Lyra menghampiri Dave dan menarik lengannya.
“Hei,” kata Dave protes. “Jangan libatkan aku dengan urusan asmaramu.”
“Diam dan bantu aku Dave.” Lyra menarik Dave ke hadapan si atletis. “Maaf, aku tak bisa menerimamu karena aku sudah punya pacar. Ini.” Lyra menepuk bahu Dave dengan kepercayaan diri yang dibuat-buat.
Kalau dia percaya pasti dia bodoh.
Si atletis diam sejenak. Menatap lekat-lekat Dave dengan ekspresi kesal. Matanya mulai menyelidiki ekspresi wajah Dave. Mencoba mencari tahu, apakah benar Dave itu pacarnya Lyra atau bukan.
“Dengar,” Dave memotong kegiatan detektif si atletis. “Aku bukan pacarnya. Tetapi dia temanku, dia bilang apa padamu? Terima saja apa yang dikatakannya. Kau membuatnya tidak nyaman. Tolong jauhi temanku yang merepotkan ini. Ini peringatan.” Ujar Dave, lalu melangkah pergi memasuki kelas. Meninggalkan si atletis dengan raut wajah kesal.
Dari tampangnya bisa terlihat kalau si atletis tampak tersinggung sekaligus marah. Emosinya hampir meledak. Mungkin benar-benar akan meledak jika keadaan di sekitar kelas sepi. Di belakang Dave, Lyra berlari menyusul masuk ke kelas.
“Aku selamat.” Kata Lyra pelan saat masuk ke kelas sambil menghela napas.
“Halo teman.” Lyra berseru ceria pada Dave.
“Diamlah, sebentar lagi pelajaran dimulai.”
Bel berbunyi, semua siswa dan siswi keluar kelas. Berbondong-bondong pergi ke kantin. Satu dua topik pembicaraan terdengar di telinga Dave saat menuju kantin. Bersenda gurau, cekikikan, suara tawa yang meramaikan lorong sekolah, Dave tersenyum sendiri mendengarkan semua itu. Sebagai penyendiri Dave menjadi pendengar yang baik. Entah kenapa, mendengar semuanya membuat Dave teringat pada Sonya, juga merindukannya.
Dave mengambil tempat duduk di meja yang kosong. Biasanya. Sayangnya tidak ada tempat duduk yang kosong kali ini di kantin. Tempat yang kosong pun hanya tinggal meja yang ditempati Lyra. Satu meja dengan tiga kursi yang kosong. Di salah satu kursi, ada Lyra yang sedang meminum jus melon sambil menatap Dave di tengah kerumunan.
Lyra mengangkat tangannya, tak lama kemudian ia melambai karena Dave tidak kunjung menghampirinya.
Dave menatap sebal ke arah Lyra. Dia bukannya tidak melihat atau tidak menyadari, dia hanya mau mencari meja lain yang kosong di kantin. Akhirnya Dave menghampiri Lyra. Tidak ada pilihan lain. Dave tidak berniat meniru adegan-adegan dalam film di mana si tokoh utama memakan bekal di atap sekolah maupun di tempat-tempat sepi lainnya. Dave juga tetap pada pendiriannya. Ia tetap membawa bekal makannya ke kantin. Menu bekal Dave hari ini adalah nasi goreng buatan Jeny.
“Terima kasih sudah membantuku. Meski aku yakin dia tak akan menuruti perkataanmu begitu saja.” Kata Lyra sambil menyesap jusnya.
“Ya, aku tahu.” Dave mengangkat tangan memanggil pelayan. “Itulah sebabnya aku mau mengatakan padamu, mintalah bantuan pada mereka.” Pelayan datang, “Saya pesan teh hangat dan air putih. Terima kasih.” Pelayan itu kembali ke warung.
“Baiklah. Nanti kalau situasi bertambah buruk, aku akan minta bantuan mereka.”
“Satu-satunya situasi yang akan bertambah buruk adalah situasiku.”
Dave memiliki banyak dugaan setelah menolong Lyra. Ada banyak teori tentang apa yang akan terjadi nantinya. Dan semuanya bukan hal baik.