“Aku tidak kurus seperti mereka karena aku bukan dari desa ini. Aku ke sini justru untuk menolong mereka,” jawab jin bernama Luri yang menolong kami itu, masih dengan membelakangiku.
“Menolong mereka? Dari apa?” tanyaku lagi, bingung.
Khimar merahnya melambai-lambai digodai angin lautan. “Ikan-ikan adalah sumber makanan utama rakyat Jincininbe,” katanya, mencoba menjelaskan inti masalahnya padaku. “Saat ini, semua ikan-ikan itu dicuri oleh para iblis. Mereka dengan liciknya memasuki teritorial kami secara diam-diam. Dan mendiami zona abisal di sini, yaitu zona lautan terdalam kedua. Letaknya di antara zona batial dan hadal. Aku kini bermaksud pergi tuk menangkap mereka ke sana. Malah aku menemui kalian dan menolong kalian dahulu."
Jadi begitu ya, makna dibalik tatapan menyeramkan mereka saat kesan pertamaku ke sini. Yakni sebuah tatapan kelaparan dan kemarahan yang menjadi satu. Yang tak bisa berbuat apa-apa karena tahu musuh mereka lebih kuat. Yang hanya bisa tertahan di hati saja lalu sisanya terbit di tulang-tulang dan mata-mata mereka. Gadis jin bernama Luri ini pun langsung pergi menuruni tangga kecil teras ini dan lanjut melangkahkan kakinya di atas permukaan air laut. Uniknya, ia mengenakan sepatu kets merah jambu yang keren. Sama halnya seperti kaum manusia, fesyen pun tak terlepas dari kaum jin.
Aku bangkit dan mengejarnya, “Tunggu dulu...!”
“Sheiraaazz!” Kudengar NPC Fida meneriakiku.
“Aahh!!” Baru beberapa langkah, aku tercebur lagi. Ternyata tanpa sadar aku melewati teras rumah ini. Aku tenggelam. Tangan dan kakiku meronta-ronta di dalam air yang terasa berat. Kucoba menahan napas sekuat mungkin. Tubuhku tiba-tiba mengeluarkan sinar. Dan ada sebuah sinar lagi di dekatku. Itu Fida! Dia mengikutiku sampai melompat ke sini rupanya.
“Sudah tak perlu lagi kalian menahan napas di sini.” Sebuah suara pun mengagetkan kami. Suara Luri. Dia ada di hadapan kami.
“Apa?” Tanyaku, tak percaya. Namun suara yang kukeluarkan itu amat mengejutkan diriku sendiri. Ya, aku bisa mengeluarkan suara di dalam air!
“Aku sudah menolongmu dan temanmu itu sekali lagi," kata Luri sembari tersenyum. Bila kuamati, dari tadi pandangan matanya tak pernah sekali pun menuju ke mataku. Ia seperti melihat ke arah leherku atau rompiku. Benar juga, sifat anehnya ini entah kenapa sangat mirip dengan Ellena.
“Wah, benar! Aku bisa bernapas di dalam air!” Seru NPC Fida, ia pun terpukau dengan keajaiban yang ia rasakan ini.
“Kenapa kalian mengikutiku? Ini berbahaya!” Kata Luri, melarang kami.
“Aku tidak mengikutimu. Aku hanya tak sengaja terjatuh saja, dan Fida... Fida... dia ke sini juga bukan mengikutimu tapi karena mengikutiku,” kataku, beralasan.
Luri menghela napasnya, “Baiklah. Terserah kalian saja.” Katanya, kemudian pergi meninggalkan kami. Aku pun mengikutinya dengan gaya berenang yang mendadak bisa begitu saja aku lakukan. Fida turut menyusul.
“Katanya kau tidak mau mengikutiku?” sindir Luri. Khimar merahnya yang sangat lebar di dalam air itu tampak anggun bergelombang. Dengan ikan-ikan cantik yang menjadi latar belakangnya.
“Yah, sepertinya aku harus membantumu. Iblis itu pasti sangat berbahaya untukmu seorang diri, bukan?" jawabku.
“Mereka sebenarnya adalah utusan dari Kerajaan Iblis yang Mendiami separuh dari wilayah Segitiga Masalembo kami. Mereka mengklaim wilayah kami sebagai wilayahnya juga. Padahal ikan bukanlah sumber utama makanan mereka. Memang sifat dasar mereka sajalah yang suka mengganggu kehidupan para jin Jincininbe.”
“Dan juga mengganggu manusia tentunya,” tambahku, “Dengan godaan hawa nafsu yang terrrr-a-mat sa-ngat dah-syat.”
“Hihi... Tumben kau benar, Shei....” NPC Fida meledekku. Aku hanya terkekeh mendengarnya.
“Apa kau punya senjata?” Luri bertanya padaku tanpa menoleh.
Aku menggeleng, “Tidak. Yah, sebenarnya aku ini disuruh ke Kerajaan Jincininbe. Tapi terdampar di sini gara-gara Robot Nakhoda kami yang eror itu.”
“Jangan-jangan, kau adalah... Sheiraz? Sheiraz Putra Elderns?”
“Hee? Kenapa kau bisa tahu?”
“Sudah ada dalam ramalan. Akan datang seorang anak manusia yang bernama seperti itu memasuki wilayah kami dengan selamat. Tak kusangka, ramalan itu terjadi juga pada hari ini.”
“Luar biasa. Apa aku sekeren itu?”
“Tidak. Biasa saja.”
“Oh...”
“Pfftt...” NPC Fida terdengar menahan tawanya lagi. Kali ini aku memberungut.
Tapi hatiku langsung ceria kembali, pemandangan yang ada di bawah laut ini memukau hatiku. Ya, biota laut lumayan juga di sini. Ikan-ikan cantik beraneka warna berenang di sekitar kami. Namun jumlahnya amat sedikit, tak seperti yang aku tonton di televisi yang biasanya ada banyak. Mungkin hanya ada belasan saja di sini. Tidak puluhan atau ratusan. Sepertinya kami masih berada pada zona neritik atau epipelagik yang keadaan lautnya masih dikenai sinar matahari hingga kedalaman 200 meter. Kurasa tak ada zona litoral bagi wilayah Jincininbe, sebab tak ada tepian atau pantai—yang aman—di kawasan Segitiga Masalembo.
“Hei, apakah rakyat Jincininbe memakan semua jenis ikan di dalam laut ini?” tanyaku, karena membayangkan betapa sedihnya bila banyaknya ikan-ikan hias di sini juga ikut menjadi santapan mereka.