Tidak ada di ruang tamu. Suara hanya terdengar dari ruang makan saat pintu yang terbuat dari mahoni itu terbuka. Para pembantu pun terlihat mondar-mandir dari dapur ke ruang makan. Membawa sejumlah minuman dan makanan ringan. Mungkin hampir selesai rapatnya. Ada sedikit niatan Dave untuk menguping, tapi tidak jadi karena Dave menemukan sesuatu di dekat ruang makan.
Tampak Sonya dan Jeny sedang bermain di dekat ruang makan. Kadang Sonya mepet hingga ke dinding atau pintu ruang makan.
“Kalian sedang menguping?” tanya Dave langsung tanpa basa-basi.
Sonya menoleh dan terkejut sampai terjatuh menubruk dinding yang keras. Jeny tidak terlalu terkejut melihat kehadiran Dave, suara Dave memang sempat membuatnya terkejut, tapi pertanyaannya yang langsung pada intinya sesaat membuat mata Jeny sedikit lebih besar dan alisnya terangkat dengan terpaksa.
“D-Dave!” seru Sonya.
Suara yang terdengar seperti gumaman di ruang makan kini terhenti. Tampaknya Sonya sudah menyadarkan mereka kalau di luar ruang makan ada yang mendengar percakapan mereka. Carol kemudian muncul dari balik pintu ruang makan. Pandangannya bergantian menatap ke arah Dave, Sonya, dan Jeny. “Apa yang kalian lakukan di sini?” dahinya berkerut.
Carol tampak berusaha menahan emosinya. Carol memejamkan mata lalu menggeleng melihat tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya dengan cepat. “Dave,” katanya menatap Dave. “Ajak Sonya bermain di halaman belakang. Juga Jeny, jangan sampai aku melihat ada yang bermain lagi di sekitar sini.” Ujarnya lalu kembali ke dalam. Pintu ditutup rapat-rapat. Suara yang seperti gumaman sudah terdengar lagi. Sedangkan suasana di tempat Dave, Sonya, dan Jeny berada masih hening. Omelan Carol ternyata cukup memberi dampak untuk membuat suasana menjadi hening.
“Ayo, ikut aku.” Ajak Dave. “Aku punya sesuatu untuk kalian berdua.”
Dave membuka ranselnya dan mengeluarkan beberapa plastik yang berisi pakaian yang tadi ia beli di butik.
“Wah, kau membelikanku baju Dave?” tanya Sonya. Mengangkat dua baju barunya. “Bagaimana bisa kau tahu ukuran bajuku?”
Wajah Sonya terlihat bersinar di hadapan baju barunya. Berseri-seri dan tampak sangat senang. Sedetik kemudian Sonya melompat-lompat dengan tangan terangkat yang masih menggenggam baju barunya.
Dave menghentikan Sonya. Memegang lengannya. “Jangan melompat-lompat, suaranya bisa terdengar sampai ke bawah soalnya.”
“Heh? Rumah ini rumah mewah, memang bisa terdengar ya suara kakiku sampai ke bawah kalau aku melompat-lompat?” Sonya bertanya dengan ceroboh.
“Sonya, meski rumah ini harganya mahal pun masih tetap bisa terdengar suara kakimu kalau kau melompat dengan keras seperti itu.”
Dave berpaling ke Jeny.
“Bagaimana? Kau suka?”
Jeny membuka plastik yang membungkus rapi pakaian itu. Isinya ternyata sweter. Dua buah sweter berwarna merah muda dan hitam. Jeny mengambilnya, lalu menempelkan sweter itu ke badannya. “Aku terkejut kau bisa tahu ukuran tubuhku.” Katanya.
“Tentu Dave harus tahu, kalau tidak begitu dia tidak bisa menjadi suami yang baik.” Celetuk Sonya sambil mencoba-coba baju barunya.
“Sonya, tolong jangan bercanda seperti itu.” Kata Dave.
“Iya, iya maaf. Tapi kau senang kan?” Sonya menoleh ke arah Dave dengan senyum manis tersungging di wajahnya.
Dave mendadak gugup, Jeny masih berada di dekatnya. Entah bagaimana, saat Dave gugup, Jeny yang sedang sibuk melihat-lihat sweternya juga menjadi gugup.
“I-ini b-bagus. Ini su-sungguh untukku?” Jeny terbata-bata.
“Y-ya. Itu untukmu. Aku harap kau s-suka.” Kata Dave menggaruk pelipisnya.
Suasana hening sebentar. Lalu, “Aku mau ke kamarku dulu, nikmati waktu kalian.” Dengan ceria Sonya berlari keluar. “Aku mau mencoba baju baruku.” Katanya saat berlari keluar.
Jeny membolak-balik sweternya. “Apa tidak apa-apa?”
“Apanya?”
“Ini semua kau beli dengan uang sakumu 'kan? Kau nanti tidak dimarahi orang tuamu menggunakan uang sebanyak ini hanya untuk membeli pakaian?”