Mengabaikan hal-hal seperti perasaan bisa dengan mudah dilakukan Dave. Jadi tak sulit untuk Dave mengatasi perempuan-perempuan seperti Chintya. Tentu Chintya bukan satu-satunya perempuan yang jatuh cinta pada Dave. Menjadi laki-laki yang banyak disukai perempuan tidak harus populer. Dave tidak masuk kegiatan ekstra manapun. Dave juga jarang bergaul, bisa dibilang Dave lebih suka menyendiri. Perasaan bencinya pada perangai teman-teman sekolahnya mendukung keputusannya untuk menjauh dari mereka semua. Tidak ada yang akan pernah tahu apa yang akan diperbuat penjahat dengan harta kekayaan setara presiden. Bahkan beberapa diantaranya ada yang lebih kaya dari presiden.
Satu setengah tahun Chintya mulai mendekati Dave, dan Dave selalu berhasil menghindari Chintya selama satu setengah tahun itu. Tiba-tiba, Chintya melihat Dave berjalan bersama seorang perempuan saat hendak keluar sekolah. Pikiran Chintya tidak mungkin bisa tenang begitu saja. Ditambah, Dave mengatakan kalau perempuan itu adalah teman sekelasnya. Dalam satu setengah tahun itu Chintya tentu sudah mengetahui beberapa hal tentang Dave. Salah satunya tentang Dave yang anti-sosial. Ucapan Dave itu membuat hati dan pikiran Chintya semakin gelisah. Kehadiran Lyra ternyata juga merubah apa yang ada di sekitar Dave.
Jam istirahat, di kantin. Dave sedang duduk sendiri sambil menyantap bekal makan siang yang ditemani segelas jus alpukat segar. Dave kini sudah tak memikirkan apa maksud kehadiran Lyra di dekatnya. Dave sudah tidak peduli lagi. Tak lama kemudian Chintya menghampiri Dave. Duduk di depannya sambil mengendalikan rasa gugup yang menyerangnya. Seperti yang sudah diduganya, Dave duduk sendirian di kantin yang ramai.
“Hanya sendirian? Di mana temanmu yang kemarin.” Chintya memulai dengan canggung.
Dave meletakkan gelas yang berisi jus alpukat. “Mm, begitulah. Aku tidak mengharuskan temanku untuk selalu berada di dekatku lagipula.”
Chintya mengangguk paham.
“Kau tidak memesan?”
“Hm? Ah, tentu ak—”
Dave bangkit. “Kalau begitu aku duluan ke kelas. Sampai jumpa.” Kata Dave tersenyum ramah.
“Eh? Gagal lagi?” Chintya mengacak-acak rambutnya.
Setelah pergi dari kantin, Dave berjalan kembali ke kelas seperti perkataannya. Melintasi lorong sekolah yang ramai. Menyempatkan melirik kiri dan kanannya. Dave juga penasaran apa yang sedang mereka semua bicarakan. Apa yang sedang mereka obrolkan hingga memenuhi lorong sekolah. Lorong sekolah memang biasanya ramai. Dave tidak terkejut lagi tentang itu. Sudah wajar jika banyak siswa dan siswi yang bersenda gurau maupun mengobrol di lorong sekolah. Itu sudah lumrah. Tapi ada kalanya Dave penasaran dengan apa yang mereka bahas. Kenapa bisa seasyik itu. Apakah itu sesuatu yang baik? Atau buruk?
Informasi sangat berguna dalam merencanakan sebuah tindak pencegahan. Dave tahu, bahwa orang-orang di sekitarnya itu bisa saja adalah iblis di kemudian hari. Meski tampilan fisik mereka tidak lebih kuat dari para kuli bangunan, mereka punya uang yang bisa membuat dunia bergerak. Tidak peduli fisik mereka yang lemah dan isi kepala mereka yang ternyata kosong. Mereka masih punya uang yang berada di puncak rantai makanan. Apapun bisa dikendalikan dengan uang. Apapun bisa dikuasai dengan uang. Apapun bisa dihancurkan dengan uang.
Di depan kelas, Dave melihat Lyra yang sedang tertawa sendiri di hadapan ponselnya. Lyra cekikikan sampai-sampai tidak menyadari Dave sudah melewatinya saat masuk ke kelas. Dave berlalu begitu saja. Tidak ada gunanya juga mengganggu dia, batin Dave.
Bel sekolah kemudian berbunyi, Lyra pun masuk ke kelas.
“Kau sudah di sini? Kapan kau masuk?” Lyra duduk dengan raut wajah penasaran.
“Baru saja.” Jawab Dave.
“Benarkah?”