“Aku bisa menebaknya sih kenapa, tapi bisa saja tebakanku salah. Keluargamu punya simpanan kopi sangat banyak, kenapa kau membeli satu bungkus kopi instan di warung? Pecinta kopi pun pasti lebih menyarankan untuk meminum kopi murni ketimbang kopi instan yang dijual di warung-warung. Kalau kau mengambilnya sedikit tidak akan berpengaruh banyak, jadi kau tidak akan ketahuan. Di dapur juga ada alatnya, aku bisa membuatkannya untukmu. Kenapa?”
“Aku tidak tahu cara membuatnya, karena yang kutahu kopi itu pahit. Daripada aku membuang-buang kopi, lebih baik aku membeli yang sudah dikemas dan diracik saja. Mungkin besok-besok aku bisa memintamu membuatkannya untukku.”
“Yah, itu tidak masalah. Dengan senang hati akan kubuatkan.” Jawab Jeny.
Dave memandang Jeny. “Jeny, kau tahu?”
“Tahu apa?”
“Kalau rambutmu tergerai, kau sudah seperti pemilik rumah ini.”
Jeny tertawa dengan topik pembicaraan yang tak diduga-duga itu. “Benarkah?”
“Hm,” Dave mengangguk setuju. “Entah kenapa, dibanding aku dan Sonya, sikapmu yang lebih seperti anak dari keluarga konglomerat.”
“Kau bilang sikapku, lalu bagaimana dengan rambutku? Apa hubungannya rambut tergerai bisa tampak seperti anak konglomerat?”
“Perempuan semuda dirimu lebih cocok dengan rambut tergerai. Mungkin untuk orang seusia ibuku terlihat elegan kalau rambutnya digulung. Sedangkan kau, kesanmu akan kuat sekali dan tampak sangat elegan kalau kau memakai gaun dengan rambut tergerai. Percaya padaku.”
“Oh, Dave. Sejak kapan kau percaya diri sekali tentang fesyen?” Jeny tertawa geli. “Seingatku, sejak pertama bekerja di sini, aku tak pernah melihatmu peduli dengan fesyen. Sonya yang tertarik dengan riasan bahkan tak kau tanggapi dengan antusias.”
“Ya itu karena aku tidak tertarik dengan yang namanya riasan. Sebentar.” Dave berjalan ke arah rak makanan. Mengambil sebuah camilan lalu kembali ke tempat duduknya. Dave menyodorkan camilan ke Jeny.
“Dave, kau baru saja membicarakan fesyen perempuan. Kau baru saja menyarankanku membiarkan rambutku tergerai agar tampak lebih elegan. Untuk perempuan, yang namanya riasan itu tak jauh dengan fesyen. Seperti apa riasanmu, belum tentu pas dengan pakaianmu. Seperti sebuah momen. Ada dandanan yang mencolok dan ada juga yang biasa. Ada riasan tebal, ada riasan tipis. Sama dengan pakaian, ada yang cocok dipakai saat pesta, ada yang tidak.” Jeny menjelaskan.
“... Kau ternyata lebih paham dari dugaanku.” Ujar Dave sambil terus mengunyah untuk menutupi rasa malunya.
“Yah, mungkin Jeny Forestein juga tidak buruk.” Ujar Jeny meminum kopinya dengan sorot mata tertuju pada Dave.
Dave yang semula tidak menyadarinya hanya terus mengunyah camilan di hadapannya. Saat menoleh, yang mana Jeny masih meminum kopinya sambil menatapnya, sontak membuat wajah Dave memerah dalam sekejap. Ada senyum manis yang mengintip di balik cangkir itu ternyata, dan Dave melihatnya. Mulutnya yang sibuk mengunyah pun terhenti sesaat ketika rona merah merayap di wajahnya.
Sedetik kemudian Dave tersadar ketika Jeny meletakkan cangkirnya. “Pukul sembilan, tak terasa ya?” kata Jeny setelah melihat jarum jam sudah menunjuk angka sembilan lewat lima menit.
“Y-ya.”
“Kau masih belum selesai?”
Dave menggeleng.