The World Is a Game

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #23

BAB 22

Melihat semua orang bingung dengan apa yang aku ajukan tadi. Aku pun menjelaskan, "Maafkan aku. Aku... memiliki seorang ibu. Ibu yang kupanggil Mama ini baru saja bertemu denganku kemarin. Sudah enam tahun lamanya Mamaku tidak pernah melihatku. Hati ibu mana yang kuat saat anaknya pulang ke pangkuannya sebentar namun esoknya ia malah menikah, meninggalkan ibunya lagi. Meski aku tahu sudah ada Papa di sisinya tapi... tapi aku juga tahu. Kerinduan Mama terhadapku kini masih membasah. Senyum Mama untukku hari ini sesungguhnya... telah didorong oleh kekuatan terbesarnya dalam menghapus sendu." Hening pun meneduhi dua keluarga ini saat aku berbicara. Kutengoklah ke belakang, kedua pundak Mama berguncang-guncang. Mama mengusap air matanya dengan selembar tisu tanpa berani melihatku sedikit pun. Pandanganku kini kembali mengarah pada Pak Herry, "Oleh karena itu... saya memohon keridaan kedua belah pihak agar, tiada kesalahpahaman di kemudian hari. Pun... berhubung saya dan Ellena tidak pernah pacaran. Saya jadi ingin memanfaatkan waktu satu tahun tersebut untuk berbakti pada Mama sambil berpacaran dengan Ellena. Tentunya berpacaran sesudah menikah. Satu tahun... adalah waktu yang singkat. Usia kami pun sama-sama masih muda, dua puluh tiga tahun. Jadi, satu tahun tidak akan mengurangi keharmonisan rumah tangga dan kewajibanku sebagai seorang imam. Mama pernah berkata padaku. Menikah itu adalah ibadah. Dan ibadah itu butuh ilmu. Jadi, secara tidak langsung dalam waktu satu tahun itu pulalah aku sekaligus akan menuntut ilmu tentang rumah tangga. Selebihnya akan dibicarakan kemudian ketika sudah halal nanti antara saya dan Ellena. Sekiranya Ellena dan keluarganya memberi restu pada maksud saya. Terima kasih." Aku pun kembali duduk.

Semua orang tampak serius di detik ini. Hening tercipta lebih lama daripada sebelumnya. Pak Herry pun bangkit, "Masyaallah. Masyaallah." Lirihnya, sambil menggaruk-garuk kelopak matanya sejenak. "Ananda Sheiraz yang semoga Allah merahmatimu dan memberkahimu. Ya... memang benar... Biar bagaimanapun, jika anak laki-laki menikah maka... ajaran Rasulullah yang mulia ini mengatakan bahwa ia tetap milik ibunya. Maksudnya... ia tetap memiliki kewajiban untuk berbakti kepada ibunya meski sudah menikah. Surga suami ada di ibunya. Berbeda dengan anak perempuan ya, kalau anak perempuan baktinya tidak lagi kepada orang tuanya melainkan sudah berpindah pada suaminya. Saya memahami itu karena saya juga seperti itu, rumah tangga berkah dan rezeki pun lancar karenanya alhamdulillah," katanya, ia berhenti lagi. Lalu melanjutkan, "Pacaran setelah menikah dan tak serumah dulu ya? Yah... sah-sah saja. Asal, Ellena calon istrimu setuju."

Dari balik cadarnya, Ellena terdiam. Pak Herry, Papanya pun berinisiatif mengoper mikrofonnya agar sampai ke tangan putrinya itu. Barangkali, Ellena ingin mengatakan sesuatu. Mungkin begitu pikirnya. Kami lama menunggu. Mikrofon di tangannya sama sekali tak menerbangkan satu kata pun tuk mewakili perasaannya.

"Saya... setuju tapi..." Setelah sekian lama menunggu, Ellena akhirnya mau membuka suaranya juga, "Sebelumnya, saya ingin mengajukan permintaan pada calon suami saya," aku pun terdiam menyimaknya, "Saya ingin terus bercadar ketika sudah menikah nanti. Itu sudah menjadi pilihan saya. Karena saya merasa risih dan malu ketika di jalan-jalan banyak lelaki memandangi saya tanpa henti. Saya ingin kecantikan saya hanya untuk suami saya seorang." Masyaallah. Betapa terharunya aku mendengar permintaan gadis surga satu itu. Dia bilang hanya untukku saja, ya Allah... "Selain itu, saya punya harapan. Bahwa saya ingin bersama dengan suami saya usai akad nikah. Dan saya mau tujuh hari. Tidak mau hanya tiga hari," lanjutnya lagi.

Alhamdulillaaaahh!! Kupikir dia akan menjawab apa. Huhu... "Tentu. Tentu saja. Karena sesudah itu aku harus kembali ke rumah Mama tuk mengurus kelulusan SMA-ku dan segera mencari pekerjaan. Uang dari kemenanganku bermain game itu entah akan sampai kapan, bukan? Kita masih muda dan... dan kita..."

"Sheiraaaz..." I-itu suara Mama! Mama memotong pembicaraanku. Aku pun menoleh dengan cepat. "Nak, Mama tidak apa-apa. Kau... tinggal saja dengan istrimu. Jenguklah Mama tiap akhir Minggu."

"Tapi, Ma... Ka-kalau begitu setengah tahun saja. Ya! Setengah tahun saja! Sheiraz... Sheiraz belum pernah jadi anak yang benar untuk Mama. Berikan Sheiraz kesempatan untuk berbakti dengan benar, Ma...."

