Ellena
"Baik, anak-anak. Kita sudahi sampai sini ya. Assalammu'alaikum," ucapku, lembut namun sedikit berteriak.
Secara serentak anak-anak TK ini menjawab salamku, "Wa 'alaikumussalaam warohmatullaahi wa baarokaatuh."
Anak-anak kecil berseragam ungu itu pun berhamburan keluar kelas mendahuluiku. Jilbab-jilbab ungu tua yang lebar itu makin menambah kelucuan mereka saja tatkala kaki-kaki mungil mereka berlomba. Peci-peci ungu tua itu juga sama. Amat serasi dengan seragam ungu mudanya. Membuat kedua ujung sudut bibirku membengkar saat aku menyaksikan mereka memikul riang. Senyumku seolah ditarik oleh dua kupu-kupu yang berpendar-pendar dari dalam cadarku. Mereka pun menembus selembar kain penutup wajahku ini tuk terbang membawaku pada desas-desus yang masih sama.
Apa kau dengar juga desas-desus itu, Sayang?
"Yang mengantar neneknya terus sih jadi aku baru lihat sekarang. Apa itu benar suaminya Bu Ellena? Waaahh, face-nya masih kelihatan muda sekali. Tampan juga," bisik salah seorang orang tua muridku yang hanya melihatmu dari samping saja. "Hidungnya itu mancung sekali ya ampuuunn.... Bu Ellena juga cantik. Tapi... kini bercadar ya duh sayang banget padahal cantik kok ditutupi."
"Yaa... itu sih pasti suaminya sendiri yang tidak mau kecantikannya dinikmati oleh laki-laki lain. Eh, eh! Apa karena Bu guru Ellena cantik ya jadi dia bisa dapat berondong? Hihi." Ujar yang lain.
"Hus! Malah kudengar mereka itu seumuran lho!" Sahut Bundanya Azkia, ia adalah tetangga satu perumahanku.
"Hah? Masa sih? Ga percaya, ah. Suaminya anak muda banget gitu kok!" Sanggah suara ibu-ibu yang pertama tadi. Terdengar jelas sekali seakan ada nada-nada jantungnya bertegun di sana.
Kujelau kembali dua kupu-kupu itu. Mereka terus terbang menuju tepi halaman yang menghadap pintu kelasku. Tempat di mana kau berdiri menungguku. Dua kupu-kupu itu langsung menghiasi wajahmu dengan kerlipannya yang elok. Ditaburkannyalah semesta kebahagiaan yang dapat kurekam dari wajahmu. Hingga percikan cahayanya saja menggurat jauh ke dalam jiwaku.
Kau tersenyum. Sejauh ini kau semangat sekali menjemputku terus. "Bagaimana hari kelima memakai cadarnya, Sayang?" tanyamu padaku usai aku mencium punggung tanganmu.
"Alhamdulillah lancar. Setidaknya lebih baik daripada hari pertama," jawabku, "Guru-guru lain mendukung, paling beberapa orang tua saja yang masih agak... yah kau tahulah hehe."
Kau lantas mengecup keningku. Aku memejam tatkala kau melakukannya. "Sabar ya. Yuk, kita pulang," katamu, sambil menggenggam erat tanganku. Telapak tanganmu yang besar dan kuat, terasa... begitu menggegarkan hatiku. Tak pernah diriku digandeng seorang pria sebelummu. Rasanya, aku amat dicintai olehmu. Rasanya, aku dilindungi sekali. Betapa gagah dan kerennya dirimu di mataku.
Sudah beberapa hari ini kau menjemputku di rumah orang tuaku. Mengantarku pulang pergi dengan menaiki bus. Hari ini, bus yang kita tumpangi cukup ramai. Seluruh kursi telah terisi penuh. Besi-besi menyerupai donat di atas langit-langit bus ini memanggil tangan kita. Membuat kita berdua berdiri dengan berpegangan padanya. Sudah dua belas hari berlalu usai Allah menghalalkan kita, tapi... mengapa rasanya jeritan cinta dalam hatiku terus bertalu-talu?
