“Aku akan ke sana,” kata Dave setelah mengganti pakaiannya dan memakai jaket kulit warna cokelat.
“K-kau akan ke sana?”
“Kau ikut bersamaku.”
“Eh? Aku? Ta-tapi….”
“Tidak apa-apa, lagian kau kan pengasuhnya.”
“Tapi Dave, ibumu pasti akan memarahiku setibanya di sana.” Ucap Jeny sedikit ragu.
Dave menanggapinya dengan tersenyum. “Tidak, tidak akan.”
“Dari mana kau tahu. Aku kan pengasuhnya, harusnya aku yang menjaganya.”
“Tidak, percaya padaku.”
“Dave, jangan mengusulkan yang aneh-aneh.”
“Jeny,” Dave menggenggam tangan Jeny. “Apa menurutmu jika kau tetap di sini ibuku tidak akan memarahimu nanti saat pulang?”
Jeny tampak gelisah, bimbang dengan keputusan yang akan dibuatnya. Pilihannya adalah dimarahi di rumah sakit atau di rumah tempatnya bekerja.
“Ayo.” Ajak Dave sambil mengulurkan tangannya. “Tidak apa-apa.”
“Jangan bercanda denganku Dave.” Jeny menyandarkan kepalanya ke dinding di belakangnya.
“Ada aku. Tenang saja.” Dave menarik lengan Jeny.
“Jadi kau hanya mau menemaniku di rumah sakit saja? Kau kan bisa juga menemaniku saat aku diomeli di rumah.” Jeny memasang wajah memelas. Tampaknya Jeny masih merasa enggan, terutama karena takut diomeli oleh Carol perihal apa yang sudah terjadi pada Sonya.
“Aku akan menemanimu ke mana pun kau pergi. Tapi memangnya kau tidak sekalian mau tahu perkembangan Sonya? Aku rasa kau justru akan semakin diomeli kalau tidak ikut denganku ke sana.”
“Begitu?” Jeny menggigit ibu jarinya dengan alis berkerut. “Baiklah, ayo.”
“Nah, sekarang ganti pakaianmu. Pakai jaket atau sweter.”
“Baiklah tunggu sebentar.” Jeny kemudian berlari ke kamarnya mencari sweter dan memakainya dengan segera.