Apa yang ada dalam isi kepala polisi ini? Apa dia sudah gila memaksa anak 17 tahun untuk menikah?!
"Aku tidak ada apa-apa sama Fida ini, Pak! Serius! Aku berduaan terus sama Fida karena tidak sengaja masuk ke dunia game itu. Ini tidak sama dengan kumpul kebo, Pak! Jauh bangeeett...!!" Pembelaan diri ini semoga saja cukup untuk membuat Pak Herry, si Pak Polisi itu mengerti.
Fida yang dari tadi tangannya ada di gagang pintu, langsung maju berlari mencerocos ke arah kami. Menghadirkan celah dari pintu yang ternyata tak sengaja ia buka, menandakan betapa ringannya sistem dinamika gagang pintu tersebut. "Benar, Pak! Kami berdua tidak ngapa-ngapain, kok! Kami saling menjaga jarak. Jangan fitnah, Pak! Katanya Bapak sudah lihat kami di layar monitor itu?! Silakan dilihat lagi, Pak. Bapak punya rekamannya, kan?!" Meja berbentuk sabit itu pun ditunjuk-tunjuk olehnya. Ketakutan akan fitnah besar yang dapat merusak masa depannya pun turut kurasakan juga. Ini tidak hanya merusak psikis kami, tapi juga mental kedua orang tua kami. Sudah dipusingkan dengan perilaku anak-anaknya, haruslah juga menanggung beban pikiran tentang nasib kami. Terlebih, masalah menikah muda di atas fitnah itu adalah hal yang tidak akan pernah padam dari lisan-lisan pedas masyarakat. Juga akan menjadi sesuatu yang memberatkan dalam pikiran orang tua sampai mati. Jelas saja, aku tak mau hal itu terjadi pada Mamaku.
"Siapa juga yang mau menikahkanmu dengan Fida?" Pak Herry menangkis.
Aku dan Fida sama-sama terbengang menatap wajah polisi itu. "Yang benar, Pak?" tanya kami, hampir bersamaan.
Akhirnya kami bisa bernapas lega. Tapi untukku, kelegaan itu hanya singgah sebentar saja di dermaga hati. "Eh? Tapi tetap saja ujung-ujungnya aku harus menikah. Aku tidak mau, Pak. Aku sudah punya gadis yang aku sukai. Maaf saja."
"Apa kau yakin gadis yang kau sukai itu juga mau denganmu?" Polisi itu bertanya dengan serius. Tapi di hatiku, nadanya terasa seakan tengah meledekku.
"Ya? Hmm... Yah, dia.... Tidak mau denganku, sih. Dia bahkan tidak mau pacaran dan tidak mau menikah. Ah, tapi itu belum berakhir! Lagipula, Pak Herry ini aneh. Saya ini kan masih SMA. Masih ada waktu panjang untuk mencuri hati gadis yang kusukai itu. Sampai usiaku sudah layak untuk menuju jenjang pernikahan," tegasku, mantap. "Ayo, Om!" Segera kuajak Om Fredy membantuku memapah Papa yang masih lemas ini berjalan. Lebih baik pulang ketimbang harus meladeni polisi ini. Pikirku.
"Siapa bilang kau masih anak SMA?" Polisi itu membungkukkan badannya seraya menarik pergelangan tanganku, mencegah kakiku melangkah. Kepalanya pun ia turunkan, menjadi sangat dekat dengan kedua mataku. "Kau... sudah berumur du-a pu-luh ti-ga ta-hun!" Ucapnya, sepenggal-sepenggal di akhir kalimat.
Serta merta lengung menguasai diriku. "Tidak mungkin!"
"Apa untungnya aku berbohong? Seorang polisi sejati sudah seharusnya seperti kesatria. Membela kebenaran dan amanah, bukan?" katanya, berdiri tegak sembari membelit kedua tangannya di depan baju seragam abu-abunya itu.
"Sheiraz," Papa yang berada dalam rangkulanku mengajakku bicara, kepalaku pun menoleh kepadanya, "Kau lihat panjangnya rambut dan janggut Papa? Apa sebelumnya Papa seperti ini rambutnya?" Benar juga! Papa rambutnya gondrong dan berjanggut panjang! Artinya, umurku kemungkinan juga bertambah.
"Tapi kok Papa tidak beruban seperti Pak Herry?"
"Hmm... mungkin Papa awet muda?"
"Lalu maksudmu, aku tua gitu?" Polisi itu merasa tak terima. Fida tertawa kecil.
"Hei, Sheiraz. Kau pikir Om ini dipenjara berapa lama? Lima tahun!" Om Fred yang berada di sebelah kiri rangkulan Papa, ikut membantu memberikan petunjuk agar aku bisa memahami semua ini.
"Jadi..." lidahku terganjal. Tak mampu berkata-kata lagi. Tapi aku merasa tak ada yang berubah pada fisikku. Aku juga merasa tenagaku masih sama saja seperti tenagaku di usia 17 tahun.
"Sudah kukatakan game itu mengalami Bug. Ia rusak, Sheiraz. Aku akan memperbaikinya karena alat-alatnya ada padaku. Seharusnya kau bisa keluar masuk. Ibarat kata, tiga atau tujuh hari di sana adalah satu hari di sini," Pak Herry menerangkan lagi, "Yah, kadang tak tentu juga sih. Namanya juga eror."
Membuat Fida sekonyong-konyong sangatlah terkejut, "Ha?", ia mengeluarkan suara berat disertai napasnya bersamaan sambil menutup mulutnya yang terbuka sejemang, kalakian berkata, "Kalau begitu, bagaimana dengan sekolahku? Duuhh.... Bagaimana iniiii...?" Fida benar. Aku saja baru teringat akan hal itu. Ya, dia telah mewakili kekhawatiranku yang baru muncul.
"Jangan takut, pasti Pak Polisi ini sudah menanganinya. Betul kan, Herry?" Om Fredy pun ikut menenangkan kegelisahan kami.
"Ya. Benar sekali, Fred! Aku dan orang tua kalian sudah mendatangi Kepala Sekolah. Kulaporkan bahwa kalian berdua mengalami kecelakaan. Kalian koma untuk beberapa tahun ke depan sehingga tidak dapat dijenguk dahulu. Diperkuat dengan surat keterangan dari dokter kenalanku tentunya. Aku meminta keringanan kepada pihak sekolah, khusus untuk kalian. Sehingga kalian masih bisa lulus dari sekolah dengan mengikuti ujian susulan."
Luar biasa sekali Bapak Polisi satu ini. "Terima kasih, Pak. Terima kasih," kataku. Masa depanku pun batal terancam. Meski umurku setua itu tuk dinyatakan lulus SMA. Hiks.
"Jadi Mama dan Papaku tahu kalau aku tidak hilang atau mati iya, kan? Betul, kan?" tanya Fida lagi, hatinya yang bergetar ingin sekali tuk tambah diyakinkan.
Polisi itu terdiam sejenak sebelum akhirnya memberi senyum lalu berkata, "Ya... Mereka sudah kujelaskan semua kebenarannya. Tentang dunia game itu dan sebagainya. Mungkin karena aku seorang polisi, jadi mereka percaya."
Fida melepas napas lega yang sempat tercekik di sentral lehernya seraya mengurut dada.