Hujan sudah reda. Langit malam di Maheswara berbeda—penuh gugus bintang dan semburat warna ungu samar indah, Tapi baginya, semuanya tetap terasa… kosong.
Di penginapan murah sudut barat Kota Dwara Kendaga, Raka duduk bersandar di bingkai jendela. Jubahnya setengah kering, tapi dingin meresap sampai ke tulang. Di atas meja, hanya ada sepiring ubi rebus dan secawan susu basi.
Dia menatap langit. Dalam diam. Lalu berbisik lirih—kepada dirinya sendiri.
“Tak jauh beda… dunia ini sama kotornya.”
Suaranya datar. Tapi sorot matanya… menyimpan sesuatu yang rapuh dan dingin menjadi satu.
“Di Jagat Asal, kita bunuh satu sama lain lewat sistem. Lewat kekuasaan. Di sini? Kita bunuh dengan tangan telanjang, demi makan, demi naik kasta, demi hidup.”
Tangannya mengepal ,tatapan kosong, Napasnya berat.
“Petualang, gildia, misi, sistem kelas, monster aneh dan mengerikan, gua -gua dan candi tua seperti dungeon—semuanya terdengar seperti dunia fantasi. Tapi ini bukan permainan. Tak ada respawn, tidak ada leveling Tak ada sistem penyelamat.”
Ia menatap luka bakar di tangannya. Masih belum sembuh. Akibat menghindari efek aura Jakulangkung membekas seperti tato kematian.