"Entahlah. Kupikir aku tadi bermimpi. Tapi sepertinya ini bukan mimpi. Karena Papaku dan kau ada bersamaku dalam satu ruangan yang tidak kita kenal."
"Mungkinkah kita ada di rumah sakit?"
Tiba-tiba terdengarlah suara pintu dibuka. Seseorang berseragam polisi masuk ke ruangan ini tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Membuatku kaget. Ia memakai PDH (Pakaian Dinas Harian) yang berupa kemeja berlengan pendek. Di atas kedua pundaknya ada tiga buah balok tebal berwarna emas sebagai tanda kepangkatannya. Artinya ia adalah seorang AKP (Ajun Komisaris Polisi), perwira pertama tingkat tiga di Kepolisian Republik Indonesia.
Lengkap pula dengan papan nama bertuliskan "Herry Goldenheart" di dada kanannya, tepat di atas saku. Lalu kopsteken alias lambang di kanan-kiri menduduki kedua sisi kerah seragamnya. Kemudian ada Tanda Kewenangan yang menurutku lebih mirip seperti lencana emas di bagian dada kirinya. Lalu Lambang Fungsi di lengan kanannya, serta Lambang Polda dan Nama Kesatuan di lengan kirinya. Tak lupa sebuah ikat pinggang bernama Kopel berwarna putih juga melingkari pinggangnya. Topi seragamnya pun ia letakkan di atas meja dekat pintu itu.