The World of Crime : Fate

Arzen Rui
Chapter #21

21

Bukan tidak mungkin Dave selalu bosan setiap pergi ke sekolah. Jika tempatnya bersekolah sangat tenang dan terkendali layaknya kuburan, seorang Dave pun tentu akan bosan. Terlebih hanya kepribadian busuk saja yang banyak ditampilkan di sekolah itu. Selebihnya hanya bentuk kamuflase agar tidak begitu mencolok.

Biaya pendaftaran yang mahal membuat pilihan menjadi sangat jelas bagi para orang tua yang hendak mendaftarkan anaknya ke sana. Jika tak punya uang, maka tersisa pilihan pintar. Yang mana jelas setiap calon murid yang hendak mendaftar harus lulus dari tes yang diberikan oleh pihak sekolah. Ada alasannya kenapa biaya bersekolah di tempat itu mahal. Sekolah itu memiliki banyak kelebihan dan keunggulan dibanding SMA lainnya yang ada di sana. Tapi sekolah itu juga punya kekurangan. Kekurangan yang tidak bisa ditoleransi.

Jika ada kelebihan maka ada kekurangan. Energi positif tidak pernah berdiri sendirian. Selalu ada energi negatif yang setia berdiri mendampingi. Siapapun yang masuk ke sekolah itu menggunakan jalur tes, akan dianggap orang miskin. Kelompok yang akan menjadi target perbandingan strata sosial. Sekelompok murid yang dijadikan pelampiasan oleh segelintir murid dengan kekuasaan yang dirajai oleh uang. Dibalik kelebihan serta keunggulannya, sekolah itu juga salah satu sekolah dimana banyak terjadi kekerasan antar murid. Entah kekerasan secara verbal maupun fisik.

Terdengar suara riuh dari dalam kantin. Dave yang sedang berjalan ke kantin mempercepat langkahnya. Di dalam kantin ternyata ada beberapa orang yang sedang berkelahi. Dua kelompok, yang mana salah satunya adalah golongan atas dan yang satunya golongan bawah. Penindasan dari kelompok keluarga konglomerat terhadap kelompok siswa dan siswi yang masuk lewat jalur tes. Dave melihatnya, berdiri dan menyaksikan mereka berkelahi.

Dua orang melawan empat orang. Selain tidak adil karena perbedaan jumlah yang berat sebelah, salah satu dari empat orang itu memiliki tubuh yang atletis. Dave belum bergerak dari tempatnya. Tujuannya datang ke kantin adalah untuk membeli minuman karena dia lupa membawa minum. Tapi saat dalam perjalanan ke kantin Dave justru mendengar suara riuh dari dalam kantin. Dave masih menatap dengan raut wajah datar.

Apa yang bisa kuperbuat? Hanya melihatnya? Aku rasa begitu. Jika aku ikut campur pasti mereka membawa nama besar keluarga mereka. Ujung-ujungnya aku pasti dimarahi ibuku. Kalau terpaksa, aku harus melakukannya tanpa ketahuan. Tapi tidak mungkin aku melakukannya tanpa ketahuan di sini.

Dave memesan segelas es jus jeruk di salah satu warung. Sementara yang lain sibuk berhimpitan mencari tempat yang bagus menyaksikan enam orang itu berkelahi, Dave berjalan dengan tenang ke kerumunan sambil mengatakan, “Permisi, permisi.” Dua detik kemudian si atletis itu sudah basah kuyup tersiram air jus jeruk milik Dave. Seragamnya basah dan lengket. Celananya masih bisa dipakai karena hanya sedikit yang terkena siraman. Tapi bajunya harus dia ganti sekarang juga kalau dia tidak mau masuk angin dan dikerubungi semut.

Dave menyiram langsung pada si atletis tanpa ketahuan. Dalam keramaian yang mengelilingi enam orang itu, Dave mengambil arah belakang dari keempat orang itu. Sisanya, dari kejauhan Dave melempar telur mentah ke arah mereka berempat. Dave bukan pelempar yang baik, tidak semua telur itu mengenai mereka berempat sesuai sasaran.

Dasar sampah.

Dave pun berlalu tanpa ketahuan. Meninggalkan keriuhan tanpa melihat akhir dari perseteruan mereka berenam.

Pada jam istirahat, seorang siswa masuk ke kelas. Tidak diketahui kelas berapa dan apa, dia masuk sebelum Lyra dan Dave keluar kelas. Dengan gugup langsung memberikan sepucuk surat tanpa amplop, yang dilipat sangat rapi dan dihias dengan elegan. Siswa itu kemudian pergi setelah memberikan surat itu pada Lyra.

“Apa i..ni?” Lyra bertanya bingung.

“Itu surat keduamu. Kau tidak berkomunikasi dengan ponsel?”

Lyra membuka surat itu, melihat isinya. Matanya bergerak dengan cepat ke bawah. Ke bagian bawah surat. Nama pengirimnya sama. “Namanya sama seperti kemarin.” Lyra meremas surat itu. Emosinya perlahan memuncak. “Siapa sih orang ini?” Kata Lyra sambil membanting surat yang sudah dia remas jadi sebuah bola kertas.

Lihat selengkapnya