Kabut menetes dari langit-langit gua seperti urat beku yang merambat turun dari langit neraka. Udara di dalam Candramaya berat dan lembap, membawa bau belerang, lumut, dan daging gosong yang membusuk tak terlihat. Gema tetesan air menghantam genangan tanah, bersahut-sahutan dengan desah nafas panik dari mata seorang pemuda tak berharga.
Raka, menatap kengerian yang ada di sekeliling, seperti hawa kelam dan suram yang nyata menghampirinya.
Penerangan hanya berasal dari cahaya di sudut-sudut batu Èra, cahayanya gemetar, menyibak siluet pahatan dinding gua: relief tua yang memuat kisah pengorbanan, dan kematian. Namun malam ini, kisah itu menjadi nyata.
Dari balik kegelapan gua Candramaya, sesosok Jakulangkung merangkak keluar dengan gerakan ganjil—cepat, terputus-putus, seperti serangga besar yang mencoba meniru cara berjalan manusia. Tubuhnya tinggi, ramping, dan menjulang bengkok, seolah sendi-sendinya tak pernah diciptakan untuk berdiri tegak. Kulitnya abu-abu kehijauan, lembap dan berselaput tipis seperti insang ikan, menggeliat tiap kali terkena udara. Kepalanya nyaris tidak berbentuk—seperti kelopak daging yang bisa merekah tiba-tiba, memperlihatkan mulut menganga penuh taring dan organ pendengar seperti telinga besar menyerupai kelopak bunga yang berdenyut, terus terbuka mencari suara sekecil apapun. mendengar dengan presisi mengerikan. Setiap tetes darah yang jatuh, setiap tarikan napas gemetar dari manusia yang bersembunyi, diserap oleh telinganya yang membuka menutup seperti paru-paru. Saat sunyi, ia membeku—hanya berdiri, seolah patung. Tapi begitu ada suara... ia menyerbu dengan kebuasan yang tak manusiawi, mencabik dengan cakar panjang melengkung yang bisa memotong batu. Ia adalah pengejar dalam sunyi, dan pemburu dalam resonansi.
Di kening makhluk itu, sebuah mata yang tak bisa melihat di dalam nya artefak purba, menyala merah tua seperti bara. Aura yang dipancarkan dari benda itu bukan sekadar tekanan… tapi paksaan jiwa. Ketakutan bukan lagi sekadar emosi; ia menjadi kenyataan biologis, menusuk otak manusia dan menyalakan alarm naluriah paling purba: lawan atau lari.
Seorang Tamenggedi, tubuhnya besar dan tegap, berdiri di garis depan. Punggungnya melengkung seperti perisai hidup, tangan mencengkeram tameng yang kini tergetar hebat. Tapi di belakangnya—kesalahan fatal.
Pangreksa, si penyembuh, terlalu panik. Ajian perlindungan yang ia kirim tak berpengaruh oleh aura mata si monster, dengan satu hempasan tangan pecah dan menghantam tepat ke Tamenggedi itu sendiri. Satu letupan energi mengenai perut sang perisai. Daging dan tulang hancur seketika. Tamenggedi itu mencicit perih dan terlempar ke dinding, tubuhnya menghantam batu dan mengempis seperti kantung kulit sapi yang dilempar ke lantai.
Raka—ia berdiri terpaku di sisi gua. Jantungnya menghentak seperti ingin meledak keluar dari dadanya. Tapi bukan hanya karena kengerian visual. Ada kekuatan dalam udara itu… aura tekanan psikis dari si makhluk. Rasa dingin menjalar dari tengkuk ke tulang punggungnya. Otaknya berteriak lari, tapi kakinya mencengkeram tanah.
Mantrawan utama melompat ke depan. Ia melemparkan ajian-ajian tinggi: Ajian Pethak Bayu, Gada Ratri, bahkan Segara Tininggal. Bola cahaya panas melesat dan meledak satu demi satu—tapi tubuh si monster seolah menyerap semuanya. Tak ada luka. Hanya lolongan rendah… dan raungan kecil dari wajah yang dipenuhi taring hitam.
Putus asa, sang Mantrawan merapal ajian pamungkas: Ajian Blarak Geni—sebuah mantra tingkat tinggi yang memakan waktu rapalan Raka sempat berteriak, "JANGAN! Itu terlalu lama, rapalan tidak akan selesai!" Tapi kepanikan telah menelan logika. Monster itu dengan cepat membungkam mulutnya dan mencengkram kepalanya.
Ledakan terjadi saat ajian tak selesai. Lingkar japa yang belum stabil—dan dalam sekejap...