Bocah itu masih menangis. Dengan matanya yang basah karena air mata, dia perlahan berdiri sambil mengusap air mata yang mengalir ke pipinya. Menatap sedih ke arah pria paruh baya itu. Sayangnya, pria paruh baya itu tak menggubris hati nurani yang seharusnya sudah mengganggu dadanya. Pria paruh baya itu tetap memasang wajah kesal dan memarahi serta memaki gadis cilik itu. Tak lupa ia memaki dengan menunjuk-nunjuk bocah itu dengan tangannya yang besar. Rambutnya sedikit demi sedikit berantakan karena masih terus memarahi bocah itu. Koper yang dibawanya naik setinggi dadanya, dan kemudian diayunkan ke arah bocah itu.
Orang-orang yang lewat di trotoar itu jumlahnya tak terlalu banyak. Tapi kalau memang mau menolong pasti bisa dilakukan tanpa ada keraguan. Dave melempar ranselnya begitu menyadari koper pria paruh baya itu terangkat cukup tinggi. Kalau hanya untuk menjauhkannya dari si gadis cilik itu, rasanya tidak mungkin, koper itu pasti akan digunakannya untuk memukul bocah itu. Pikir Dave.
Ransel yang dilemparkannya mengenai wajah pria paruh baya itu, dan saat itu juga Dave berlari ke arah gadis cilik itu untuk membawanya menjauh dari pria paruh baya di sampingnya yang hendak memukulnya.
“Sudah, sudah. Jangan menangis.” Kata Dave, berusaha menenangkan gadis itu agar berhenti menangis. “Biar kubelikan lagi jeruknya.” Kemudian pandangan Dave beralih ke pria paruh baya itu.
Pria itu balik menatapnya dengan amarah yang memuncak. Alisnya berkerut, seolah hampir meledak, pria itu mengarahkan telunjuknya pada Dave. Selanjutnya, rentetan kata-kata kasar itu keluar dengan lancar dari mulut pria paruh baya itu. Dave tak menanggapi atau membalas perkataan pria itu. Dave justru mengabaikannya. Sambil terus mengelap luka di tangan gadis itu yang disebabkan karena jatuh tadi, Dave menanyakan apakah dia baik-baik saja. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut.
Gadis itu mengangguk. “Mm.” Lalu mengusap pipinya untuk yang terakhir, karena selanjutnya Dave yang mengusap kedua pipinya yang basah karena menangis tadi.
Dave tersenyum, “Nah, ayo kita beli lagi jeruknya. Biar sekalian kupilihkan jeruk-jeruk yang manis.” Katanya sambil mengelus-elus kepala gadis itu.
Gadis cilik itu menerima ajakan Dave. Mungkin usianya sama seperti Sonya. Saat tangannya digenggam gadis cilik itu, Dave jadi teringat dengan rumahnya dan bertanya-tanya apakah Sonya sudah sampai di rumah.
Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Dave menoleh ke arah pria paruh baya itu dan mengambil ponselnya. Melihat daftar kontak di ponselnya yang baru saja diisinya tadi saat di sekolah. Terbukti kalau nasihat ibunya semalam memang berguna.
“Jim... Ini dia.” gumam Dave memencet tombol panggil setelah memilih nomor Jimmy dari sederet nomor milik teman sekelasnya.
“Jimmy,” sapa Dave pada teman sekelasnya untuk yang pertama kalinya. “Aku mau mencobanya, berikan aku nomornya.”
“Terima kasih.” Dave kemudian menutup telepon.
Pria paruh baya itu masih berdiri di tempatnya semula. Dengan wajah kesalnya, dia masih memaki gadis cilik itu serta Dave. Karena ketakutan, bocah itu pun berlari bersembunyi di belakang Dave. Mengintip dari balik punggung Dave yang sedang berusaha menelepon lagi. Menelepon nomor yang baru saja didapatnya dari Jimmy.