Kau berdiri menghadapku, menjagaku dari dorongan beberapa penumpang lain yang baru saja masuk. Tubuhmu yang mewangi lavendel khas pria membuatku menunduk karena tersipu. Ya, karena kau memakai wangi kesukaanku hari ini. Ah, kapan kau membelinya? Kucoba mendongakkan daguku. Kau tinggi sekali. Kulihat wajahmu amat gagah. Sama seperti wajah enam tahunmu yang lalu. Aku baru menyadari kau begitu tampan. Setampan hatimu. Setampan keberanianmu mempersuntingku.
"Sayang?" Kau melihat ke arahku. "Kau tahu?" tanyamu. Bus ini bergoyang-goyang, membuat hidungmu yang mancung berkali-kali menyentuh khimar di kepalaku.
"Apa?" tanyaku, lembut.
"Aku sedang memiliki dua keresahan saat ini. Apa kau mau mendengarkannya?"
Aku pun mengangguk.
"Pertama, aku resah karena akhir-akhir ini aku kesulitan untuk godhul bashor alias menundukkan pandangan. Yah... tidak memandang wanita bukan mahram itu sulit sekali jika di jalanan ramai seperti ini. Padahal tanpa syahwat. Aku takut NP-ku berkurang."
Aku tertawa kecil mendengar pertanyaanmu dengan memakai wajah yang sedih seperti itu. Aku pun menjawabmu dengan senang hati, "Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, Sayangku. Dan kita harus menghormati pendapat itu. Tetapi menurutku yang rajih atau yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bolehnya memandang lawan jenis, selain auratnya ya. Wajahnya, misalnya. Asalkaaan... sekadar memandang biasa saja, alias tanpa syahwat. Agama kita memperbolehkan itu, apalagi ada interaksi sosial seperti bertetangga atau jual beli. Boleh, selama tidak timbul fitnah."
"Jika tanpa syahwat tapi tetap timbul fitnah?" tanyamu.
"Maka memandangnya kemudian menjadi haram."
"Tapi, kenapa di dunia game waktu itu terlalu ketat peraturan memandang lawan jenisnya, ya? Game itu terlalu berlebihan tidak, sih?"
"Itu hanya peraturan game biasa, Sayang. Lagipula kurasa, dunia game sengaja di buat seperti itu pun hanya untuk melatih gamer-nya saja. Agar gamer jadi lebih terbiasa menerapkan godhul bashor itu di dunia nyatanya nanti. Meski diperbolehkan namun jika ingin mengalihkan pandangan, tentu itu lebih baik bukan? Apalagi untuk kaum laki-laki, Rasulullah sampai menegur Ali radhiallaahu 'anhu saat memandang wanita bukan mahramnya. Itu lo, yang pandangan pertama diperbolehkan tetapi pandangan selanjutnya haram. Karena hal itu seperti disengajakan tuk memandanginya seolah niat sekali menikmatinya. Ya, saking indahnya wanita bila dibandingkan laki-laki. Oleh karenanya bukan laki-laki yang disuruh pakai hijab, kan?"
Kau mengangguk-angguk. Aku pun menambahkannya lagi, "Syaikh Shalih Al Utsaimin dalam Majmu' Fatawa Mar'ah Muslimah pernah menjelaskan. Ada dalam sebuah hadis, Rasulullah memperbolehkan Aisyah radhiallaahu 'anha menonton orang-orang Habasyah bermain tombak di masjid. Namun Beliau tidak mengizinkan orang-orang itu melihat Aisyah. Karena Beliau membentangkan sutrah atau pembatas agar Aisyah tidak dapat terlihat oleh mereka. Itulah mengapa, wanita lebih dianjurkan salat di rumah namun wanita tetap diperbolehkan salat di masjid dengan syarat berpakaian yang sesuai syariat. Karena seluruh fisik wanita itu indah sehingga lebih berbahaya untuk syahwat lelaki. Berbeda untuk wanita yang secara keumumannya apabila melihat laki-laki, bukanlah hal yang dapat dengan mudah memicu syahwatnya. Ini secara umum lo, ya. Bisa diibaratkan, fisik laki-laki itu kotak. Wanita itu bulat sehingga akan lebih banyak liukan indahnya. Terlepas dari indah tidaknya wajahnya, fisik kaum Hawa jelas lebih aduhai bila dibandingkan kaum Adam kan? Beda lagi hukumnya kalau seorang wanita bernikmat-nikmat dalam memandang wajah tampan laki-laki ya, yang begini jelas haram. Hihi... Kau yang semangat ya. Kau pasti bisa. Dalam hadis hasan At Tabrani, Allah menjamin sebuah surga bagi mereka yang mampu menjaga pandangannya lo," terangku panjang lebar.