Mama berdiri. Ia tersenyum kalakian berjalan ke arahku. Dipeganginyalah pipi kiriku. Kubalas ia dengan memegangi tangan kanannya itu. Kubalas pula tatapannya. "Sheiraz kan pulang untuk Mama. Sheiraz pulang karena memang sudah janji pada diri Sheiraz sendiri... kalau Sheiraz akan mengurangi game dan tidak akan main game tanpa izin Mama lagi. Itu janji Sheiraz sebelum ada niatan mau menikah, Ma! Menikah ini adalah hal tak terduga bagi Sheiraz. Ini bonus! Ini di luar perkiraan. Tapi niat hati dan janji Sheiraz ke Mama sudah jauh-jauh hari terketik. Jadi, harus dipenuhi bukan?"

Mama dan lainnya pun terdiam, memilih menyimak apa yang mau kuutarakan lagi di sini. Namun Mama masih menatapku dengan berbinar-binar.

"Sheiraz menemukan banyak hikmah dan hidayah ketika memainkan game unik itu. Sheiraz sadar, selama ini... Sheiraz berlebihan dalam bermain. Sheiraz melupakan semuanya. Ibadah, silaturahmi bahkan Mamaku sendiri.... Ma, Sheiraz berdosa sama Mama.... dan... dan sekarang..." Ucapku terputus-putus, "Sekarang setelah... setelah Sheiraz menyakiti Mama... Sheiraz malah pergi lagi dari Mama cuma gara-gara Sheiraz mau menikah. Sheiraz rasa ini tidak adil buat Mama. Sheiraz... bahagia menikahi wanita yang Sheiraz cintai tapi... tapi wanita lain..." Tubuhku pun bergetar, lalu aku terjatuh ke kaki Mama. "Tapi wanita lain itu... Mamaku sendiri... belum Sheiraz bahagiaaakaaann Maaa.... Sheiraz, Sheiraz belum bahagiakan Mamaaa.... Huhuhu." Isakan di nada terakhir kalimatku terdengar begitu menggema.

Bendungan cintaku untuk Mama sudah tak kuasa kutahan-tahan lagi. Wadahku terlalu kecil menampung cinta untuk Mama. Anak lelaki terdurhakanya Mama ini, membuang tangisannya di acara paling sakral dalam seumur hidupnya. Bukan menangis karena haru melamar ataupun menikah. Bukan. Tapi menangis karena dosa-dosanya pada ibunya sendiri. Tak lagi kuindahkan para lisan dan mata di sini. Sebagai anak, maluku telah gugur di musim penuh penyesalan. Tak acuh. Aku sungguh tak acuh.

"Bangun. Bangunlah, anakku." Mama memegang kedua pundakku kemudian menariknya ke atas sebagai kode semata tuk menyuruhku berdiri. Gamis bawah Mama basah karena air mataku melahapnya bagaikan ombak. "Bangun..." kata Mama lagi, pelan. Aku pun berdiri. "Kau begini saja sudah membuat Mama bangga, Nak." Kulihat sebuah senyuman berkembang di wajah Mama. "Kau memang menghilang lama lalu pulang untuk pergi lagi. Tapi, kau kan tidak pergi jauh. Kita masih satu kota, Sayang. Satu kelurahan. Satu kecamatan. Kau... masih bisa mengunjungi Mama... bersama istrimu dan menginap lama nanti. Atau beberapa hari bila kau mau. Nak..." Mama menatapku, "Jangan kau buat susah istrimu. Jangan kau tentukan sekian dan sekian. Jangan... Ya?" Aku pun mengangguk, mataku perih digenangi oleh kesedihan yang dalam, "Mama yakin, istrimu salihah untukmu. Kau akan bahagia dengannya. Mama pun akan lebih berbahagia lagi."

Kupandangi sebentar wajah Mama sebelum aku memeluknya. Rona-rona kesabaran memancar dari wajah lembutnya itu. "Mama..." Aku memeluknya. Dan... mengalirlah cinta. Seakan melalui pelukan erat ini Mama mentransfer wadahnya yang begitu luas kepadaku. Membantuku menadahi cinta di lubuk jiwaku yang sudah tidak tertampung lagi.

****

Pada sebuah meja sederhana. Berbalut biru dan ungu yang sama persis seperti warna tenda dan kursi-kursinya itu. Seseorang duduk dengan mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya dengan terburu-buru. Sesekali orang itu mengelap keringat di dahi dan dagunya. Jas hitam yang melekat padanya ia kibas-kibaskan di bagian kerah yang sengaja semua kancingnya ia buka.

"Emm... Maaf, tolong kipas anginnya jangan muter. Tolong ke saya saja ya!" Pintanya pada salah seorang keluarga Pak Herry yang mengarahkan kipas angin model berdiri kepadanya. "Maaf, tolong kepala kipasnya agak ke atas saja. Yap, makasih." Pintanya lagi, kujelau segala berkasnya pun aman dari terpaan angin. "Yak, mari silakan." Kata orang itu lagi. Ya, dialah sang penghulu yang baru saja datang karena terlambat dua puluh menit. Ia duduk di sisi kanan meja. Kacamatanya ia betulkan sebelum ia mengatakannya pada Pak Herry, yang sudah dari tadi ada di sisi meja terpanjang.

Lihat selengkapnya