Dave sampai di rumah dengan raut wajah sumringah, ingin rasanya berjingkrak-jingkrak, namun diurungkannya. Langkah Dave terhenti begitu dia memasuki halaman depan. Bak sambaran petir terjadi, Dave berdiri diam di tempatnya ketika memandang ada sebuah mobil ambulan di depan pintu utama rumahnya. Melihat orang-orang yang ramai mondar-mandir di sekitar mobil ambulan itu, Dave tidak bisa tidak berpikir yang macam-macam. Pasti sesuatu sudah terjadi pada keluarganya. Entah itu kedua orang tuanya atau adiknya, atau salah satu pegawai di rumahnya. Jeny.
Beberapa orang dengan pakaian putih beserta ranjang dorong keluar melewati pintu. Di atasnya terbaring seseorang dengan tak sadarkan diri. Dave yang melihatnya dari halaman depan tak bisa melihat dengan jelas, hanya samar-samar. Di belakangnya, ada Albert dan Carol, kedua orang tua Dave yang mengikuti hingga ke dalam ambulans. Tak lama setelah itu muncul Jeny juga para pegawai yang lain. Dengan seragam mereka yang sedikit berantakan. Mereka beriring-iringan menuju ambulans. Sayang, hanya Albert dan Carol yang diizinkan ikut ke dalam mobil ambulans.
“Tunggu,” Dave mulai berjalan perlahan, mendekati mobil ambulans yang hendak tancap gas. Suaranya bergetar ketika bergumam. “Itu tadi ayah dan ibu. Sonya?”
Dave melihat Jeny. Matanya memandang ke arah Jeny. Jeny terisak sambil menutupi mulutnya. Berdiri bersama dengan para pegawai lainnya. Masih dengan seragamnya yang terdapat noda coklat pada bagian dengkulnya. Dave bergegas berlari menghampiri. Sesaat ketika Dave sampai di hadapan Jeny, saat itu juga ambulans melaju dan pergi menjauh, meninggalkan Dave di belakang.
Dave masih terengah-engah ketika mobil ambulans pergi, wajahnya masih bingung dengan apa yang terjadi. Saat Jeny memalingkan wajahnya hendak kembali ke dalam, dia bertatapan dengan Dave yang saat itu juga berdiri di hadapannya menatapnya dengan mata dan ekspresi yang serius. Wajah yang mengharapkan sebuah penjelasan. Jeny yang sempat terkejut untuk yang kedua kalinya untuk sesaat hanya bisa menatap Dave tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. “D-Dave.” Ucap Jeny tercekat, tenggorokannya terasa sakit saat berbicara. “Ka-kau sudah pulang.” Jeny berusaha menahan tangisnya yang sedikit lagi akan meledak. Dari wajahnya terlihat jelas kalau dia sedang menahannya. Dan Dave melihatnya, mengetahuinya.
Dave meraih lengan Jeny dan menarik pelan ke arahnya. Mendekap Jeny erat-erat. Memeluknya penuh perhatian. Sambil sesekali mengusap punggungnya. Meskipun begitu, Jeny tetap melepaskan semuanya dan menangis dalam pelukan Dave. “Bisa kau ceritakan padaku apa yang terjadi?” bisik Dave masih memeluk Jeny.