"Masyaallah, aku baru tahu."
"Terus?"
"Terus apa?"
"Itu kan keresahanmu yang pertama. Terus, keresahanmu yang kedua apa?" Kedua mataku mengedip saat dengan seriusnya aku menatapmu.
"Hmm... apa yaaa?" Kau menempeli keseriusan di wajahmu tapi tetap saja itu terkesan menggodaku.
"Apa???" Aku langsung mendelik sekian detik dengan bibir yang juga tertekuk sebentar.
Kau pun memajukan wajahmu ke sisi wajahku dan berbisik, "Keresahanku yang kedua. Aku resah, karena setiap saat aku terus melihatmu yang sangat cantik sekali. Aku harus bagaimana?" Spontan, kucubit pelan lengan atasmu. Mendengar kejailanmu itu aku jadi menunduk lagi. Tanpa kata senyumanku memekar di balik cadarku.
Dalam degupan tasbihku ini aku memuji-Nya, betapa indah jawaban-Nya ini untukku. Kau tahu, Sayangku? Sudah sejak SMA aku meletakkan kekagumanku pada dirimu. Kau, yang selalu mengunci pagarmu rapat-rapat dari teman-teman wanita. Kau yang selalu kasar dan menjauhi wanita. Mulanya kupikir sifatmu memang seburuk itu. Ketidaktahuanku saat itu sungguh amat kuyakini yang entah berubahnya akan mengetuk kapan. Ternyata ketika kau menembakku di depan kelas waktu itulah aku menjadi tahu. Bahwa itu semua kau lakukan karena diriku, karena kau ingin menarik perhatianku. Dari awal kau memang sudah menarik perhatianku, Sayang. Sungguh aneh di saat teman-teman sekelas menyalin PR-ku, hanya kau satu-satunya saja yang tidak. Nilaimu selalu buruk, namun kau tetap mempertahankannya. Kau tetap teguh berdiri di atas tonggak kejujuranmu. Itu adalah sesuatu hal yang amat langka. Salah satu komposisi akar amat kokoh yang tertanam dalam sepohon manusia seperti dirimu.
Kau... persis seperti Trellarn Tree. Kau tersembunyi dan tak pernah menjadi yang tertinggi. Tak ada yang tahu siapa dirimu. Kau hanya pohon biasa. Tetapi ketika kau menunjukkan dirimu yang sebenarnya, sinar amat terang darimu menyilaukan semua orang di sekitarmu. Menyisihkan mereka satu per satu dari hatiku. Dan itu... membuatku hanya melihat ke arahmu saja. Ya, kaulah Trellarn Tree-ku. Trellarn Tree-ku yang luar biasa.
Ingatkah kau saat kau apel aku di malam minggu kemarin? Kau bertanya mengapa aku tidak mau menerima lamaran dari lelaki lain.
"Lelaki pertama datang saat aku belum ingin menikah. Lelaki kedua... dia salih, tapi kutolak karena aku tidak cocok dengan akhlaknya. Sebab gaya hidupnya terlalu tinggi. Lelaki ketiga, salih, tampan, dan baik...."
"Kenapa ditolak?" tanyamu, menyelaku.
"Dia bekerja sebagai pelaut."
"Lo, kau kan sangat jago menyelam sewaktu menjadi Luri di Jincininbe. Pekerjaannya yang berhubungan dengan lautan seharusnya cocok denganmu, kan?"
"Ha-ha, apa sih! Kalau suamiku seorang pelaut, aku pasti akan ditinggal-tinggal pergi terus. Aku tidak akan kuat menahan rindu."