Pukul tujuh malam ruang makan sudah dipenuhi segala jenis makanan yang sangat menggugah selera. Di atas meja makan, semua makanan yang dipersiapkan untuk makan malam sudah dihidangkan. Piring dan gelas, sendok dan garpu, pisau khusus untuk mengiris daging juga sudah disiapkan. Peralatan makan yang terbuat dari perak dan memiliki ukiran yang artistik. Menandakan mereka tidak hanya mencari peralatan makan yang mahal, tapi juga mencari yang aman bagi tubuh mereka.
Ada rendang, sup jagung, sup buntut, daging asap, ayam goreng, bubur ayam yang tentunya disukai Sonya meski bukan menu makan malam yang tepat. Dan beragam jenis buah-buahan di atas mangkuk khusus berukuran besar. Segelas susu putih sudah tersedia di depan Sonya. Dave, karena tidak mau yang aneh-aneh hanya meminta secangkir teh hangat. Untuk Albert dan Carol, karena tidak bisa meminum bir di depan Sonya, sebagai gantinya mereka berdua meminta secangkir kopi panas pada pelayan. Tidak sampai setengah jam, pelayan datang membawakan dua cangkir kopi panas milik Albert dan Carol, serta teh hangat Dave di atas nampan perak yang bersih.
Jam terus berdetak, mengejar dan mendorong agar manusia tidak lupa dengan aktivitas mereka. Tidak adanya televisi di ruang makan membuat suara detak jam di dinding terasa lebih nyata dan mengganggu. Dave yang pertama menghabiskan makanannya. Mengambil gelas kosong, lalu menuangkan air putih sampai setengah gelas. Dan meminumnya. Karena masih panas, Dave menyeruput teh miliknya sedikit demi sedikit.
Melihat kakaknya yang sudah selesai lebih dulu, Sonya pun termotivasi. Kini Sonya mempercepat proses mengunyahnya. Lebih banyak nasi dan lauk yang dimasukkan ke mulutnya, lalu mengunyahnya sambil melirik tajam Dave yang sedang santai menyeruput teh hangatnya. “Jangan buru-buru seperti itu. Nanti kau tersedak.” Dave memperingatkan.
Sonya tak menghiraukan perkataan Dave. Selesai menelan ia sekarang berada di kondisi di mana tinggal tiga suapan lagi yang tersisa di piringnya. Sonya melahapnya. Memasukkan semuanya ke dalam mulutnya agar lebih cepat selesai. Mengangkat piring lebar warna putih itu ke atas mulutnya dan menggerakkan sendoknya dari atas ke bawah.
Dave memejamkan mata sambil menggeleng melihat tingkah Sonya.
“Aku sudah bilang jangan buru-buru. Ayah dan ibu juga belum selesai. Tak ada yang akan meninggalkanmu.”
Sonya yang sedang sibuk mengunyah secepat mungkin tidak menanggapi perkataan Dave barusan. Selesai. Sonya pun langsung meminum segelas susu hangat miliknya. Hanya tiga kali mengambil jeda untuk bernafas, Sonya akhirnya menghabiskan segelas susu putih miliknya. Tak meninggalkan sisa. Baik di gelas bening itu maupun di sekitar bibirnya. Kemudian Sonya melirik Dave sambil tersenyum menantang.
Dave hanya tersenyum dan menggeleng melihat tingkah laku Sonya.
Selesai makan, Sonya langsung turun dari kursinya dan berlari keluar dari ruang makan. “Jangan berlari Sonya!” teriak Dave memperingatkan Sonya yang sudah tak terlihat lagi keberadaannya di ruang makan.
Dave tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.
“Dave.” Panggil Carol.
Dave menoleh, “Iya?” jawab Dave berdiri di samping meja makan.
“... Bisakah kau lebih ramah pada Cinthya?” katanya sambil mengunyah daging ayam yang baru saja masuk ke mulutnya.
“Ya?”
“Kemarin dia bilang padaku kalau kau dingin sekali padanya.”
Chintya? Ah, dia.
“Aku tidak tahu kalau perempuan yang menyapaku kemarin di sekolah Chintya.”
“Ibunya rekan kerjaku. Kita sudah bersahabat cukup lama. Dan kami mau anak-anak kami juga bisa bersahabat sama seperti kami.”