“Lyra!” teriak Reno, kemudian berlari kencang ke arah lyra sambil meraih balok kayu yang ada di pinggir jalan. Membawanya dalam upaya sebagai senjata untuk melindungi diri.
Septi dan Daffa yang sudah berada jauh di depan, menyaksikannya. Menyaksikan apa yang baru saja terjadi pada Lyra. Meskipun begitu, mereka berdua tetap berlari kencang dan menatap lurus ke depan. Menuju ke suatu tempat yang sudah disepakati sebelumnya. Tak bisa dipungkiri lagi, memalingkan wajah pada teman yang sedang membutuhkan pertolongan adalah hal yang sulit untuk dilakukan, tapi saat ini mereka tidak punya pilihan lain selain tetap pada rencana. Meskipun mereka sangat mau menolong.
Meninggalkan Lyra dan Reno di belakang memang terasa berat. Sangat berat. Ada air mata yang harus ditahan, ada rasa sesak di dada yang harus dikendalikan. Tekad bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Kelimanya sudah bertekad. Sekalipun harga dari semua tindakan mereka adalah nyawa, maka nyawalah yang akan mereka serahkan demi tercapainya tujuan mereka. Tidak ada yang sia-sia. Tidak boleh ada perjuangan yang sia-sia.
Pengorbanan diperlukan untuk terwujudnya sebuah impian yang mulia. Hal itulah yang membuat Septi dan Daffa tidak bisa menyerah walau rasa lemas mulai menyerang kaki mereka. Walau gemetar merayapi tubuh mereka. Dan walau rasa takut akan tertangkap menyelimuti mereka.
Apa yang terjadi pada Lyra sebenarnya diluar perkiraan. Saat rencana disusun, tidak satu pun kejadian mengerikan yang terjadi dari awal rencana masuk dalam daftar risiko yang akan menimpa mereka. Malah dalam penyusunan rencana, apa yang disebut risiko tak pernah dicatat. Penekanan pada kalimat 'harus berhasil, tidak boleh ada yang sia-sia.' sangat memengaruhi mental semuanya. Seperti memacu semangat mereka. Meskipun sang penyusun strategi tak mengatakan apa saja bahaya dan risiko yang mengintai mereka dalam rencana yang sudah disusun matang-matang ini, tak satu pun dari mereka juga ada yang mengajukan pertanyaan tentang hal itu. Sebuah pertanyaan yang mendasari keragu-raguan. Mereka semua seperti sudah mengetahuinya. Mengetahui akibat dari perbuatan mereka kedepannya.
Karena harus tetap pada rencana, mereka berdua pun terpaksa mengabaikannya. Memalingkan wajah seolah tidak mengenal mereka. Tetap berlari sekuat tenaga. Tetap melihat ke depan dan melakukan sesuai apa yang sudah direncanakan dan sudah disusun matang-matang sebelumnya. Sekali dua kali tubuh Septi menggigil, begitu juga dengan kaki Daffa yang mulai lemas karena lelah terus berlarian. Tidak ada pilihan lain. Apapun yang terjadi mereka berdua harus berhasil agar semuanya tidak sia-sia. Agar semua usaha dan pengorbanan teman-teman mereka tidak sia-sia. Apapun yang terjadi.