Aku yakin, pasti ada seseorang di balik pintu masuk ruangan ini. Bayangan hitam di celah pintu itu mengundang tanda tanya tuk menghadiri jeluknya isi kepalaku.
"Ma-maaf menyela," ujar Fida, merejang seluruh pemikiran di alam bawah sadarku itu. "Bukankah... kalian satu keluarga dari... dari Yahya dan Yusuf?" Raut muka Fida terlihat tertahan. Seperti melarang sesuatu keluar dari permukaan mimiknya. Aku lupa masih ada dia di sini. Aku sangatlah mengerti bagaimana perasaannya. Tetapi, jalanku harus tetap berjalan... Fida.
"Ellena dan Sheiraz adalah sepupu jauh." Kali ini Om Fredy ikut mengudarakan suaranya lagi, "Setahuku, saudara sepupu itu sudah berbeda. Kau dengan anak lelaki dari saudara kandung ayahmu pun juga boleh menikah. Itu banyak terjadi di Indonesia kalau kau mau tahu."
"Benar, karena saudara sepupu adalah bukan mahram. Apalagi ini termasuk saudara jauh," jawab polisi yang bernama unik Herry Goldenheart itu. Sebenarnya namanya terasa tak asing di telingaku. Ya. Namanya mirip dengan Kabid Humas Polda Sultra, AKBP Harry Goldenhardt, yang sering muncul di surat kabar daring yang pernah kubaca.
Fida mendekatiku dengan langkah kaki yang ringan. Aku tahu, hatinya sajalah yang berat. "Selamat, ya. Aku ikut berbahagia mendengarnya, Shei." Dia tersenyum. Senyuman yang kutahu ada seberkas luka di baliknya. Namun, Fida tetaplah Fida. Ia selalu ceria sebagaimana dirinya yang sebenarnya.
"Thanks, Fida," kataku, dengan senyuman—yang pantas—yang bisa kuberikan kepadanya.
Fida memutar arah badannya, bermaksud untuk pamit kepada kami semua, "Aku pulang dulu ya, orang tuaku pasti sudah sangat menunggu hari seperti ini. Hari di mana aku pulang kepada mereka lagi. He... Asalamualaikum."
Serentak, kami semua menjawab salamnya. Ia mengambil tas sekolahnya yang memang sudah tergeletak di bawah pintu bersama dengan ransel sekolahku.
Fida terkejut ketika ia membuka pintu, begitu juga denganku dan lainnya. Ada seseorang di sana yang berbuntang. Seorang wanita berhijab ungu muda nan sangat lebar berdiri tegak di ambang pintu yang dibuka Fida. Wanita itu terlonjak sambil menghapus air matanya cepat-cepat.
Wanita itu... Ellena?
Sesuatu langsung berdesir dalam ceruk hatiku. Sejenis pawana merah muda yang membawa kesejukan sekaligus debaran yang menyenangkan di sana.
Ya Allah, aku berjumpa dengan Ellena. Ya Allah...! Ya Allah...! Tumbuh-tumbuhan kering di dadaku terasa sedang menghijau dan berbuah dengan saaaangat cepatnya.
Tapi... kenapa dia terlihat habis menangis? Apa sudah dari tadi Ellena mendengar pembicaraan kami? Berarti... Ellena juga menyaksikanku sujud syukur karena dirinya dong?
Hatiku yang ge-er berbisik bahwa Ellena menangis bahagia karenaku. Aku pun merunduk bukan seperti padi, melainkan seperti kantong yang kepercayaan dirinya sudah terlalu berat. Kulihatlah jempol-jempol kaki yang mengintip dari lubang besar kaos kaki dekilku mencatuk-catuk jari yang ada di sebelahnya. Aku pun merasakan banyaknya malu tengah berjaipongan di atas pinggan hatiku ini. Tak berani kulihat sang pujaan hati yang berdiri di ambang pintu dengan teramat anggunnya. Entahlah. Aku hanya mampu menyibukkan diriku, memungut kata demi kata yang sempat tertelan oleh ombak cinta. Berharap bisa kutegakkan kepalaku tuk memberinya beberapa buah kata sapa saja. Namun sayang, menggenggam irama dentum jantungku saja, makhluk-makhluk butiran keringat meloncat amat riangnya dari tepi jurang rambutku yang paling atas. Aku... tak kuat.
Subhanallah, subhanallah...
Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah...
Ahamdulillaaah....
Laa illaha illallaah, Allaahu akbar...
Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah.
Baru kali ini. Ya... baru kali ini lisan-lisan yang mengumpat di balik jantungku bertasbih memuji Sang Pemilik Cinta. Bertahmid mensyukuri hidayah sebuah cinta. Bertahlil mengagungkan Sang Pencipta Cinta. Bertakbir mengagumi kekuasaan Sang Pemberi Cinta yang menghadiahi aku cinta. Meski tak beraturan serupa gelombang elektromagnetik yang begitu membadai.
Kuberanikan diriku melihat keadaan. Fida dan Ellena. Kedua wanita itu saling bersemuka penuh arti. Masing-masing tak mampu kukorek apa saja makna di dalam tatapannya itu.
"Halo... Aku Fida. Salam kenal," kata Fida, mencoba seramah mungkin. Ya, aku cukup salut padanya. Cewek satu itu sepertinya memang pandai membaurkan dirinya pada orang lain yang belum dikenalnya.
"Hai, Fida. Sa-salam kenal juga. Aku... Ellena. Ellena Holylove."
Fida mengangguk, lalu pergi. Sebelumnya ia mengatakan bahwa ia harus segera pulang secepatnya. Karena tentu saja orang tuanya sudah sangat menunggu kepulangan anaknya itu, yang sudah menghilang selama enam tahun.
Mataku dan mata Ellena tak sengaja bertembung. Lantas Ellena langsung pergi, dia mengumpat di balik tembok sebelah pintu itu. Dia terkaget sampai suara tarikan napasnya saja pun terdengar.
Ellena...
Cintaku padamu kini dan cintaku padamu sebelumnya sungguh berbeda.
Bagaimana aku bisa memvisualisasikan rasa yang lebih menggelora ini?