Dave mengangkat tangannya memberi isyarat pada Jeny. “Panggil saja Dave. Kalau tidak ada orang-orang bodoh, panggil aku Dave.” Katanya mengulas senyum.
Jeny tersenyum dan mengangguk. “B-baik... Dave.”
“Tampaknya Sonya sudah berbuat yang aneh-aneh padamu.”
Jeny terkekeh. “Sepertinya Sonya suka menggambar.”
Dave tertawa. Dave dan Jeny tertawa. Suaranya memantul sampai terus berdengung di telinga mereka.
“Apa kau dijemput hari ini? Hari ini kau pulang terlambat karena Sonya.”
Jeny membilas wajahnya, lalu mengelapnya dengan handuk. “Tidak. Hari ini aku tidak dijemput.”
Dave tidak bisa berbohong tentang perasaannya. Tidak mungkin Dave tidak merasa senang dengan jawaban Jeny barusan. Terlintas di pikiran Dave untuk mengambil kesempatan ini. Mengantar pulang Jeny sekalian mencari tahu di mana rumahnya. Namun jam makan malam hampir tiba. Dave tidak bisa pergi begitu saja. Apalagi kalau jarak rumah Jeny cukup jauh dari rumahnya.
Dave mempertimbangkannya dalam waktu yang singkat. Bukan karena dia bisa dengan cepat memutuskan, melainkan karena memang dia hanya punya waktu sebentar. Hanya sampai Jeny keluar dari toilet.
Jeny selesai membersihkan wajahnya. Sudah tidak ada lagi riasan heboh Sonya di wajahnya. Jeny kemudian tersenyum di depan cermin. Akhirnya selesai merapikan diri. Sementara itu, Dave masih di dalam toilet. Kehadirannya tidak dihiraukan oleh Jeny yang sibuk membersihkan wajahnya. Hal itu juga yang membuat Dave jadi punya tambahan waktu untuk membuat keputusan.
Dave menatap Jeny yang sedang bersiap-siap keluar dari toilet, sambil memikirkan keputusan apa yang harus ia ambil, Dave memandang Jeny dengan asmara yang membara dan bergejolak. Rasa ingin menjadi lebih dekat terus mendorong Dave untuk tak henti-hentinya berusaha mendekati Jeny. Entah dengan membuatnya kagum atau menggodanya dengan terus memberikan perhatian.
Mata Jeny akhirnya bertemu dengan mata Dave. Tatapan hangat Dave tampaknya sampai kepada Jeny. Keduanya kemudian tersenyum. “Mau mengantarku pulang?” tanya Jeny saat saling beradu pandang dengan Dave.
Tanpa berlama-lama, Dave langsung menyanggupinya. Dave tersenyum lebar, walaupun ia belum sampai pada kesimpulan tentang apakah dia harus mengantar pulang Jeny atau tidak.
“Maaf, aku tidak punya motor untuk mengantarmu.”
“Tidak apa-apa. Aku biasa naik angkutan umum juga.”
“Omong-omong, kau sudah berapa lama kerja menjadi pengasuh?”
“Tidak lama, baru....” Jeny mencoba mengingat lagi kapan ia menjadi pengasuh Sonya. “Sekitar dua atau tiga hari yang lalu. Kalau tidak salah.”