Chintya berdiri dengan kegugupan. “Menunggumu? Tidak, a-aku sedang menunggu jemputanku. Ngomong-ngomong, siapa dia?” Chintya menunjuk Lyra dengan tatapannya.
Lyra tersenyum hangat pada Chintya. “Hai.” Sapanya sambil mengangkat telapak tangannya yang halus.
“Dia teman sekelasku.” Jawab Dave.
“Senang akhirnya bisa dianggap teman.” Sindir Lyra memandang ke kejauhan. “Aku ada urusan, kalau begitu aku duluan ya? Daa....” Lyra berlalu pergi menjauh hingga punggungnya tak terlihat lagi dalam pandangan Chintya.
“Ng, baiklah. Kalau kau memang tidak menungguku, aku duluan.” Dave berjalan melewati Chintya, saat sudah beberapa langkah di depan Chintya Dave melambai dan tersenyum.
Chintya yang tak bisa mengendalikan rasa gugupnya hanya terdiam melihat Dave menjauh, meninggalkan dirinya. Tanpa sepatah katapun terucap saat Dave melangkah pergi. Berdiam diri seperti patung dengan kegugupan yang tak terkendali. Melihat dari kejauhan sambil berharap akan mendapatkan sebuah kesempatan lagi di lain waktu.
Lagi-lagi, Chintya gagal memanfaatkan peluang yang ia punya.
Dave kembali pulang dengan berjalan kaki. Dan tentunya Dave lagi-lagi tidak mengikuti kegiatan tambahan di kelasnya. Memang bukan kegiatan yang wajib diikuti, tapi cukup menyita waktu saat melakukannya. Untuk orang yang memiliki berbagai macam ide dan bosan setelah pelajaran selesai, kegiatan tambahan bisa menjadi ajang penyaluran kreativitas.
Langkah Dave terhenti di depan toko saat menyusuri jalan yang biasa ia lewati sepulang sekolah. Tidak ada yang spesial dari toko itu. Catnya sendiri bahkan hampir hilang. Hal yang menghentikan Dave adalah karena itu sebuah toko baju. Dan Dave baru menyadari adanya toko itu di sana.
Dave menatap toko itu lekat-lekat. Sebuah toko yang terletak di pinggir jalan, dengan kaca raksasa yang digunakan untuk memperlihatkan pakaian yang dijual. Dave mendekat ke depan kaca itu. Melihat pakaian-pakaian yang bisa dilihatnya. Pengunjung yang datang dan berkeliling secara bergantian di dalam membuat Dave kesulitan melihat pakaian yang lain. Tak lama kemudian Dave sadar, sadar kalau dia sudah berperilaku aneh di depan toko tersebut.
Bukannya masuk untuk melihat-lihat, Dave justru melihat pakaian di dalam toko itu dengan mendekatkan wajahnya pada kaca raksasa itu. Setelah menyadari itu, Dave berangsur mundur dan melihat ke sekelilingnya. Saat itu juga, ada seseorang yang nampak dalam pandangan Dave. Dia adalah bocah yang waktu itu ditolong Dave. Bocah perempuan yang bermasalah dengan pria berjas di pinggir jalan.
Kali ini, bocah itu tidak membawa sekantung penuh jeruk. Yang dia bawa saat ini adalah uang. Pecahan dua ribu dan lima ribu. Tangan bocah itu penuh dengan uang, dan sibuk menghitung sambil berjalan. Dave mencegatnya.
“Halo.” Sapa Dave ramah.
Bocah perempuan itu berhenti dan mendongak. Ekspresi wajahnya kemudian perlahan berubah terkejut. “Woah, k-ka-kakak!” serunya girang. “Apa yang kakak lakukan di sini?”
“Aku baru pulang sekolah. Kau sendiri? Kenapa kau membawa banyak sekali uang?”
“Uang ini?” tanya bocah itu sambil menunjukkan dengan jelas segepok lembaran uang kertas di tangannya. “Paman yang di sana tadi memintaku untuk membantunya. Setelah selesai, paman itu lalu memberiku uang ini.” Jawab bocah itu ceria.
“Ooh, membantu apa memangnya?”